Beranda Daerah Pencaker di Papua Perlu Diwajibkan Surat Keterangan Bebas HIV-AIDS dari Dokter

Pencaker di Papua Perlu Diwajibkan Surat Keterangan Bebas HIV-AIDS dari Dokter

1797
0
Felix Degei (Foto:Dok.Pribadi)

Oleh Felix Degei*

Ulasan dalam artikel ini sepenuhnya tidak bermaksud untuk mendiskriminasi Kelompok ODHA. Namun, sesungguhnya untuk membangun kesadaran bersama. Terlebih khusus bagi segenap Kawula Muda Papua. Agar mereka berada pada dua pilihan hidup: Apakah mereka mau mendapatkan peluang pekerjaan atau justru terjerumus dalam pola hidup yang pada akhirnya bisa terinfeksi virus yang hingga saat ini belum ada obatnya? Ide ini justru dirasa sepadan dengan berbagai surat keterangan lain yang selama ini diterapkan oleh berbagai instansi. Misalnya, Surat Kesehatan Baik dari Dokter dan Keterangan Bebas Penyakit TBC.

Berkaca pada pertumbuhan Angka Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) di Papua yang sedang massive belakangan ini maka segala upaya mesti dilakukan oleh berbagai pihak. Entah itu upaya yang sifatnya pencegahan (preventive), penguatan bagi ODHA (konseling dan rehabilitasi) maupun penyembuhan (curative) kendati obatnya belum ada hingga saat ini.

Data resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam empat triwulan terakhir sejak 31 Juni 2018 hingga 31 Maret 2019 sungguh mengkuatirkan. Sehingga muncul pada sebuah kesimpulan jika para pencari kerja (pencaker) di Papua perluh diwajibkan Surat Bebas HIV-AIDS dari dokter saat melamar pekerjaan guna meminimalisir pertumbuhan Angka ODHA dan meningkatkan produktivitas kinerja dari para pekerja. Hal tersebut mengigat persentase terbanyak ODHA pada setiap triwulan adalah dari kelompok umur 25-49 tahun atau usia produktif untuk berkeluarga juga karir.

Data per 31 Juni 2018, usia (< 1 tahun) sebanyak 51 orang, usia (1-14 tahun) sebanyak 894 orang, usia (15-19 tahun) sebanyak 4.437 orang, usia (20-24 tahun) sebanyak 8.943 orang, usia (25-49 tahun) sebanyak 21.819 orang dan usia (> 50 tahun) sebanyak 1.293 orang. Sementara kelompok usia yang tidak diketahui sebanyak 554 orang. Dengan demikian, kelompok usia yang dominan pada edisi 31 Maret 2018 adalah usia (25-49 tahun) sebanyak 21.819 orang dari total 37.991 orang.

Data per 30 September 2018, usia (< 1 tahun) sebanyak 56 orang, usia (1-14 tahun) sebanyak 917 orang, usia (15-19 tahun) sebanyak 4.555 orang, usia (20-24 tahun) sebanyak 9.129 orang, usia (25-49 tahun) sebanyak 22.344 orang dan usia (> 50 tahun) sebanyak 1.324 orang. Sementara kelompok usia yang tidak diketahui sebanyak 549 orang. Dengan demikian, kelompok usia yang dominan pada edisi 30 September 2018 adalah usia (25-49 tahun) sebanyak 22. 344 orang dari total 38.874 orang.

Data per 31 Desember 2018, usia (< 1 tahun) sebanyak 58 orang, usia (1-14 tahun) sebanyak 947 orang, usia (15-19 tahun) sebanyak 4.706 orang, usia (20-24 tahun) sebanyak 9.380 orang, usia (25-49 tahun) sebanyak 22.983 orang dan usia (> 50 tahun) sebanyak 1.360 orang. Sementara kelompok usia yang tidak diketahui sebanyak 544 orang. Dengan demikian, kelompok usia yang dominan pada edisi 31 Desember 2018 adalah usia (25-49 tahun) sebanyak 22.983 orang dari total 39.978 orang.

Data per 31 Maret 2019, usia (< 1 tahun) sebanyak 59 orang, usia (1-14 tahun) sebanyak 976 orang, usia (15-19 tahun) sebanyak 4.781 orang, usia (20-24 tahun) sebanyak 9.577 orang, usia (25-49 tahun) sebanyak 23.461 orang dan usia (> 50 tahun) sebanyak 1.407 orang. Sementara kelompok usia yang tidak diketahui sebanyak 544 orang. Dengan demikian kelompok usia yang dominan pada edisi 31 Maret 2019 adalah usia (25-49 tahun) sebanyak 23.461 orang dari total 40.805 orang.

Data di atas dihimpun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua berdasarkan sampel darah dari pasien yang sempat ke rumah sakit dan klinik. Dengan demikian tentu masih sangat banyak orang di Papua yang belum sempat diketahui status kesehatannya. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran. Di kota sekalipun pasti ada kelompok orang yang tidak mau diperiksa dan atau tidak sempat ke rumah sakit. Sehingga, data tersebut ibarat fenomena Gunung Es (iceberg).

Dari data tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kelompok yang sangat beresiko dalam empat triwulan terakhir (31 Juni 2018-31 Maret 2019) adalah usia (25-49 tahun). Padahal mereka adalah kelompok usia yang sangat produktif untuk berkeluarga juga karir. Untuk itu, semua pihak harus segera mengambil peran dalam menjamin kualitas dan taraf hidup berkeluarga juga karir. Berhubung HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan atau daya tahan tubuh manusia (immune).

Salah satu cara untuk menjamin mutu produktivitas kerja dan pelayanan publik adalah melakukan proses seleksi, penempatan dan penyaluran tenaga kerja secara baik dan profesional. Misalnya menetapkan syarat dan ketentuan pelamar secara tegas dan jelas. Mengacu pada data Angka ODHA di atas maka institusi negeri maupun swasta serta korporasi dan berbagai badan usaha di seluruh Tanah Papua perluh mewajibkan Surat Keterangan Bebas HIV-AIDS dari Dokter. Keterangan tersebut mesti jadi bagian penting dalam Seleksi Administrasi sebagaimana selama ini diterapkan oleh Bank Papua Cabang Nabire.

Singkat kata penerapan kebijakan ini diyakini akan meminimalisir angka kematian dini (mortalitas) serta meningkatkan produktivitas kerja dan pelayanan publik. Harapan jangka panjangnya adalah mengurangi laju pertumbuhan Angka ODHA di Seantero Tanah Papua. Ingat mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Penulis adalah Pegiat Masalah Pendidikan Khusus Orang Asli (Indigenous Education). Tinggal di Kota Nabire Provinsi Papua.