Pagi itu, langit di Honiara bersih. Biru. Tak selembab pun mega mengotorinya, apalagi mendung. Begitupula langit di atas Port Numbay, Mnukwar, dan seluruh Tanah Papua, seperti itu juga. Di hari itu, Rabu (24/6/), sebagian besar rakyat Papua dan para simpatisan masalah kemanusiaan di Papua Barat di seluruh penjuru dunia matanya tertuju ke Honiara menantiputusan ‘agung’ KTT Melanesia Spearhead Group (MSG) tentang status Papua Barat, apakah masuk sebagai anggata tetap atau pun sebagai pengamat(observer) di MSG?
Sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-20 dari lima negara anggota MSG di kawasan Pasifik Selatan, (Kaledonia Baru, Vanuatu, Papua Nuguni, Kepaulaun Solomon, Fiji, dan Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste) yang berlangsung tanggal 19-26 Juni, kemarin, itu menerima proposal rakyat Papua Barat yang diajukan melalui kendaraan politik bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan menetapakan status Papua Barat sebagai observer.
Secara etimilogis, ebserver atau obervasi berasal dari bahasa Latin, yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut. Singkatnya, observer adalah orang atau suatu subjek tertentu yang melakukan kegiatan pengamatan. Demikian penjelasan singakat soal kata observer, yang berasal dari bahasa latin, dan sekitar 70 persen bahasa-bahasa barat adalah bahasa Latin.
Ini merupakan penjelasan singkat soal asal kata observer bagi seluruh masyarakat di Papua Barat hingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran soal status politik Papua di forum MSG, sekarang.Jadi, posisi Papua Barat sebagai Observer di forum MSG ini, tak lain adalah menjalankan fungsi pengamatan tentang berbagai persoalan yang terjadi di kawasan negara-negara Melanesia.
Dengan posisi itu, yang jelasULMWP tidak mempunyai kewenangan apa pun untuk ikut menentukan dan mengambil keputusan tentang arah kebijakan politik MSG ke depan. ULMWP sebagai kendaraan politik perjuangan Papua Barat ini hanya sebatas menghadiri sebuah pertemuan MSG tanpa melakukan upaya lebih—ia hanya sebatas mengamati. Singkatnya, posisi ULMWP sebagai observer pasif di forum MSG.
Posisi Papua sebagai peninjau– ini sama halnya seperti sekarang Indonesia sebagai anggota observer untukOrganization of Petroleum Exporting Contries (OPEC) atau organisasi negara-negara pengekspor minyak yang didirikan pada 14 September 1960. Hingga saat ini Indonesia masih sebagai pengamat OPEC.
Negara-negara anggota OPEC, seperti Rusia, Bahrain, dan Meksiko juga pernah menjadi tim observer OPEC. Namun, kini negara-negara tersebut telah memperoleh status keanggotaan tetap OPEC. Sementara Indonesia masih berstatus sebagai observer OPEC dan masih diperjuangkan untuk menjadi anggota tetap OPEC.
Ada beberapa sidang dan pertemuan OPEC, negara-negara observer bisa hadir hanya dalam skala tertentu. Misalnya, Indoensia yang masih berstatus observer tidak bisa menghadiri sidang atau pertemuan tertutup OPEC, tetapi hanya bisa menghadiri sidang atau pertemuan OPEC umum yang terbuka. Karena, dalamsidang tertutup para negara OPEC hanya menentukan hal-hal strategis dalam menghadapi situasi pasar minyak dunia. Sedangkan sidang terbuka itu pembukaan dan juga biasanya negara observer bisa meberikan pernyataan tanpa harus ikut memutuskan atau memprotes apa pun isi dari sidang tersebut.
Posisi Papua sebagai sebuah bangsa yang belum merdeka juga akan mengalami hal yang sama. Dalam sidang dan pertemuan yang bersifat tertutup untuk membahas hal-hal strategis tentang masalah ekonomi, politik, sosial, atau budaya di forum MSG, Papua Barat bakal tidak diundang– karena tidak memiliki posisi tawar di MSG, alias hanya sebagai peninjau.
