Bintuni, Masyarakat Moskona merasa bingung karena Pemda Teluk Bintuni belum menentukan harga satuan tingkat distrik. Akibatnya mereka masih terkendala dengan tingginya biaya transportasi yang tidak sebanding dengan harga satuan bahan bangunan. Hal ini seperti dirasakan di distrik Moskona Utara.
“Kami berharap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Teluk Biuntuni untuk turun ke Moskona Utara melihat dari dekat pekerjaan jalan, Bandara, MCK serta proyek-proyek kecil lainnya itu belum ada harga satuan tingkat distriknya.
Utuk mengangkut material bangunan ke Moskona Utara itu memerlukan biaya pesawat yang cukup mahal yaitu harus dicarter dimana sekali carter dari Bintuni ke Moskona Utara sebesar Rp. 26 juta belum lagi kalau itu pulang pergi membutuhkan biaya Rp. 50 juta.
Jadi bagaimana masyarakat Moskona Utara bisa membangun di distrik atau kampung kalau harga satuannya tidak disesuaikan dengan harga carteran pesawat yang ada saat ini.
Terkait hal itu kami juga berharap dinas teknis yaitu Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP4D) kabupaten Teluk Bintuni untuk mengkaji atau merevisi kembali harga satuan carteran pesawat ke distrik Moskona Utara karena sampai saat ini harga satuan biaya pesawat belum pernah di SK kan sehingga perlu di SK karena ini erat kaitannya dengan penentuan harga satuan barang di distrik Moskona Utara,” ungkap Sekretaris Komisi C DPRD kabupaten Teluk Bintuni Jefri Orocomna, S.IP Senin (30/10).
Dia mengatakan bahwa BP4D harus duduk bersama-sama dengan DPRD Teluk Bintuni melihat dan mengkaji harga satuan di daerah ini.
Kalau bisa tiap tahun harga satuan ini dievaluasi karena kita hidup tidak hanya setahun tetapi bertahun-tahun dimana harga satuan barang itu setiap tahunnya mengalami perubahan atau kenaikan.
Kami anggota DPRD ketika akan berkunjung ke sana tentu juga mengeluarkan biaya pesawat yang cukup tinggi hal ini menjadi kendala bagi kami sehingga harga satuan itu perlu dikaji.
“Sebab kami tidak tahu apabila kedepan ada pekerjaan yang masuk ke distrik Moskona Utara seperti pekerjaan jalan itu melalui hak ulayat masyarakat dimana pembayaran harga pohon maupun kebun-kebun masyarakat yang dilalui sebagai ganti rugi tanaman itu sama dengan harga di kota padahal daerah di sana sangat sulit medannya.
Sehingga kami berharap harga satuan ganti rugi tanaman dan lainnya itu agar dipisahkan antara kota dengan pedalaman atau daerah pegunungan dibedakan dengan harga satuan di kota agar ada keadilan,” harapnya.
DMD/Kadate