
Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku di besarkan
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Biar nanti langit terbelah aku Papua
Oleh : Thomas Ch. Syufi
Papua memang negeri yang indah dan pesona. Lagu “Aku Papua” karya Franky Sahilatua (alm), yang liriknya digarap bersama Robby Rumbiak, Wilson Wanda, Melky Lakalena, dan dipopulerkan penyanyi Edo Kondologit itu sangat pas.Gugusan pegunungan Arfak dan Tambrauw yang terbentang panjang dari Kabupaten Manokwari hingga Sorong, Papua Barat memiliki daya tarik tersendiri.
Pegunungan Arfak merupakan titik tertinggi di Provinsi Papua Barat. Pegunungan dengan ketinggian 2.950 meter di atas permukaan laut ini terletak di sisi barat laut dari Semenanjung Kepala Burung, Pulau Papua. Pegunungan ini cukup terkenal sebagai daerah pendakian yang sangat ideal di wilayah Papua Barat, sebagaimana gunungCyclop di Sentani, Kabupaten, Jayapura, Papua.
Gunung Arfak merupakan bagian dari Cagar Alam Pegunungan Arfak, yang 680 kilometer persegi, merupakan kawasan lindung yang melindungi bagian Hutan Hujan Ekoregional Vogelkop Montene.Tak kalah menarik juga, adalah dibawah kaki gunung ini terdapat dua danau kembar besar, jantan dan betina. Atau dalam bahasa Sow, salah satu bahasa dari penduduk asli Arfak, danau jantan dinamakan Anggi Ginji dan danau bertina dinamakan Anggi Gita. Selain itu, Pegunungan Tambrauw juga memiliki keunikan yang sama.
Kabupaten Tambrauw yang berada diantara dua kabupaten induk, Manokwari dan Sorong –itu terdapat hamparan pasir putih dengan padang ilalang yang indah di bawah lembah hijau Kebar, yang biasanya ditempuh sekitar tiga-empat jam dari Kota Manokwari dengan mobil Ford Ranger dengan jalan aspal.Saat menaiki mobil menuju Distrik Kebar, mata kita disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya. Terlihat Burung-burung sibuk lompat dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya, kicauan mereka (burung) saling bersahutan, sungai disepanjang perjalanan bersih tanpa ada satu—pun sampah yang mengapung.
Tambrauw yang baru menjadi kabupaten definitifpada 29 Oktober 2008, dan sejak tahun 2011 diakui dunia, terutama dari organisasi konservasi independen terbesar dunia, World Wide Fund for Nature (WWF) sebagai kabupaten konservasi Nasional.
Kota Jayapura (Port Numbay), Papua yang berbukit-bukit dan sangat elok di malam hari, ibarat Hongkong di waktu malam—saat menatap kota tersebut dari kawasan Angkasapura, belakang Asrama Tauboria, Abepura, atau di kawasan Skanto (perbatasan Kota Jayapura dan Kabupaten Kerom). Pada malam hari, tampak mercusuar yang bekelip-kelip yang terpancang di antara Pulau Engross dan Tobati selalu memberikan rambu-rambu keselamatan bagi setiap kapalyang hendak melintasi Lautan Pasifik dan memasuki pelabuhan Holandia, Jayapura.
Selain itu, senja indah ditemukan di Kabupaten Kaimana. Lokasinya di sisi barat menghadap Laut Arafuru menyajikan pemandangan senja nan elok. Senja di Kaimana bisa nikmati di hampir sepanjang jalan utama kota yang bersisian dengan pantai. Namun, bukan hanya senja yang menjadi pesona Kaimana, menyusuri laut Kaimana dengan pulaunya yang berjumlah 400, pantai molek berpasir putih, hingga peninggalan budaya dari berbagai zaman juga bisa ditemui. Sungai Mamberamo nan panjang (670-an km) dan lebar (520-an meter), hampir sama dengan Amazona di Brasil. Sungai terbesar ke -7 di Indonesia yang merupakan satu-satunya jalan masuk ke jantung pedalaman Papua itu menyimpan beragam satwa endemik masih bisa ditemukan.Misalnya, walabi, tikus pohon kecil, buaya muara, dan ratusan jenis burung indah, seperti cenderawasih dan kakatua putih.Tampak di sepanjang aliran sungai, tumbuh hutan sagu yang sangat subur.Luas hutan sagu di daerah ini diperkirakan sekitar 300 ribu hektar dan sejumlah kekayaan alam ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Memang, sungai Mamberamocukup luas, diibaratkan sebagai Amazon-nya Papua. Sungai Amazona merupakan sungai terpanjang kedua di dunia (6400 km), setelah sungai Nil di Afrika.Aliran sungai Amazona melewati lima negara Amerika Latin, yakini Brasil (62, 4 persen), Peru (16,3 persen), Bolivia (12,0 persen), Kolumbia (6,3 persen), dan Ekuador (2,1 persen). Sangat benar, jika Papua dikatakan sebagai negeri surga dan negeri penuh sejuta misteri.