Namun sangat disayangkan. Mengapa MSG menolak aplikasi UMLWP yang telah memenuhi persyaratan yang dimintaoleh MSG dan mereka (para pemimpin MSG) cenderung menerima aplikasi keanggotan dari Melanesia Indonesia (Melindo) yang amat berbeda dengan ras dan rumpun Melanesia.
Hal ini sangat melukai perasan batin orang Papua Barat dan yang 50-an tahun lebih berjuang di hutan belantara, pesir dan pulau, di pengasingan, dikejar, dipenjara, da dibunuh hanya ingin memperjuangkan identitas dan jadi dri mereka sebagai sesama orang Melanesia di Papua Barat. Padahal, semua pihak,diplomat di pengasingan, aktivis, dan rakyat Papua di telah bekerja secara maksimal– dengan harapan akan ada perasaan kemanusiaan dan solidaritas rumpun(brotherhood) Melanesia—aplikasi Papua Barat bisa diterima sebagai anggota tetap MSG. Itulah fakta politik. Maka, seperti dikatakan Lord Palmerston (1784-1865), ”Tidak ada kawan lawan yang abadi, kecuali kepentingan yang abadi.”
Para filsif, teolog, dan rohaniawan menyebut politik itu suci, tetapi dalam praktiknya politik itu sesuatu yang amat kotor dan kelas penyakitnya, seperti “lepra”. Keluarga salingmembunuh, sesama ras dan rumpun saling menyangkal, serta saling menjual, karena kepentingan politik dan ekonomi. Tentunya, semua perjuangan Papua Barat di kawasan Pasifik Selatan akan di halangi (sabotase) habis-habisan oleh kelompok Melindo buatan Jakarta yang telah diterima sebagai anggota tetap MSG.
Jakarta merangkul beberapa orang Papua berwatak oportunis, pragmatis, dan transaksional untuk melakukan berbagai manuver politik– menghalangi sejumlahpergerakan politik Papua di forum MSG dan.Jakarta mengadu domba antarsesama orang Papua—hingga membuat mosi tidak percaya dari negara-negara lain terhadap perjuangan politik dan kemanusiaan di Papua Barat.
Pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta– ini tepat dengan perkataan dari bekas penguasa Romawi, Gaius Julius Caersar (100-44 SM), yakni politik“divide et impera(politik pecah belah)”. Ungkapan itu diartikan,“Jika Anda ingin dan lebih mudah menguasai penduduk pada suatu daerah, lebih dulu Anda harus mengotak-ngotakkan penduduk setempat.” Inilah budaya politik yang diwariskan oleh Belanda kepada bekas kolonya, Indonesia. Tatapi perlu diingat, MSG bukanlah akhir dari segala-galanya, MSG bukan anggota dewan keamanan PBB, dan juga bukan lima negara pemegang hak veto PBB (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina). Itu hanya forum ekonomi dan politik regional negara-negara di kawasan Pasifik Selatan.
Pengakuan
“Siapa pun yang terdeteksi melakukan kecurangan yang memalukan, tidak akan dipercaya meskipun mereka berbicara tentang kebenaran. “ ~~ Phaedrus (15-50 SM), filsuf Romawi. Suatu ketika kalimat ini akan menjadi nyata, entah di forum MSG atau forum-forum lain yang lebih bergengsi lagi bagi masyarakat Papua Barat.
Namun, sebagai orang Papua jangan berkecil hati dan putus harapan karena tidak diterima sebagai “permanent members” di MSG. Masih banyak jalan menuju ke Roma. Sedikit demi sedikit perjuangan orang Papua mengalami peningkatan. Dibandingakan 50-an tahun lebih orang Papua bergerilya di hutan belantara, berjuang di pengasingan, di pesisir, dan pulau, di pusat keramaian kota, bahkan berujung pada pengejaran, pemenjaraan, penculikan, dan pembunuhan tak manusiawi tetapi tidak ada membawa manfaat yang berarti.
