Beranda Daerah Pengacara LE Dipenjara KPK dan Hak Imunitas

Pengacara LE Dipenjara KPK dan Hak Imunitas

1505

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi menahan pengacara eks-Gubernur Papua Lucas Enembe, Etefanus Roy Rening pada 9 Mei 2023 setelah ditetapkan sebagai tersangka, 3 Mei 2023, terkait dugaan dengan sengaja merintangi proses penyidikan atau obstruction of justice dalam kasus dugaan korupsi Lucas Enembe yang kini tengah ditangani KPK. Namun, langkah KPK menahan Stefanus Roy Rening alias “Roy Rening” ini tentu akan menyisahkan sejumlah pertanyaan di kalangan masyarakat, termasuk para ahli hukum dan organisasi advokat atas hak imunitas yang dimiliki oleh advokat.
Sebagaimana dikatakan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron bahwa penahahan Roy Rening tersebut dilakukan untuk keperluan penyidikan. Ia menuturkan bahwa dalam perkara tersebut, Roy diduga melakukan sejumlah tindakan melanggar hukum dan tidak beritikad baik. KPK menduga bahwa Roy menyusun skenario yang menyulitkan KPK melakukan penyidikan, di antaranya memengaruhi sejumlah saksi agar tidak hadir memenuhi panggilan penyidik KPK. “Jadi, Saudara Stefanus Roy Rening memengaruhi beberapa pihak yang dipanggil KPK agar tidak hadir,” kata Ghufron (Kompas.com, Selasa, 9 Mei 2023).

Apakah benar Roy Rening diduga melakukan obstruction of justice atau tindakan menghalangi proses keadilan atau penyidikan KPK terhadap kasus dugaan korupsi tersangka Gubernur nonaktif Papua Lucas Enembe (LE). Sebelum mengurai lebih lanjut tentang rangkaian perkara ini, terlebih dari kita harus memahami definisi obstruction of justice (OJ) secara harfiah maupun menurut pendapat para ahli hukum. Yang mana, obstruction of justice merupakan tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum, hingga OJ dikategorikan sebagai contempt of court (penghinaan pada pengadilan).
Pengertian lain dari penghalangan keadilan atau perintangan penyidikan adalah suatu tindak pidana yang terdiri dari menghalangi jaksa, penyelidik, atau pejabat pemerintah lainnya. Dalam beberapa yuridiksi, ini juga mencakup pelanggaran yang luas dari memutarbalikkan jalannya keadilan. Penghalangan adalah suatu tindak pidana yang luas mencakup tindakan seperti sumpah palsu, membuat pernyataan paslu kepada pejabat, mengganggu saksi, mengganggu juri, menghancurkan barang bukti, dan lainnya. Penghalangan juga berlaku untuk pemaksaan terang-terangan terhadap pejabat pengadilan atau pemerintah melalui ancaman atau bahaya fisik yang sebenarnya. Juga berlaku untuk penghasutan yang sengaja terhadap pejabat pengadilan untuk merusak nama baik otoritas yang sah (Wikipedia).

Pengertian lain dari obstruction of justice adalah tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, memengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk memengaruhi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya. Atau oleh Oemar Senoa Adjib dan Adriyanto Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court menjelaskan, obstruction of justice merupakan tindakan yang ditunjukan maupun mempunyai efek memutarbalikan proses hukum sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam proses peradilan.

Ada pun tiga unsur perbuatan yang dijatuhi hukuman pidana obstruction of justice, yaitu: (1), tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings), (2), pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings), dan (3), pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent). Selain itu, di beberapa peradilan di Amerika ditambahkan satu syarat untuk menjatuhi hukuman obstruction of justice, yaitu pelaku harus dapat dibuktikan memiliki motif, seperti ingin bebas dari tuntutan, motif ingin pengurangan masa tahanan, dan lain-lain.

Berdasarkan pasal 221 KUHP, tanpa adanya maksud, seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, misalnya, jika seseorang menolong orang lain melarikan diri tetapi tidak mengetahui bahwa orang yang ia tolong telah melakukan suatu tindak pidana, si penolong tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.

