Oleh Thomas Ch Syufi*
Pada 19 Maret 2022, Republik Demokratik Timor Leste telah menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden ke-5 yang diikutsertakan 16 calon, 6 calon diusulkan oleh partai politik dan 10 dicalonkan secara independen(non-partai politik). Namun, menurut laporan Badan Pemilu Nasional Timor Leste, tak ada satu calon pun yang meraih suara lebih dari 50 persen, maka pemilu akan dilaksanakan dua kali putaran untuk dua kandindat presiden yang meraih suara teratas.
Dua kandidat yang memperoleh suara teratas dari 16 kandidat presiden Timor Leste adalah Jose Manuel Ramos-Horta(72) dan Francisco “ Lu Olo” Guterres (67). Hingga akhir perhitungan hasil perolehan suara putaran pertama pemilihan presiden(pilpres), Ramos-Horta unggul dari dua kali lipat perolehan suara Guterres, yakni 44,5 persen-24,1 persen. Jadi secara otomatis, kedua kandidat dengan suara teratas ini yang akan berhak mengikuti pilpres putaran kedua yang dijadwalkan 19 April 2022 mendatang.
Tentu, pertarungan akan kian sengit bagi kedua veteran di pilpres putaran kedua nanti. Guterres yang merupakan calon presiden petahana dari Partai Fretilin(Frente Revolucionaria de Timor-Leste atau Front Revolusi untuk Timor Leste Merdeka) ini akan habis-habisan melakukan berbagai manuver politik, mengosolidasi kekuatan ke berbagai partai politik dan para calon yang tidak lolos ke putaran kedua, guna menarik dukungan untuk menumbangkan seniornya, Jose Ramos-Horta yang merupakan kandidat presiden yang dicalonkan partai oposisi yang didirikan Presiden pertama Timor Leste Xanana Gusmao, yaitu Conselho Nacional de Resistencia Timorense(Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor/CNRT).
Sebelumnya, CNRT adalah salah satu dari empat partai politik yang berkoalisi dengan Partai Fretilin mengusung sekaligus sukses memenangkan Francisco “Lu Olo” Guterres pada putaran kedua Pilpres Timor Leste tahun 2017 menantang kandidat presiden dari Partai Demokrat, Antonio da Conceicao. Namun, kebuntuan dan ketegangan politik mulai meningkat setelah Presiden Francisco Guterres, yang termasuk dalam partai oposisi Fretilin menolak melantik 7 menteri yang diusulkan oleh Xanana Gusmao(CNRT), karena dituduh korupsi.
Konflik politik tersebut berdampak pada sikap Perdana Menteri Jose Maria de Vasconcelos alias Taur Matan Ruak(presiden Timor Leste periode 2012-2017) dari Partido de Libertacao Popular(Partai Kemerdekaan Rakyat/PLP) mengajukan surat penguduran diri 25 Februari 2020 kepada Presiden Francisco Guterres setelah Parlemen Nasional menolak Proposal Rencana Anggaran Umum Negara 2020 dalam Sidang Parlemen 17 Januari 2020. Namun, berselang 40 hari, 8 April 2020, Taur Mantan Ruak yang di masa invasi atau okupasi Indonesia selama 24 tahun(1975-1999) sempat menjabat Panglima Falintil(Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste) menggantikan Jose(Ze) Conisso Antonio Santana atau “Nino Konis Santana“ yang meninggal 11 Maret 1998 yang juga menggantikan Xanana Gusmao yang ditangkap Kopassus pada pada Jumat, 20 November 1992 di Dili, ibu kota Timor Leste itu menarik kembali surat pengunduran dirinya, dengan alasan situasi pandemi Covid-19 yang masih mewabah hingga saat ini tentu rakyat Timor Leste membutuhkan kehadirannya sebagai kepala pemerintahan untuk menanggulangi.
Langkah Taur Matan Ruak sepadan dengan sistem ketatanegaraan yang dianut atau telah dinormakan dalam konstitusi negara itu. Adalah Presiden bertanggungjawab mengangkat pemerintah dan juga memiliki kewenangan untuk memveto menteri dan membubarkan parlemen.