Forum MSG menjadi momentum awal bagi rakyat Papua Barat, karena diakui sebagai sebuah rumpun dan bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, terutama bangsa melayu di Indonesia. Pengakuan ini dibuktikan dalam forum MSG. Yang mana, diberikan kepercayaan kepada delegasi Papua Barat melalui ULMWP, yakni Octovianus Mote sebagai Sekjen ULMWP untuk menyampaikan pandangannya terkait situasi politik, HAM, ekonomi, dan populasi penduduk di Papua Barat di hadapan forum MSG. Luar biasa bagi diplomasi politik bangsa Papua Barat. Mana ada Provinsi lain di Indonesia yang mendapat kesempatan seperti itu– untuk menyampaikan situsi mereka bersama perwakilan negara Indonesia di forum yang sama. Hal ini harus disyukuri oleh orang Papua.
Masuknya Papua sebagai anggota observer MSG merupakan sebuah pengakuan nyata bagi perjuangan rakyat bangsa Papua Barat sebagai pemberontak resmi yang telah diakui sebagai subjek hukum internasional.Meskipun MSG bukanlah organisasi PBB, tetapi telah memiliki logika yang sama, dengan mengakui Papua Barat sebagai sebuah bangsa.
Secara konseptual, pengakuan diberikan kepada sebuah bangsa atau pemberotak yang melakukan pemberontakan terhadap perintahannya sendiri di suatu negara– karena perlakukan negara yang tidak adil dan manusiawi. Memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Pengakuan billigerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Dalam pengakuan ini, negara-negara ketiga dalam sikapnya membatasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para pemberontak tidak kalah dan telah menguasai sebagian wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta. Selain itu, Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan belligerensi.
Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933 yang diselenggarakan oleh negara-negara Pan-Amerika di Kota Montevideo, Uruguay, bahwa suatu negara harus mempunyai unsur-unsur; penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintah, dan kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain. Apakah Papua Barat telah memenuhi syarat ini? Yang berhak menjawab adalah rakyat Papua Barat sendiri.
“It’s better light a candle than curse the darkness, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”.Sebuah kalimat dari Kong Hu Cu atau Konfusius (551-479 SM) filsuf dan guru orang bijak Tiangkok, yang kemudian lugas diucapkan oleh Adlai Stevenson di New York Times, 8 November 1962 — yang dialamatkan untuk Ibu Negara AS, Eleanor Roosevelt (1884-1962) begitu sarat akan makna.
Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan merutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan.
Pemerintah Indonesia jangan menganggap sepele soal perjuangan politik rakyat Papua Barat yang kian mengkristal di seluruh jagat raya dunia. Diterimanya Papua Barat sebagai observer di MSG, seharusnya menjadi sebuah pukulan dahsyat bagi pemerintah Indonesia untuk segera mencari jalan keluar bagi penyelesaian konflik di provinsi paling timur Indonesia itu.
Walaupun Indonesia telah memperoleh status keaggataan tetap di MSG, tidak selamanya bisa menghalangi perjuangan politik para eksponen Papua merdeka untuk masuk sebagai anggota tetap MSG. Karena, politik selalu dinamis mengikuti dinamika dan kepentingan politik nasional masing-masing negara anggota MSG. Jika pemerintah Indonesia belum bisa menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan membuka ruang dialog dengan rakyat Papua, maka lambat laun, satu per satu negara-negara anggota MSG akan meninggalkan Indonesia dan berbalik haluan, dan seratus persen akan mendukung kelompok pejuang Papua merdeka. Itulah diplomasi.
