Beranda Polhukam Nduga Darurat Kemanusiaan

Nduga Darurat Kemanusiaan

1739

Oleh : Frengky Syufi)*

Kabupaten Nduga merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Papua yang  dimekarkan  menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) pada tahun 2008. Letak geografis Kabupaten Nduga pada bagian sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Timika, sebelah Timur  berbatasan dengan Yahokimo, sebelah Utara berbatasan dengan Kabuapten Jayawiya dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Asmat.  Desa Alguru, Distrik Keneyam Kabupaten Nduga akhir-akhir ini  menyita perhatian para pemerhati kemanusiaan dari dunia internasional, nasional dan lokal untuk menyorotkan perhatiannya pada kejadian pemboman di Desa Alguru yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesiam (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang telah melanggar aturan perang. Terjadi pelnggaran perang  karena dari  pihak TNI/POLRI menurunkan  kekuatan massa dan alat perang yang jauh lebih besar dibanding dengan pihak lawan (TPN_PB).

Peristiwa pemboman ini bermula pada tanggal 22 Juni 2018 yang mana ada penambahan militer Indonesia di Kabupaten Nduga dengan alasan untuk pengamanan PILKADA Gubernur. Sebelum penambahan militer,  sudah ada 20 anggota militer Indonesia yang ditempatkan  di Distrik Keneyam, Kabupaten Nduga. Pada tanggal 22 Juni 2018 terjadi penembakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional_Papua Barat (TPN_PB) terhadap pesawat Twin Otter Dimonim Air PK-HVU di Landasan Udara Keneyam Kabupaten Nduga. Pesawat tersebut membawa beberapa penumpang sipil dan seorang anggota Polisi dari Timika. Aksi penembakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) tidak terjadi korban jiwa melainkan seorang pilot yang terkena peluru di bagian kulit kepala dan kopilotnya terkena peluru di bagian paha korban.

Menjelang waktu selama tiga hari yaitu pada tanggal 25 Juni 2018 terjadi penambahan aparat TNI/POLRI sehingga terjadi kontak senjata di Bandara Udara antara TPN_PB Kodap III Wilayah Nduga yang dibawah pimpinan komandan operasi Egianus Kogoya dengan TNI/POLRI yang berlangsung selama tiga jam 20 menit (09.40-13.00 Waktu Papua). Kontak senjata antara TPN_PB dengan TNI/POLRI menyebabkan ketakutan tersendiri dan rasa trauma yang mendalam dari rakyat sipil yang berada di Nduga. Rakyat sipil di Nduga mengalami perasaan trauma karena peristiwa serupa juga pernah terjadi di Mapenduma pada tahun 1996 yang menelan korban 500 juta jiwa Orang asli Papua (OAP) yang dibantai oleh militer Indonesia  dan merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terberat yang belum diusut tuntas sampai sekarang. Pada 27 Juni – 03 Juli  2018 terjadi penambahan 3000 – an personil dari TNI/POLRI ke Nduga melalui Agats, Kabupaten Asmat secara diam-diam.  Infasi militer Indonesia ke Nduga tidak diketahui  oleh warga sipil  dan jumlahnya pun  lebih banyak dari jumlah warga sipil yang berada di daerah setempat.

Intimidasi dari TNI/POLRI terhadap warga sipil terus terjadi. Penyisisran dan penyerangan dari gabungan militer Indonesia secara membabi buta di Sungai Keneyam yang berbatasan dengan Desa Alguru, Ibu Kota Kabupaten Nduga. Penyisiran dan penyerangan militer Indonesia yang melibatkan 3000-an personil baik TNI muapun POLRI menyebabkan 50 Kepala Keluarga yang berdomisili di Desa Alguru sebagai rakyat sipil melarikan diri ke hutan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 04 Juli 2018. Penambahan militer  Indonesia dan  penambahan logistik dalam upaya penyerangan dan penyisiran terhadap TPN_PB di Desa Alguru (05/7/2018).  Kehadiran militer Indonesia di Nduga tidak memberikan perlindungan dan kenyaman bagi rakyat sipil sehingga rakyat merasa ketakutan dan melarikan diri ke hutan untuk menyelamatkan diri.