Di Indonesia, obstruction of justice telah diatur dalam pasal 221 KUHP dan pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah.

Dengan berbagai definisi dan pendapat tentang OJ di atas, maka dilihat dari kronologis kasus penahahan KPK terhadap Roy Rening dinilai belum memiliki alasan yang cukup kuat dan dinggap alegasi (tuduhan yang tak mendasar dan mengada-ada). Roy Rening telah menjalankan profesinya sebagai pengacara dalam menangani perkaraya kliennya secara baik dan benar sesuai asas itikad baik (bona fides/ good faith). Ia sebagai pengacara berkewajiban memberikan advis hukum dan segala bentuk bantuan apa pun yang baik dan diterima oleh kliennya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Karena pengacara mendamping seorang klien tidak secara parsial atau setengah hati, tetapi harus memberikan advokasi hukum secara total, holistik, dan prima sesuai dengan peraturan perundang-udangan serta standar hak asasi manusia yang berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam asas atornatus fere in omnibus personam domini represestat (seorang pembela mewakili orang dalam perkaranya secara bulat). Bahkan, right to counsel atau hak menunjuk advokat adalah hak asasi manusia seorang tersangka dan tidak diabaikan dengan alasan apa pun dan fungsi advokat adalah membela klien, bukan menangkap atau menahan tersangka yang menjadi tanggungjawab polisi. Karena itu, berbagai langkah hukum yang dilakukan oleh Rey Rening dan rekan-rekan sebagai advokat yang menangani kasus dugaan korupsi oleh LE sudah tepat. Bahkan pengacara berhak menyampaikan suatu pernyataan di depan publik untuk mempertahankan prinsip-prinsip hukum yang diperlukan serta bertanggungjawab dan tak ada seorang atau lembaga apa pun yang berhak mensubordinasi, mengintervensi, atau mendiktenya. Advokat juga merupakan salah satu dari empat unsur catur wangsa, lembaga penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan advokat (termaktub dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat) yang menerangkan bahwa advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri atau free profession yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Apalagi profesi pengacara juga sebagai penegak hukum hingga mempunyai hak untuk memberikan legal opinion (pendapat hukum) kepada kliennya dan kalau pendapat pengacara diadili, maka dari segi profesi advokat ini ancaman.

“Pengacara termasuk penegak hukum yang memiliki hak imunitas. Seorang pengacara diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pembelaan dan merahasiakan seluruh informasi yang didapat dari klienny. Jadi kalau KPK mengatakan pendapat hukum itu dinyatakan merintangi, wah saya kira semua pengacara akan diangkap (dipenjara),” kata Petrus Bala Pattyona, rekan Roy Rening satu tim pengacara Gubernur nonaktif Papua Lucas Enembe (Liputan6, Kamis, 4 Mei 2023).

Jadi, advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan paralel dengan penegak hukum lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan. Hingga tak ada lembaga apa pun yang arogan dan merasa diri paling superior dalam penegakan hukum dan keadilan di negeri ini, yang berhak menekan advokat, sekaligus memopoli atau mengklaim kebenaran sepihak, termasuk proses hukum terhadap Roy Rening.

Apalagi Roy Rening dan rekan-rekan dalam mengadvokasi kasus dugaan korupsi mantan Gubernur Papua Lucas Enembe, semuanya berajalan secara transparan dan bertanggungjawab. Dan segala upaya yang dilakukan oleh pengacara bukanlah menghalangi proses hukum terhadap LE, tetapi semata-mata demi penegakan hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan, terutama penghormatan terhadap kondisi kesehatan LE yang tengah memburuk dan sekarat hingga belum bisa menjalani proses hukum yang sedang dituduhkan KPK. Ikhtiar tim kuasa hukum adalah bahwa LE tetap akan menjalani proses hukum atas dugaan kasus korupsi yang dialamatkannya setelah ia pulih dari kesakitannya. Dan permintaan pengacara itu mengacu pada semua hasil pemeriksaan dan keterangan resmi dari dokter pribadi dan dokter asal Singapura yang telah sekitar delapan tahun menangani kesehatan LE.