Jadi, kedua rival politik, yakni Jose Ramos-Horta dan Francisco Guterres yang akan bertarung dalam putaran kedua Pemilu Presiden Timor Leste 19 April 2022 mendatang merupakan dua tokoh yang masing-masing memiliki pengaruh dan basis massa yang cukup besar dan dukungan dari sejumlah partai politik. Mereka juga pahlawan yang telah berpeluh keringat dan berdarah-darah(mempertaruhkan jiwa dan raga) berjuang bersama Xanana Gusmao memerdekakan Timor Leste dari Indonesia, sesuai kapabalitas dan kapasitas di medannya masing-masing.
Pada tahun 1975, gerakan kemerdekaan Associacao Social Democratica Timorese(ASDT), yang kemudian bernama Fretilin. Nama, Partai Fretilin separalel dengan Partai Frelimo(Frente de Libertacao de Mocambique atau Front untuk Pembebasan Mosambik) yang dididirikan oleh Samora Machel dan Vincent Erskine tanggal 25 Juni 1962 untuk memperjuangkan kemerdekaan Mosambik dari jajahan Portugis yang berhasil dicapai tahun 1975, setelah Revolusi Anyelir yang bergulir di Portugal, 25 April 1974. Sejak didirikan, Partai Frelimo menguasai Mosambik(negara di Afrika bagian selatan) sampai sekarang.
Guterres bergabung dengan perlawanan bersenjata ketika militer Indonesia menginvasi “Bumi Lorosae”, Desember 1975, yang pada awalnya bertempur di Ossu(jarak sekitar 91 kilometer tenggara ibu kota Dili) di bawah komando Lino Olokassa. Sejak Guterres menjadi gerilyawan hingga jajak pendapat atau referendum 30 Agustus 1999 di Timor Leste, ia telah mengambil alih berbagai jabatan dan komando untuk Fretilin dan pasukan militernya, Falintil. Ia meniti karier militernya dari bawah: setelah Francisco da Silva ditangkap pada tahun 1976, ia menjadi penggantinya sebagai Sekretaris Fretilin untuk wilayah pesisir timur di Matebian(gunung tertinggi ketiga di Timor Leste setelah Ramelau/Tatamailau).
Pada tahun 1978, Guterres memegang jabatan komisaris yang didelegasikan untuk wilayah Ponta Leste(Sektor Timur/bahasa Tetum), yang meliputi tiga kabupaten; Lospalos, Baucau, dan Viqueque. Tahun 1984, ia dipercayakan sebagai Komisaris Politik Nasional Fretilin. Pada tahun 1987, pemimpin Partai Fretlin Xanana Gusmano meninggalkan partai tersebut dan membentuk kepemimpinan politik organisasi payung baru semua partai kemerdekaan di Timor Timur(Timur Leste) yang diberi nama Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Maubere(CNRM), yang kemudian menjadi CNRT. Falintil berada di bawah CNRM dan kepemimpinan Fretilin diambil alih pada tahun 1988 oleh sebuah Komite Arahan, dan Guterres menjadi salah satu dari tiga deputi bersama dengan Jose Antonio Gomes da Costa alias Ma’huno Bulerek Karathayano(14 April 1949-24 September 2021) sebagai Sekretaris Eksekutif Komite Arahan Fretilin(CDF).
Pada 5 April 1993, Ma’huno ditangkap militer Indonesia menyusul Xanana dan posisi tersebut digantikan Nino Konis Santana, dan lima tahun kemudian, 1998, Nino Konis Santana meninggal, Guterres mengambil alih jabatan sekretaris CDF. Setelah Soeharto menyatakan mundur dari jabatan presiden Indonesia yang telah digenggam selama 32 tahun 75 hari, 21 Mei 1998 karena ditiup angin reformasi, maka melalui momentum transisi politik itu, pada bulan Agustus tahun yang sama, digelar Kongres Fretilin di Sidney, Australia dan salah satu hasil dari kongres tersebut adalah Guterres menjadi Koordiantor Umum Dewan Presiden Fretilin yang menggantikan CDF.