Kepulan asap putih bercampur hitam membumbung tinggi ditemukan di laut Sorong, Papua Barat dengan perusahaan minyak bumidan di kawasan Teluk Bintuni dengan perusahaan gas-nya. BagianSelatan Timika, Pantai Kamoro dengan utaian pulau-pulau yang nan elok dan asri, serta gunung Grasbeg yang menyimpan banyak kandungan hasil bumi, misalnya emas dan tembaga yang kini terus dioperasi oleh perusahaan raksasa asal Amerika, PT. Freeport Indonesia melalui undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Papua dan Papua Barat yang kerap kali dijuluki sebagai Negeri Cenderawasih—itu memang menyimpan banyak harta kurun, baik yang telah dan belum dijarah.Bukan saja soal kekayaan alamnya yang indah dan berlimpah-ruah, tetapi keragaman suku, bahasa, tradisi, budaya, dan situasi damai menjadikan Papua dan Papua Baratdiibaratkan Tanah Surga. Sayang, apa yang dimiliki Papua, baik sumber daya hayati, non hayati, kedamaian, dan keharomonisan itu—tidak memberikan jaminan hidup yang berarti, justru yang terjadi adalah masyarakat Papua dan Papua Barat hidup penuh dengantragedi; darah dan air mata terus mengalir.
Tragedi di Timika
Sayang, keindahan dan kekayaan alam Papua—itu tidak seindah nasib orang Papua.Penculikan, pembunuhan, pembantaian manusia Papua oleh militer Indonesia terus terjadi.Darah dan air mata orang Papua terus mengalir membasahi Bumi Cenderawasih itu.
Pekan lalu, 28 Septeber 2015, dua orang siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) mati tertembak oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Timika. Kedua korban itu atas nama Kaleb Bagau (17) siswa kelas III STM Kuala Kencana, Timika, dan Erfando Sobarofek (17), yang tertembak dibagian dada dan kaki adalah siswa SMK Budi UtomoMimika, Timika, Papua.
Sebelumnya, pada Jumat (29/8), di daerah Koperapoka, Mimika, Papua, dua orang mati tertembak oleh tiga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Yang mana, ketiga anggota TNI tersebut dipengaruhi oleh alkohol.Dua korban tertembak itu adalah Yulianus Okoare (18) dan Imanuel Marimau (23).
Hal ini mengundang keprihatinan dari berbagai pihak, terutama para pemimpin Gereja di Tanah Papua.Salah satu ungkapan keprihatinan itu dari Uskup Keuskupan Timika, Mgr. John Philip Saklil Pr, yang menyatakan, gereja mengecam semua tindakan kekerasan yang berujung korban nyawa.
”Tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan pribadi atau kelompok. Jangan berdalih dengan alasan apa pun. Sebab, sudah jelas pihak yang menyebabkan korban nyawa harus ditindak, apalagi menggunakan alat negara,” katanya.
Nasib manusia Papua tidak seindah mimpi atau yang digaungkan selama ini sebagai Tanah Surga, justru sebaliknya, Papua adalah Tanah Tumpah Darah.Suara-suara kemanusiaan dan moral tak pernah digubris oleh para pemimpin negara ini.Pelaku pelanggaran HAM tak pernah diproses sampai kemeja hijau.
Para aktivis HAM, pimimpin Gereja di Tanah Papua telah menyerukan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di daerah itu, termasuk penembakan terhadap lima pelajar di Kabupaten Paniai, 8 Desmber 2014 lalu. Namun, suara-suara moral dan kenabian dari para rohaniawan dan kaum moralis tersebut tak menembusi singgasana kekuasaan yang kini memerintah.Berkuasa sehari itu lebih berartidaripada berbicara sepuluh tahun.