Bahkan, pengacara LE sangat beritikad baik hingga sekitar enam kali mendatangi kantor KPK di Jakarta dengan melaporkan secara tertulis kondisi kesehatan LE kepada KPK. Juga tim kuasa hukum LE mengizinkan KPK untuk mendatangi sekaligus memeriksa LE atas dugaan kasus korupsnya termasuk pemeriksaan kesehatan oleh dokter KPK di Jayapura. Dan upaya itu berjalan mulus, hingga KPK pun berhasil ke Jayapura dan memeriksa LE sebagai tersangka juga kondisi kesehatannya di kediaman pribadinya di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Kamis (3/11/ 2022). Setelah itu, berbagai perkembangan terkait kondisi kesehatan Lucas Enembe terus dilaporkan oleh tim kuasa hukum kepada KPK lewat proses korespondensi.

Tim kuasa hukum berupaya mendatangkan KPK ke Jayapura, karena memang kesehatan mantan Bupati Puncak Jaya itu memburuk dan sangat serius, hingga sulit berkativitas termasuk melakukan perjalanan jauh ke Jakarta untuk memenuhi panggilan pemeriksaan KPK. Apalagi kesehatan merupakan salah satu unsur hak asasi manusia paling fundamental, yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi, karena telah dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun hukum positif, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 1948 di Genewa, Swiss, pasal 28H UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta diatur secara lex specialist pada pasal 5 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bahkan masalah kesehatan juga telah dijamin oleh asas yang lebih tinggi dari semua aturan dan norma hukum di dunia yang wajib kita semua termasuk KPK harus patuhi adalah asas salus populi suprema lex (keselamatan jiwa-jiwa manusia adalah hukum tertinggi) dan asas salus aegroti suprema lex (kesehatan pasien adalah hukum tertinggi). Selain itu, penghormatan terhadap hak sasi manusia merupakan salah satu unsur negara hukum, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf, pengacara, dan politisi Jerman, Friedrich Julius Stahl (1802-1861), selain unsur pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan peradilan tata usaha negara.

Dilihat dari penjelasan tersebut di atas, maka Roy tidak bisa dijerat dengan pidana obstruction of justice, karena apa yang ia perjuangan bersama rekan-rekannya adalah upaya hukum murni yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan maupun berbagai instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia. Karena ia tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti membatasi KPK untuk tidak memeriksa tersangka, menyuruh tersangka melarikan diri ke luar negeri, merusak barang bukti, atau merekayasa atau memalsukan dokumen atau surat keterangan kesehatan seperti yang pernah pada tahun 2018 dilakukan Fredrich Yunadi, eks-pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis 7 tahun penjara karena terbukti menjadi penghalang dalam penyidikan terhadap terpidana korupsi e-KTP Setya Novanto, dan lainnya.
Hak imunitas
Secara filosofis dalam hukum pidana tidak mengenal imunitas didasarkan pada dua postulat hukum. Pertama, impunitas continuum affectum tribuit delinquendi, yang artinya imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan pada orang tersebut untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat, yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.
Dan imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindakan pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya, seperti kepala negara, duta besar, konsul, dan diplomat. Seorang kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat, “Par in parem non habet imperium”(kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum negara lain). Sama halnya duta besar, konsul, dan diplomat yang punya imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik(Eddy OS Hiariej: Kompas, 23 November 2018). Jelas, semua warga negara, termasuk pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan semua pejabat negara tidak ada yang kebal hukum(impunity) jika terbukti melakukan suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum yang telah dinormakan (diatur dalam peraturan perundang-undangan) kecuali yang kejahatan yang belum diatur dalam hukum positif sesuai dengan asas legalitas dalam hukum pidana, yakni nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali ada ketentuan pidana dalam undang-undang telah lebih dahulu dari perbuatan itu. Juga geen straf zonder schuld (tiada hukum tanpa kesalahan). Walaupun ada peraturan yang lahir sebelum sebuah tindak pidana terjadi, tidak dapat mengikat pelanggarnya, karena itu bertentangan dengan asas non-retroaktif (hukum tidak berlaku surut) kecuali seperti kasus kejahatan hak asasi manusia dan terorisme.