Hingga sekarang, Francisco Guterres bersama rekannya Mari Bin Amude Alkatiri(Perdana Menteri pertama Timor Leste, kurun 2002-2006) masih setia membesarkan Partai Fretilin. Dalam pemilihan presiden Timor Leste 9 April 2007, Guterres diusung Partai Fretilin pada pemungutan suara pertama, ia memenangkan suara terbanyak dengan 27,89 persen, namun tidak mencapai lebih dari 50 persen suara. Dan, pada putaran kedua 9 Mei 2007, ia kalah dari mantan Perdana Menteri Timor Leste Jose Ramos-Horta(2006-2007) yang kini kembali bersaing dengannya dalam Pilpres Timor Leste dengan hasil perolehan suara 31 persen berbanding 69 persen.
Tidak terputus. Pada Pemilu Timor Leste tanggal 17 Maret 2012, Guterres kembali maju sebagai calon presiden Timor Leste dari Partai Fretilin meraih suara teratas 28,76 persen suara tanpa mencapai mayoritas absolut atau lebih dari 50 persen. Dan dalam putaran kedua Pemilu 16 April 2012, Guterres dikalahkan oleh Taur Matan Ruak yang berada di posisi kedua dalam putaran pemtama proses elektoral. Guterres baru memenangkan kursi presiden pada Pemilu Presiden Timor Leste 20 Maret 2017 di babak pertama dengan peroleh suara mayoritas mutlak 57,08 persen. Dalam konteks politik, Fransisco Guterres alias “Lu Olo” disinonimkan seperti Abraham Lincoln-nya Timor Leste. Abraham Lincoln(presiden ke-16 Amerika Serikat) 10 kali maju mencalonkan diri sebagai AS, 9 kali gagal. Francisco Guterres pun 3 kali maju sebagai calon presiden Timor Leste, dua kali gagal dan kini kembali maju lagi untuk periode keduanya menjadi orang nomor satu di negara termuda di Asia.
Bagi Guterres, poinnya adalah kesabaran, dengan tidak menyerah saat gagal, tetapi berusaha bangkit teruslah mencoba. Sebagaimana dilukiskan dalam pepatah Latin, “Gutta cavat lapidem non vi, sed saepe cadendo”(batu berlubang bukan karena kekuatan yang dahsyat, tetapi akibat tetesan air yang berulangkali). Begitupula untuk meraih jabatan tertinggi dalam bidang politik, termasuk merebut kursi presiden—yang dibutuhkan adalah keberanian untuk tidak menyerah—terhadap kegagalan sebelumnya.
Dalam kontestasi ini, para polisi Partai Fretilin pun gencar menyerang Jose Ramos-Horta yang diusung Partai CNRT. Bahkan Sekjen Partai Fretilin, Mari Bin Amude Alkatiri, secara gamblang menyatakan bahwa Jose Ramos-Horta tidak bisa menjadi presiden Timor Leste, karena ia menjabat Perdana Menteri Timor Leste(10 Juli 2006- Pemilu 9 April 2007) gagal mengatasi kerusuhan atau kekacauan politik sepanjang tahun 2006 dan 2007. “Dikhawatirkan akan menciptakan krisis yang sama saat ia terpilih nanti,” kata tokoh kemerdekaan Timor Leste berdarah Yaman sekaligus Perdana Menteri pertama negara itu, 20 Mei 2002-26 Juni 2006(mengundurkan diri di sisa masa jabatan satu tahun).
Namun, berbagai tuduhan itu tidak ditampik oleh Horta yang merupakan pemenang hadiah Nobel Perdamaian bersama rekan senegaranya, Uskup Keuskupan Dili, Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB(74), di Oslo, Norwegia 1996 atas kegigihan dan konsistensi mereka bekerja mencegah kekerasan dan menghalangi penindasan terhadap rakyat kecil dengan menawarkan solusi adil dan damai untuk penyelesaikan konflik Timor Timur dan pemerintah Indonesia. Horta yang setelah pensiun dari jabatan presiden 2007- 2012, ia ditunjuk menjadi Special Envoy(Utusan Khusus) Sekjen PBB Ban Ki-moon ke negara bekas jajahan Portugis di Afrika Barat, Guinea-Bissau, sekaligus menjabat Kepala Kantor Pembangunan Perdamaian Terpadu PBB di Guinea-Bissau(Uniogbis) untuk memulihkan krisis politik akibat kudeta militer 12 April 2012, terhitung sejak 2 Januari 2013 menggantikan Joseph Mutaboba, diplomat Rwanda itu mengatakan bahwa gejolak politik tahun 2006-2007 di Timor Leste adalah kelanjutan dari konflik sebelumnya(ketika Mari Alkatiri masih aktif sebagai Perdana Menteri).