Menurut Morgenthau (1988), salah satu tujuan diplomasi adalah untuk menentukan dalam hal apa perbedaan dalam pencapaian tujuan dapat cocok satu sama lain; merumuskan alternatif dalam hal penggunaan cara-cara yang pantas dan sesuai, seperti kompromi, bujukan, bahkan ancaman kekerasan untuk menacapai tujuan; serta membentuk tujuan dalam bingkai kekuatan yang benarnya untuk digunakan sebagai sarana pencapaian tujuan. Salah satu dari empat pesan diplomasi menurut Kautilya, seorang diplomat ulung pada masa India kuno adalah Sama, yang mencakup perdamaian, persahabatan, dan kerja sama.
Karena harapan besar dari para pemimpin negara-negara Pasifik Selatan, bahwa dengan masuknya Indonesia sebagai anggota tetap MSG adalah untuk secara bersama-sama menyelesaian masalah konflik Papua Barat. Sebenarnya tidak sukar untuk menyelesaikan masalah Papua Barat. Sekarang, tergantung good will pemerintah Indonesia untuk membuka ruang dialog atau tidak.Dialog merupakan suatu condition sine qua non, kemutlakan yang pantang ditawar.
Karena dengan dialog,semua permsalahan Papua sejak integrasi hingga sekarang ini bisa dibicarakan dan masing-masing pihak akan mengakui kesalahannya dan saling memaafkan untuk membangun masa depan Papua Barat yang lebih baik dalam wadah NKRI tanpa beban masa lalu. Ini menjadi tanggugjawab Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, dan Menteri Luar Negeri (Menlu)Retno Marsudi. Menlu Retno harus banyak belajar dari mantan menlu kita, Ali Alatas (alm) si “singa” meja perundingan Indonesia. Jika tidak, Retno hanyalah seorang “pejuang diplomat”—yang hanya bertugas atau mampu menjalankan fungsi dan peran sebagai diplomat, menyampaikan pesan-pesan tak bermakna kepada koleganya di luar negeri, tentang jumlah penduduk, luas negara, atau sumber daya alam Indonesia, yang seakan-akan hal-hal tersebut otomatis menjadikan kita sebagai aktor utama pemain internasional yang piawai– tetapi ia bukan sebagai seorang “diplomat pejuang” seperti mendiang Ali Alatas yang berjuang dengan gigih di medan sulit bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Kepiawaian dalam dunia diplomasi terletak pada sumber daya intelektual, kemampuan untuk menciptakan gagasan dan ide baru; inovasi dan inisiatiaf diplomasi; kemampuan memengaruhi, dan berargumentasi; serta wawasan international yang memadai.
Tidak lain, jalan terbaik bagi penyelesaian konflik Papua dan pemerintah Indonesia adalah dengan jalan dialog damai, demokratis, bermatabat, dan humanis. Mengapa pemerintah Indonesia bisaberdialog denga kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsingki, Finlandia, 15 Agustus 2005, sementara untuk konflik Papua Barat tidak bisa didialogkan? Yang layak menjawab pertanyaan ini adalah Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Jika dialog tidakdigelar– masalah Papua terus berkepanjangan dan sangat mengganggu stabilitas pembangunan di aspek lainnya.
Karena, orang Papua tetap konsisten untuk berjuang dengan prinsip, tak ada kata “geger politik” takada kata “berlutut” tak ada kata “menyerah”, yang ada hanyalah “berdiri” dan “mati”.
Belajar dari pengalaman, mengevaluasi diri, dan melanjutkan perjuangan sampai terwujudnya sinar keadilan dan kebenaran di bumi Papua Barat. “Dulce et decorum est pro patria mori’— merupakan sebuah kalimat Latin yang dikutip dari karya Horatius, Carmina III: 2;13, yang kemudian hari diucapakan oleh oleh Ferdinand I (1503–1564), Raja Hungaria dan Bohemia ( 1558 1564) yang berarti : ” Hal yang manis dan mulia apabila seseorang gugur untuk negerinya!Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional– Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta.
as Aquinas, di Jakarta.