Beberapa norma yang berlaku universal juga telah mengatur hak imunitas profesi advokat, yaitu antara lain: pertama, Basic Principles on the Role of Lawyer (Prinsip Dasar Peran Pengacara) merupakan hasil dari Kongres PBB ke-8 tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelanggar yang disahkan di Havana, Kuba, 7 September 1990. Norma ini merupakan rekomendasi kepada negara-negara anggota PBB agar melindungi advokat dari hambatan dan tekanan saat menjalankan tugasnya. Kedua, pada butir ke-8, International Bar Assosiation Standards secara expressive verbis menegaskan, advokat tidak boleh dihukum maupun diancam hukuman, baik pidana, perdata, dan administratif, ekonomi, atau sanksi dan intimidasi lainnya saat membela dan memberi nasehat kepada kliennya secara sah. Dan, ketiga, Deklarasi pada World Conference of the Indepedence of Justice 1983 di Kanada. Deklarasi tersebut menegaskan bahwa harus ada sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang menjamin independensi advokat dalam tugas. Artinya, advokat harus bekerja tanpa hambatan, paksaan, pengaruh, ancaman, intervensi, dan lainnya.
Advokat memiliki hak imunitas atau kekebalan hukum yang dijamin oleh sejumlah instrumen hukum nasional maupun internasional. Misalnya, advokat tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata ketika menjalankan profesinya (pasal 20 Basic Principles on the Role of Lawyers). Juga advokat tidak boleh diidentikan (atau diidentifikasikan) dengan kliennya, tujuan kliennya, dan perkara yang ditanganinya (pasal 18 Basic Principles on the Role of Lawyers). Berdasarkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana ketika menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Jadi, dalam aturan tersebut secara tegas menyampaikan terdapat imunitas profesi advokat ketika menjalankan tugasnya.
Merujuk pada norma-norma tersebut memiliki maksud yang luhur bahwa hak itu menjamin advokat dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk membela dan memberi nasehat kepada klien. Hal itu sejalan dengan pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (yang telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013), yakni syarat itikad baik bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Artinya advokat menjalankan tugas demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien. Jadi, hak imunitas memang ada atau melekat dan dibutuhkan, tetapi tidak dapat dilakukan secara deviasif dan deskrapansif, atau menyimpang dari norma hukum.
Advokat dalam menjalankan profesinya harus menjunjung tinggi prinsip atikad baik demi keadilan dan tidak melanggar hukum, jika melanggar hukum, tentu hak imunitas tidak berlaku. Di sinilah perbedaan hak imunitas antara advokat dengan presiden, duta besar, konsul, diplomat yang melakukan pelanggaran hakum atau tindak pidana di luar wilayah teritorialnya (negara lain). Hak imunitas presiden, duta besar, konsul, dan diplomat tetap melekat, untuk tidak diadili di negara lain (tempat di mana dilakukan tindak pidana), tetapi hak imunitas advokat itu hanya melekat sepanjang menjalankan profesinya dengan itikad baik dan tidak melanggar hukum, jika sebaliknya, maka hak imunitas itu berakhir: tidak berlaku dan tidak ada!