Horta enggan untuk berdebat dengan peristiwa masa lalu atau sesuatu yang tidak membawa kemanfaatan bagi kemajuan negara dan rakyat Timor Leste di masa depan atau keluar dari berbagai keterpurukan saat ini. Ia lebih memilih menawarkan konsep dan gagasan ideal tentang masa depan pembangunan rakyat Timor Leste. Mantan Juru Bicara Perlawanan Rakyat Timor Leste di pengasingan sejak usia 25 tahun, terutama di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat selama 24 tahun sekaligus Wakil Tetap Fretilin di PBB dan mengundurkan diri dari partai tersebut tahun 1988, menjadi politisi independen itu terdorong maju sebagai calon presiden untuk memulihkan situasi yang kurang menguntungkan rakyat Timor Leste saat ini. Horta menganggap Francisco Guterres(kandidat presiden petahana) memerintah Timor Leste melampaui kewenangan atau melanggar konstitusi(abuse of power and abuse of constitutional). Guterres menolak mengangkat tujuh menteri yang diajukan oleh CNRT, partai politik pimpinan Xanana Gusmao setelah Pemilu Parlemen 2018. Langkah itu memicu kebuntuan dan instabilitas politik di Timor Leste hingga sekarang. Maka, Xanana mengajak Ramos-Horta untuk maju menantang Guterres di pilpres melalui perahu CNRT dengan mengusung jargon memulihkan stabilitas politik, menjaga keutuhan konstitusionalitas Timor Leste.
Sebagai seorang konstitusionalis, gagasan Ramos-Horta yang ingin menegakkan kembali konstitusi Timor Leste sangat simetris dengan pendapat Thomas Jefferson(1743-1826), konseptor, bapak pendiri sekaligus presiden ke-3 Amerika Serikat, “Jika menginginkan perubahan sebuah negara jadi efektif, maka lebih dahulu para pemimpin negara itu harus fokuskan otak, kepala, dan mata mereka pada konstitusi”. Sebab konstitusi adalah pedoman umum dan tertinggi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernagara. Dalam konstitusi diatur keinginan luhur dan cita-cita bernegara, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Maka, ketika sebuah pemerintahan yang tidak dijalankan sesuai dengan semangat konstitusi, tentu cita-cita keadilan dan kesejahteraan bersama(bonum commune) juga makin menjauah dan menjadi utopia.
Terlepas dari kedua tokoh veteran “Angkatan 75” tersebut, sudah waktunya Timor Leste harus menata dan memperbarui diri melalui proses regenerasi kepemimpinan politik. Karena, hampir 20 tahun negara berpenduduk 1,3 juta jiwa dan seluas 15.000 kilimeter persegi itu merdeka dari Indonesia, proses regenerasi kepemimpinan nasional, terutama pintu pengisian jabatan presiden menjadi terkunci oleh habitus dan kultur politik gerontokrasi(sistem politik yang dikuasai kaum tua). Namun, mereka bukan kakostokrasi(pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang beritikad paling buruk). Jadi, jabatan presiden, perdana menteri, maupun parlemen kerap diisi oleh wajah yang sama. Jose Ramos-Horta, Fransisco Guterres, Xanana Gusmao, Taur Matan Ruak, dan Mari Alkatiri telah menjabat berbagai macam posisi, kekuasaan, dan terus menjadi tokoh prominen di negara yang sebelumnya dijajah oleh Portugis selama sekitar 400 tahun(sejak abad ke-16 atau tahun 1702 hingga abad ke-20 tepat tahun 1975).