Aparat TNI dan POLRI mengepung dan menguasai Desa Alguru dengan mengarahkan kekuatan bersenjata melalui jalur darat maupun  jalur udara dengan menggunakan dua helikopter yang membombardir Desa Alguru pada tanggal 11 Juli 2018. Pada peristiwa ini terjadi  2 orang yang menjadi korban dari pihak TPN_PB akibat ledakan bom yang dilakukan oleh TNI/POLRI dan pada akhirnya menghembuskan napas terakhir saat kejadian berlangsung. Nama kedua prajurit TPN-PB yang gugur akibat pemboman ialah Prekianus Operasi Kogoya berpangkat Letnan Kolonel dan Yenkias Ubruangge berpangkat Letnan Kolonel . Ada pula beberapa fasilitas pelayanan publik yang meliputi 1 gedung Sekolah Dasar (SD), 1 gedung bangunan guru dan beberapa perumahan rakyat sipil hangus dan rata dengan tanah akibat dari pemboman yang dilakukan oleh militer Indonesia (TNI/POLRI) dengan menggunakan 2 helikopter yang menjatuhkan bom dari udara.  Mulai dari tanggal 12 Juli 2018-18 Juli 2018, para aparat masih menduduki secara paksa dan melakukan operasi penumpasan di Distrik Keneyam, Kampung Alguru, hal ini memberikan rasa trauma yang mendalam bagi rakyat sipil sehingga tidak melakukan aktivitas seperti biasanya. Penambahan para militer Inonesia di Distrik Keneyam, Kampung Alguru menyebabkan banyak warga sipil yang melarikan diri ke Asmat, Timika, Merauke dan Yahokimo.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Darson Lokbere selaku Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat-Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Se-Indonesia (DPWIB-IPMNI) yang mengkordinir mahasiswa/i dari Kabupaten Nduga Se-Jawa Bali melalui via telepon pada Rabu, 18 Juli 2018 pukul 12.20-12.25 WIB mengatakan bahwa para militer Indonesia (TNI/POLRI) masih menduduki Distrik Keneyam, Kampung Alguru dan pasukan dari TNI/POLRI belum ditarik mundur dari Desa Alguru ke Ibu Kota Kabupaten Nduga. Kehadiran militer Indonesia menimbulkan pengunsian rakyat sipil dari Nduga ke Timika, Merauke, Yahokimo, Agats dan Wamena walaupun  Yairus Gwijangge selaku Bupati Nduga mengatakan bahwa situasi Keneyam sudah baik. Kata, Darson Lokbere bahwa pasca kejadian penembakan di Bandara Udara Keneyam antara TPN-PB dengan TNI/POLRI serta pengibaran Bendera Bintang Kejora di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nduga, itu  akivitas rakyat sipil dapat berjalan dengan baik namun pada tanggal 11 Juli 2018 terjadi peristiwa pemboman dari udara yang dilakukan  oleh militer Indonesia membuat masyarakat panik dan mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Situasi Nduga pasca pemboman hingga kini banar-banar mencekam dan belum ada lembaga-lembaga independen yang menaruh perhatian pada kemanusiaan belum menerobos masuk ke Kabupaten Nduga, Distrik Keneyam, Kampung Alguru karena semua akses diblokade oleh militer Indonesia.

Selain itu juga, media-media internasional, nasional dan lokal juga belum diizinkan untuk meliput kejadian secara langsung dilapangan untuk mempublikasikan kepada khalayak ramai terkait situasi real yang terjadi di lapangan dan menyampaikan kepada dunia sesuai dengan fakta-fakta yang benar dan akurat tanpa adanya intervensi dari  pihak manapun. Apabila semua ruang demokrasi di kabupaten Nduga dibungkam oleh militer Indonesia  dan dikontrol secara ketat oleh para aparat (TNI/POLRI) maka tidak ada akses dari lembaga-lembaga independen yang menaruh simpati pada kemanusiaan dan akses jurnalis yang masuk ke Nduga melakukan pelayanan kemanusiaan bagi rakyat sipil di Nduga dan peliputan oleh media dilokasi kejadian. Ketika tidak ada lembaga independen dan akses jurnalis yang masuk  ke Kabupaten Nduga maka jangan sampai para aparat TNI/POLRI melakukan tindakan semena-mena terhadap warga sipil sama seperti peristiwa 22 tahun tragedi kemanusiaan di Mapenduma (1996).

Beberapa poin-poin pernyataan sikap yang dikemukakan oleh Darson Lokbere selaku Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat-Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Se-Indonesia (DPWIB-IPMNI) yang mengkordinir mahasiswa/i dari Kabupaten Nduga Se-Jawa Bali  terkait peristiwa pemboman di Kabupaten Nduga, Distrik Keneyam, Kampung Alguru yakni (1) Kami mendesak rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla secepatnya memberikan perintah untuk penarikan 3000 – an persnil TNI/POLRI yang menduduki secara paksa dan melakukan intimidasi bagi rakyat sipil di Nduga, (2)  Pemerintahan Jokowi-JK segera memberikan kenyamanan dan akses bagi lembaga-lembaga independen yang menaruh perhatian pada kemanusiaan turun secara langsung melayani masyarakat sipil di Nduga pasca pembomboman di Distrik Keneyam, Kampung Alguru, (3) Memberikan akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing, jurnalis nasinal dan jurnalis lokal meliput secara langsung di Kabupaten Nduga, Distrik Keneyam, Kampung Alguru, (4) Kami selaku mahasiswa dari Kabupaten Nduga mendesak kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Kabupaten Nduga segera suarakan aspirasi rakyat sipil kepada publik terkait peristiwa pasca pemboman di Alguru, mendesak DPR untuk membela masyarakat sipil yang mendapat tindakan repsesif dan intimidasi dari TNI/POLRI serta memberikan perlindungan bagi warga di Kabupaten Ngduga dan (5) Kami mendesak ULMWP selaku Organisasi Persatuan Pembebasan Bangsa West Papua untuk terus menyuarakan peristiwa pemboman pada 11 Juli 2018 di Kabupaten Nduga, Distrik Keneyam, Desa Alguru di panggung-panggung Internasinal agar  ada pembentukan tim ivestigasi dari PBB untuk melakukan pemantauan secara lansung di Kabupaten Nduga dan pada umumnya di seluruh Tanah West Papua.

 

Penulis adalah Mahasiswa Kerja Sama dari Keuskupan Manokwari – Sorong  dan Keuskupan Agats-Asmat yang Kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.)*