Dan dalam kasus persangkaan KPK terhadap Roy Rening dinilai masih prematur dan gegabah, hingga bisa berpotensi melahirkan abuse of power (penyalahguaan kekuasaan) dan mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia akibat adanya peradilan sesat (miscarriage of justice). Karena, semua proses advokasi hukum yang dilakukan oleh Roy dan rekan-rekan tim kuasa hukum terhadap kliennya sudah berjalan menurut hukum dan standar hak asasi manusia. Berbagai pernyataan tim kuasa hukum di depan publik maupun surat menyurat yang dikirim ke KPK dan semua instansi atau usur yang berkepentingan dengan kasus LE adalah sesuai fakta yang merujuk pada hasil pemeriksaan dan keterangan dokter pribadi maupun dokter asal Singapura yang merawat LE yang membuktikan bahwa LE sakit.
Bahkan LE sendiri pun menyatakan bahwa ia akan bersedia menjalani proses hukum setelah ia pulih dari sakitnya dan ia bertujuan menunjuk pengacara (tim kuasa hukum) adalah membantu dalam memperlancar proses hukumnya. Bahkan menurutnya, bila perlu KPK bisa mendatangi dan memeriksanya di kediaman pribadinya di Jayapura. Akhirnya tim kuasa hukum LE yang mana Roy juga termasuk di dalamnya berupaya dan berhasil mendatangkan tim KPK ke Jayapura dan memeriksa LE di kediaman pribadinya tanggal 3 November 2022, tanpa gangguan keamanan apa pun. Keberhasilan KPK memeriksa LE di Jayapura merupakan buah perjuangan Roy dan rekan-rekan sebagai tim kuasa hukum yang memiliki itikad baik serta membantu KPK dalam proses penegakan hukum terhadap LE tetap adil tanpa melanggar hukum dan nilai-nilai hak asasi manusia yang dianut secara universal.
Dari proses tersebut menunjukkan bahwa Roy Rening tidak terbukti melakukan obstruction of justice (perintangan terhadap proses keadilan atau penyidikan) yang dilakukan oleh KPK terhadap tersangka mantan Gubernur Papua Lucas Enembe. Proses pendampingan hukum yang dilakukan oleh Roy untuk kliennya (LE) sangat profesional sesuai asas dengan itikad baik, hingga ia tidak memenuhi unsur actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat) dalam merintangi penyidikan KPK terhadap LE. Roy juga tidak punya motif apa pun untuk merintangi dan melindungi LE dari proses hukum KPK, tetapi sebagai pengacara ia memiliki satu kepentingan yang luhur, yaitu membantu KPK dalam menegakkan hukum secara adil dan benar serta memenuhi hak-hak asasi tersangka, LE.

