Beranda Pendidikan Pengalihfungsian Asrama Katolik Keuskupan Jayapura

Pengalihfungsian Asrama Katolik Keuskupan Jayapura

1129
Asrama Katolik Tunas Harapan di Jayapura (Foto:Istimewa)

 

Oleh Selekage Wita

Mulai terjadi pada 2006. Tepat setelah Sidang Sinode Keuskupan Jayapura yang Ke-I terlaksana. Dan ini mulai berlaku dan masih berlanjut dalam kepemimpinan Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM. Tentu saja semua ini terjadi di luar rumusan buku kuning atau arah gerak pengembangan Keuskupan Jayapura yang berjudul : Membangun Gereja Mandiri Yang MISIONER”.

Menurut sejumlah tokoh Gereja Katolik Keuskupan Jayapura yang pernah bekerja di era Mgr. Rudolf Staverman, OFM dan Herman Munninghof, OFM yang telah diwawancarai, menyebutkan bahwa pengalihfungsian tersebut tak sekedar mengalihfungsikan asrama atau gedungnya. Tetapi lebih dari pada itu, menurut mereka adalah menghancurkan pondasi Gereja Katolik Keuskupan Jayapura.

Pondasi Gereja Katolik Keuskupan Jayapura adalah umat pribumi. Mereka lahir, besar dan berkembang di dalam pendidikan berpola asrama. Buktinya sangat terlalu banyak.

Banyak sekali tokoh Gereja dan masyarakat yang lahir dari pendidikan berpola asrama. Kualitas pada moralitas dan spritualitas tak dapat diragukan lagi. Semua anak – anak direkrut, dilatih, dibina dan diarahkan sedemikian rupah.

Pendidikan berpola asrama di era Mgr. Rudolf Staverman, OFM dan Mgr. Herman Munninghof, OFM sangat eksis dan berjalan bagus sekali. Mereka menyiapkan kader – kader Gereja dan Tanah Air sangat luar biasa.

Mereka kerja keras untuk membina orang Papua. Untuk memanusiakan umat manusia di Keuskupan Jayapura, mereka mencari dana di laut negeri. Minta bantuan di Gereja – Gereja di Belanda, Jerman dan lainnya.

Dari uang kolekte, yang disumbang oleh umat di luar negeri, itulah yang dipakai untuk membangun gedung asrama dan melengkapi segalah fasilitas dan kebutuhan makan minum di asrama.

Keringat mereka tak sia – sia. Hosa mereka tak lancut. Mereka telah berhasil. Meraka melahirkan orang kembali lewat pendidikan berpola asrama. Hingga semua orang yang tinggal di asrama, benar – benar menjadi garam dan terang bagi sesama di dunia (Papua).

Kita bisa lihat hasilnya dimana-mana, baik di dalam birokrasi dan swasta. Banyak dari mereka telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan Gereja Katolik maupun masyarakat umum di Papua.

Hingga beberapa orang yang lahir dan besar di asrama Katolik menjadi orang yang kritis. Tentu ini menjadi ancaman terhadap kepentingan orang atau kelompok tertentu. Dan hal itu sangat menganggu aktivitas pada orang atau kelompok yang masuk pada aliran yang merasa kehidupannya kurang aman.

Salah satu kunci sukses untuk meminimalisir terjadinya keretakan kepentingan adalah mengahancurkan (mengalihfungsikan) basis kaderisasi, terutama asrama – asrama yang berhasil melahirkan dan membesarkan SDM yang berkualitas dan kritis.

Dalam sistem Kolonialisme disebutkan, bahwa jika ingin menghancurkan manusia dan mengambil ahli kendali kehidupan orang lain dari tanah airnya adalah menghancurkan adat istiadat, tatanan budaya, sejarah hidup, bahasa, totem dan basis pendidikan.

Jadi, tak heran jika belakangan ini pendidikan berpola asrama Katolik Keuskupan Jayapura semakin hancur dan dialihfungsikan ke tangan serta demi kepentingan hal lain. Tentu pengalihfungsian tersebut satu paket atau bagian dari target sistem Kolonialisme diatas.

Tentu semua ini bertentangan dengan arah gerak pengembangan Keuskupan Jayapura.

Dalam kebijakan strategis Uskup untuk Pendidikan Berpola Asrama telah diatur dalam buku kuning (lihat bagian 3: Membangun Di Semua Aspek Kehidupan pada poin “a” di halaman 53).

Pada rumusan “a” itu mengenai “Pendidikan dan Asrama. Disini berbicara tentang bagaimana Gereja melakukan “Pembenahan Pendidikan Katolik dan Pembinaan Asrama”.

