Oleh Nasarudin Sili Luli
OPINI – Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang tertuang dalam UU Pemilihan Umum telah berkali-kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berkali-kali pula uji konstitusionalitas soal ketentuan itu tidak diterima mahkamah. Pada Kamis (24/02/2022), upaya menghapus ambang batas pencalonan presiden kembali gagal. MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan karena menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. MK Putus 21 Perkara Uji Materi Presidential Threshold dalam 5 Tahun, 17 Tak Diterima Para pemohon yang di antaranya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menggugat Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 222 UU Pemilu 7/2017 menyatakan, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya yang dapat mengajukan capres/cawapres.
Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga mahkamah tidak dapat menerima permohonan. MK Mestinya Lebih Terbuka dengan Kepentingan Pemilih Menurut mahkamah, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik. Selain itu juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres-cawapres.
Relefan Presidential Threshold di Indonesia?
Ketiak berkaca dari negara yang menjadi barometer penerapan demokrasi di dunia Amerika Serikat misalnya pertanyaan yang paling elementer yang sering diajukan adalah mengapa ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial? Bahkan studi komparasi menunjukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden).
Amerika Serikat sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden Bahkan hasil studi Djayadi Hanan (2017) menunjukkan negara-negara di Amerika Latin, yang kebanyakan menganut model sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk, seperti Indonesia, tidak mengenal presidential threshold dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
Bahwa logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif. Pendukung logika ini percaya, bila presiden didukung oleh kekuatan signifikan partai politik lembaga perwakilan, akan lebih mudah mendapat dukungan di lembaga perwakilan. Pandangan demikian hadir disebabkan praktik sistem presidensial lebih banyak ditandai dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengelola relasi antara presiden dan pemegang kekuasaan legislatif.
Jamak dipahami karena sama-sama mendapat mandat langsung rakyat, praktik sistem presidensial acap kali terjebak dalam ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Praktik demikian sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden. Sementara itu, jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.
Secara doktriner dipahami, sistem pemerintahan presidensial berayun antara dua pendulum, di satu sisi pemerintahan yang tidak stabil, sementara di sisi lain mudah terperangkap ke dalam praktik pemerintahan otoriter. Kondisi dilematis ini dikenal sebagai paradox of presidential power.
Inkonstitusional Presidential Thershold ?
Mahkamah Konstitusi harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi undang-undang sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang sistem pemerintahan presidensial. Terkait dengan semangat tersebut, Mahkamah Konstitusi seharusnya menempatkan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa desain konstitusi (constitutional design atau constitutional engineering) menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.
Secara tekstual, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden (dan wakil presiden) diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Berbeda dengan hak konstitusional partai politik peserta pemilu, pandangan terkait design penyederhanaan partai politik tidak diatur dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir (Hakim MK Saldi dan Suhartoyo ).
Tambah lagi, apabila diletakkan dalam disain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden).
Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif.
Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
Penulis adalah pemikir kebangsaan dan kenegaraan.