Lalu apa dasarnya, KPK bisa mentersangkakan Roy? Apakah KPK merasa tidak dihormati oleh Roy karena ia “absen” ketika lembaga antirasuah itu memeriksa LE di kediaman pribadinya di Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Kamis (3/11/2022). Atau KPK merasa Roy mem-blow up atau mendramatisir situasi ketika mengemukan pendapat tentang fakta dan pengalaman pahit perjalanan politik LE di negara ini, jadi pernyataannya bias dari pokok perkara.
Jika KPK berpendapat demikian, maka benarlah ungkapan bahwa setiap kebijakan dan keputusan hukum tidak pernah bersih dari anasir atau intervensi politik. Memang ketika hukum berkelindan dengan kepentingan politik, keadilan semakin terjepit atau yang menderita adalah keadilan. Padahal, jauh-jauh hari Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, orator, pengacara, dan negarawan zaman Romawi kuno mengingatkan bahwa, “Legum servi sumus ut liberi esse possimus” (kita adalah hamba hukum karena itu kita bisa merdeka). Pandangan ini bermaksud tentang pentingnya ketaatan kita pada hukum, baik yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Sebab ketidaktaatan pada hukum akan menjerumuskan ke dalam parit abuse of power (penyalahgunaan kewenangan) sekaligus melahirkan apa yang dikatakan oleh filsuf dan penulis naskah drama Romawi kuno, Plautus (254-184 SM) dan dipopulerkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf empirisme Inggris, “Homo humini lupus est, manusia yang satu jadi serigala bagi manusia lain, atau bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua, hingga kuat menindas yang lemah, penguasa menjadi tirani bagi rakyat. Bila demikian, maka tidak ada kemerdekaan!
Adik kandung Presiden AS ke-35, John F Kennedy (1917-1963), yakni Robert Francis “Bobby” Kennedy (1925-1968) yang pernah ditunjuk oleh kakaknya sebagai Jaksa Agung AS dan dilanjutkan memegang jabatan Attorney General pada pemerintahan Presiden AS ke-36, Lindon Johson pernah mengatakan, “Whenever men take the law into their hands, the loser is the law. And when the law loses, freedom languishes” (ketika orang-orang mengambil hukum dalam genggaman tangannya, yang kalah adalah hukum. Ketika hukum kalah, kemerdekaan merana. Agar tidak terjadi apa yang dikatakan Kennedy, maka David Hume (1711-1776), filsuf, ekonom, dan sejarawan Skotlandia (Britania Raya) berpendapat, “The law always limits every power it gives”-hukum selalu membatasi setiap kekuasaan yang diberikannya.
Dari uraian tersebut di atas, maka hukum harus digunakan sesuai dengan kepentingannya dan bila perlu harus dijauhkan dengan berbagai anasir kepentingan parsial, baik politik, kekuasaan, ekonomi, dan oligarki. Persangkaan KPK terhadap Roy juga harus benar-benar objektif dan adil secara hukum dan memenuhi rasa kemanusiaan sekaligus tidak mencederai salah satu profesi tertua dalam sejarah manusia, yaitu advokat yang sejak Patronus (advokat pertama di dunia) pada zaman Romawi hingga sekarang profesi atau jabatannya disebut dengan nama “officium nobile” (jabatan atau profesi yang mulia).
Namun, jika KPK meyakini tuduhannya bahwa Roy telah melakukan obstruction of justice dalam kasus dugaan korupsi LE, maka kita semua harus menghormati proses hukum tersebut. Apakah benar Roy melakukan pelanggaran hukum, hingga pantas ia dipidana sesuai perbuatannya (culpue poena par esto), sebagaimana peribahasa siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai, atau ut sementem faceris ita metes, siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Dan sebaliknya, jika Roy tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan upaya menghalangi proses penyidikan berdasarkan bewijsvoering (penyampaian bukti di pengadilan), ia harus dibebaskan atau dilepaskan demi hukum atas jaminan hak imunitas juga pengejawantahan dari asas persamaan, yaitu equality before the law (setiap orang sama di depan hukum).
Akhirnya, para pembaca artikel ini pernah membaca atau setidaknya pernah mendengar ungkapan yang cukup populer, “First thing we do, let’s kill all the lawyers” (hal yang pertama kita lakukan, mari kita bunuh semua advokat/ pengacara). Pernyataan ini diucapkan oleh Dick, sang penjagal, seorang tokoh dalam drama Henry VI karya Shakespeare. Dick adalah anggota dari kelompok pemberontak Jack Cade. Bagi orang yang tidak memahami keseluruhan konteks dari kisah drama Henry VI, tentu memiliki perspektif yang sinis dan konotasi yang negatif terhadap profesi advokat dalam kiprahnya dalam dunia hukum dan penegakan hukum. Namun, pada hakikatnya ungkapan tersebut dalam cerita drama ini yang dimaksud Shakespeare—yang disampaikan lewat tokoh Dick, sang penjagal, yakni agar rencana anarkis lewat pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Jack Cade terhadap pemerintahan itu berhasil, maka langkah—pertama yang harus dilakukan adalah membunuh semua lawayers: menyingkirkan semua mereka yang mengetahui dan menegakkan sistem hukum, proses hukum, hak-hak individu, dan kebenaran.
Dari cerita tersebut, Shakespeare ingin menggambarkan bahwa betapa pentingnya peran advokat dalam menjaga penegakan sistem hukum, due process of law (proses hukum yang adil dan benar/semestinya), termasuk right to a fair trial (hak atas peradilan yang jujur), dan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang merampas hak asasi manusia. Jika dikorelasikan drama Henry VI karya Shakespeare ini dengan kasus yang tengah dihadapi oleh pengacara mantan Gubernur Papua, Stefanus Roy Rening sangatlah relevan! Liberte.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Advokat muda Papua.