Berikut adalah isi poin Pembenahan Pendidikan Katolik dan Pembinaan Asrama:

_*Pembenahan Pendidikan Katolik dan Pembinaan Asrama*

a. Mendorong Yayasan – Yayasan Katolik untuk membenahi diri baik personil, kinerja, fasilitas maupun kurikulumnya sesuai dengan standar pelayanan pendidikan Katolik yang bermutu.

b. Memberikan kesempatan kepada tarekat – tareka dan kongregasi religius Katolik yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk mengembangkan pendidikan di Keuskupan Jayapura.

c. Mendorong dan meningkatkan pembenahan sekolah prioritas secara lebih serius dan konkrit untuk memperbaiki mutu pendidikan dasar.

d. Untuk pengkaderan orang muda, dikembangkan terus lewat asrama Katolik baik di pedalaman maupun asrama pendukung di Jayapura dengan menyiapkan tenaga pembina, fasilitas dan program pembinaan yang jelas.

e. Menyiapkan dana beasiswa bagi yang tidak mampu secara ekonomis tetapi memiliki kemampuan secara intelektual dan mempunyai kepribadian yang terpuji.

f. Mendorong dan mendampingi Ikatan Insan Pendidikan Katolik (IIPK) agar dapat menjadi mitra dalam menjalankan pastoral pendidikan atau sekolah – sekolah non Katolik.

g. Mendorong dan mendampingi kaum awam dalam mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan tinggi Katolik.

Rumusan dalam buku kuning ini amat bagus dan terkesan sangat sempurna. Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda.

Asrama – asrama Katolik sebagian ditutup dan lain dialihfungsikan. Misalnya, asrama Katolik Tauboria. Pada 2007 – 2009 ditutup dengan cara memulangkan pembina dan lainnya. Setelah itu, rumah pembina, kapela dan wisma II dialihfungsikan dari asrama Awam Katolik menjadi Rumah Studi bagi calon imam Keuskupan Jayapura.

Kondisi ini juga berlaku untuk asrama – asrama Katolik di Dekenat Keerom, Dekenat Pegunungan Bintang, Dekenat Jayawijaya (karena maslaah proposal dan uang sekarang ganti Dekenat Pegunungan Tengah), dan Dekenat Jayapura.

Bahkan sesuai dengan poin “g” itu, beberapa cendikiawan Katolik Keuskupan Jayapura telah mendorong Universitas Katolik di Papua. Namun Uskup, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM tidak merestui.

Masalah kontekstual lain yang berkaitan dengan poin – poin diatas ada banyak. Namun itu bisa menguras tenaga dan pikiran. Cukup 2 masalah, yakni Asrama Tauboria dan Pendirian Universitas Katolik Papua di Keuskupan Jayapura menjadi contoh kasus untuk yang lainnya.

Akhirnya, begini. Sistem pendidikan berpola asrama Katolik di Keuskupan Jayapura makin hancur di dalam kepemimpinan Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM.

Penghancuran, penutupan pengalihfungsian asrama adalah bertentangan dengan rumusan di dalam buku kuning. Tentu boleh dikatakan bahwa Bapa Uskup “mungkin” memiliki misi khusus.

Tentu beberapa oknum di dalam hirearki Gereja Katolik Keuskupan Jayapura saat ini telah terbukti aktif dalam menghantarkan pendidikan berpola asrama pada puncak kehancuran total.

Maaf harus jujur pada suara hati. Bekerja tapi tidak memiliki niat baik. Melayani tapi tak tulus. Mengabdi tapi tidak ikhlas. Segala pelayan dan pengabdian terkesan “hanya” untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak pernah berdayakan orang atau kelompok tertentu. Hirearki, terutama basis – basis pembinaan tempo dulu kini penuh dengan satu warna. Tidak ada sinar heterogen. Dari atas sampai bawah rata – rata 1 paket.

Wajah hirearki Gereja Katolik Keuskupan, termasuk tempat – tempat strategis seperti basis pendidikan berpola asrama dan yayasan Katolik (YPPK dll) terkesan seperti “Balai Transmigrasi dan Ketenagakerjaan”. Terkesan lagi seperti baknya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Sedih sekali. Karena beberapa rumah bina dan asrama kini menjadi rumah tinggal bagi wajah – wajah baru. Sangat miris. Amat ironis sekali. Sakit melihat realitas ini.

Gereja Katolik Keuskupan Jayapura, termasuk basis – basis asrama menjadi lahan atau kebun, bahkan tempat orang cari makan minum. Bukan lagi tempat untuk melakukan kaderisasi bagi kaum awam.

Percuma bilang “Gereja Mandiri Yang MISIONER atau Gereja MISIONER Yang Mandiri”.

Pertanyaannya: Apa itu mandiri? Apa itu misioner? Siapa (kelompok mana) yang jadi mandiri? Siapa (kelompok mana) yang jadi misioner?

Hei…. Pengalihfungsian asrama Katolik adalah suatu tindakan yang sangat ampuh, sadis, dan mematikan. Itu benar – benar “penghancuran yang mengarah pada pembunuhan yang halus atau sistematis. Begitu!

Penulis adalah Umat Katolik Keuskupan Jayapura.