Salah calon presiden nomor urut-3 dari angkatan muda, Angela da Silva Freitas juga mengeluhkan dengan tampuk kepemimpinan nasional Timor Leste sejak merdeka hingga sekarang masih didominasi oleh para veteran perang. Generasi muda yang nota bene lulusan perguruan tinggi luar negeri dan memiliki visi dan misi ke depan, tak pernah diberi kesempatan. “Kita harus menghargai jasa pahlawan, tapi bagaimanapun kita harus bisa mengentaskan negara dari kemiskinan, kata alumnus University of Queensland, Australia, dengan kualifikasi ilmu politik dan kedokteran, juga mantan aktivis kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste(RDTL), pernah dipenjarakan militer Indonesia, dan pernah menjadi sekretaris HAM untuk Amnesty International pada 1989(Suara Pemred, 17 Maret 2022).
Diyakini pemimpin muda lebih produktif, memiliki semangat juang yang tinggi, energi yang cukup, dan pemikiran yang brilian, untuk membawa Timor Leste keluar dari berbagai patologi dan problem sosial yang membelit, termasuk mengentaskan masalah kemiskinan. Tidak ada alasan bagi politisi veteran untuk memelihara terminologi klasik bahwa Timor Leste adalah negara baru merdeka tentu proses kemajuannya bersifat gradual seperti negara-negara lain di dunia yang telah mendahului proses kemerdekaannya; mulai dari negara miskin, negara berkembang, negara maju, negara adidaya, hingga negara adikuasa atau negara super power, dengan membiarkan 45,7 persen rakyat Timor Leste yang saat ini berada di bawah kemiskinan(Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa(UNDP) dan Survey tahunan Multi-dimensional Poverty Index(Indeks kemiskinan multidimensi/MPI tahun 2019).
Melihat realitas tersebut, perlu dirasionalisasi demokrasi yang baik dan sehat, serta membawa kedamaian tidak hanya dilihat banyaknya calon dalam sebuah kontestasi politik; pemilu langsung yang jujur, transparan, dan damai, tetapi yang tidak kalah penting juga adalah para politisi atau tokoh senior dengan legowo membiarkan generasi muda saling berkompetisi untuk merebut jabatan publik(estafet kepemimpinan nasional). Memang, kehilangan tokoh seperti kehilangan praksis dari akar cantolan konsep. Namun, kebesaran tokoh tetap terawat karena dengan adanya penerus yang melanjutkan(perjuangannya). Pemimpin yang hebat adalah yang tidak takut untuk menghebatkan penggantinya. Tentu, dalam politik sebagaimana diungkapkan dalam bahasa Latin, “Hosties aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum”(lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi, yang abadi itu hanya kepentingannya). Dan Lord Palmerston(1784-1865), negarawan Inggris yang dua kali menjabat Perdana Menteri Inggris pada abad ke-19, merumuskan menjadi: “Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan!
Jelas, pemilihan presiden RDTL putaran kedua yang akan digelar pada 19 April 2022 mendatang merupakan perhelatan berbagai kekuatan politik, spektrum politik yang akan menentukan warna Timor Leste ke depan. Juga diharapkan Pilpres 2022 ini menjadi momentum atau “reuni terakhir” di panggung politik nasional oleh generasi veteran “Angkatan 75”, atau kamerad pejuang kemerdekaan di jalur milter maupun diplomasi Timor Leste. Jika demikian, maka generasi veteran akan dihormati sebagai “champion of democracy, yang kelak menjadi “legacy” yang akan dikenang dengan indah oleh generasi mendatang. Hal tersebut sangat tepat dengan ungkapakan Marcus Tullius Cicero(106-43 SM), filsuf, orator, pengacara, senator, dan negarawan Romawi, “Bagaimana generasi mendatang akan menilai kita? Itulah satu-satunya pertanyaan bagi negarawan. Tapi sebelum mereka menilai kita, lebih dulu mereka harus tahu siapa kita! Semoga.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Advokat/Pengacara muda Papua(tulisan ini merupakan pandangan pribadi, tidak mewakili masyarakat Papua).