Padahal, lebih dari 70 persenrakyat Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memilih Presiden Jokowi pada Pemilu Presiden 9 Juli 2014—dengan harapan Presiden Jokowi bakal menepati janji kampanyenya untuk menuntaskan pelbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun 1960-an hingga saat ini.
Sebenarnya, Presiden Jokowi memiliki otoritas yang cukup besar untuk melakukan apa pun di negara ini demi kepentingan rakyat, karena ia dipilih secara langsung oleh rakyat, dengan total suara nasional yang diperolehnya 70.997.833 atau 53,15 persen. Ini melebihi suara Presiden Barack Obama pada pemilu periode kedua, 6 November 2012 yang hanya mengatongi 50,5 persen suara. Dengan legitimasi yang dimiliki Presiden Jokowi, seharusnya ia berani untuk bersikap dan ambil langkah kongkrit untuk menutaskan pelbagai pelanggaran HAM berat yang mendera Bumi Cenderewasih itu.
Memang, terlihat Presiden Jokowi kurang serius untuk menuntaskan pelbagai pelanggaran HAM berat di masa lalu.Padahal, masa lalu memiliki andil(influence) yang sangat besar tehadap perubahan masa depan bangsa yang lebih adil, demokratis, dan bermatabat. Sebagaimana dikatakan Otto Gusti, dosen HAM dan filsafat politik di STFK Ledalero, Flores, “ Membiarkan kebenaran sejarah masa lalu berbicara, sering dianggap membahayakan persatuan dan menghambat masa depan sistem politik yang lebih demokratis”.
Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu syarat negara hukum adalah penghormatan terhadap HAM. Peghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia merupakan condition sine qua non, kemutlakan yang pantang ditawar. Untuk memenuhi tiga hal ini—luka lama HAM harus diobati, dan obati luka lama itu butuh sebuah kebenaran revolusioner. Presiden Jokowi harus berani untuk memihak pada kebenaran yang besifat kolektif dengan membuka ruang dialog bersama rakyat Papua.
Hanya dengan metode dialog yang adil, demokratis, dan bermatabat pelbagai persoalan di Tanah Papua akan terungkap secara terang-benderang. Jika, sejumlah masalah dasar yang terjadi di Tanah Papua terungkap dalam proses dialog, maka jalan keluarnya—pun segera ditemukan. Hal ini dilakukan demi mengangkat martabat rakyat Papua dalam NKRI.Karena selama ini pemerintah Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, tapi kehilangan diginiy. Presiden Jokowi harus berpikir besar, rakyat Papua juga adalah rakyat Indonesia yang harus diperlakukan sama dalam hukum dan pemerintahan di negeri ini.
Kebenaran harus diungkap. Karena, kebenaran itu tetap akan datang walaupun di ujung jalan. Kebenaran tak pernah mendua, penafsiran soal kebenaran pasti saja bermacam-macam, tetapi hakekatnya kebenaran itu tunggal. Begitupun rakyat di Timur Indonesia, Tanah Papua memilih Jokowi jadi presiden juga dengan harapan, ia harus berani membela kebenaran, bukan membela yang bayar, jadi petugas partai, atau lakukan revolusi gombal.
Harapan lain, rakyat Papua memilih Presiden Jokowi, agar ia tidak silau dengan kekuasaan, tidak terbang karena pujian, dan tidak tumbang karena dicaci, tetapi Jokowi bisa mampu melakukan sesuatu bagi mereka di negeri Matahari Terbit itu. Yakni menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM mereka dengan membuka ruang dialog—sebagaimana pernah dilakukan Wapres Jusuf Kalla terhadap rakyat Aceh melalui perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005.
Paus Yohanes Paulus II pernah menyatakan, No peace without justice, no justice without forgiveness!Perdamaian erat terkait dengan keadilan, keadilan erat terkait dengan pengampunan.Tidak ada damai tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa kengampunan.Kerinduan besar rakyat Papua, Presiden Jokowi bisa segera mewujudkan sinar keadilan dan kebenaran di Bumi Papua.
“…burung Irian—burung cenderawasih, Tanah Papua—Tanah Surga”! Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.