Beranda News Penumpang Gelap Reformasi

Penumpang Gelap Reformasi

2068
Thomas Ch. Syufi     Foto:Facebook.com
Thomas Ch. Syufi Foto:Facebook.com

Pada tanggal 21 Mei 1998, setelah berhari-hari para mahasiswa menduduki gedung DPR/ MPR, dan setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa, Soeharto mengumumkan berhenti dari jabatan presiden!Tampak spanduk berukuran 1×3 meter dengan tulisan, “Jokowi Pimpin Rakyat Tanpa Beban Masa Lalu. Peringatan 17 Tahun Reformasi 1998” menepi di berbagai pinggiran jalan di Jakarta. Tulisan itu sekan-akan memberi legitimasi untuk Jokowi cuci tangan dengan persoalan korupsi, pelanggaran HAM, dan kegagalan pembangunan yang dilakukan enam presiden sebelumnya.

Bermula pada 21 Mei 1998, reformasi Indonesia kini berusia 17 tahun. Dalam rentang waktu satu dasawarsa lebih itu, Indonesia telah mencatat sejumlah perkembangan penting, mulai dari penataan kerkembangan politik, mengembangan dan penguatan masyarakat sipil, hingga pelembagaan kultur politik.

Reformasi Indonesia bukanlah pekerjaan yang tunggal. Dalam tempo 17 tahun itu, ada banyak kerja dan ikhtiar ikut membentuk dan memperkuat cita-cita reformasi. Jika reformasi kita ibaratkan sebagai kerja membangun didinding kokoh sebuah rumah bernama Indonesia, maka ada banyak pihak yang telah ikut menyumbangkan balok demi balok, dan bata demi bata pada dinding tersebut. Tentu masing-masing pihak menyumbangkan dalam cara, bentuk, dan bobot yang berbeda.

Reformasi Indonesia 16 tahun lalu itu diawali dengan munculnya keberanian sipil untuk berkata “tidak” kepada Jenderal bernama Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Jika oposisi pada tahun 1998 itu kita anggap sebagai sebuah gerakan terhadap sejumlah faktor menyumbang lahir dan bertumbuhnya gerakan tersebut. Pertama, berkembanganya semacam ideologi atau perasaan yang dibagi bersama.

Memasuki periode kedua tahun 1990-an, perasaan tidak berkembang luas. Kedua, ada faktor kepemimpinan (leadership), yang memiliki kapasitas untuk tampil sebagai ikon yang menyatukan dan mewakili perasaan bersama tersebut. Ketiga, ada faktor pengorganisasian yang mengubah perasaan bersama itu ke dalam sebuah aksi perubahan. Keempat, terdapat momentum.

Krisis ekonomi dan politik tahun 1997 dan 1998 yang melanda negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi momentum sakral bagi gerakan menjatuhkan Jenderal Soeharto dari singgasana kekuasaan yang di genggam selama 32 tahun (3 dasawarsa lebih).
Lokomotif reformasi
Amien Rais dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan reformasi Indonesia. Oleh publik, terutama media masa, ia bahkan diberi gelar tidak resmi, “Bapak Reformasi” untuk peran besarnya dalam mendorong reformasi. Secara metafor juga, ia mendapakan julukan lokomotif reformasi, Ia mengambil peran penting dalam oposisi terhadap Soeharto di akhir kekuasaannya. Sikap oposisi yang di tujukkan tokoh sekaliber Amien Rais ikut memberikan keberanian pada gerakan mahasiswa dan dukungan publik yang kemudian menjadi faktor penting jatuhnya Soeharto.

Keberanian untuk berkata TIDAK pada kekuasaan. Itulah warisan terpenting dari alumnus program doktoral Ilmu Politik Universitas Chicago bagi bangsa ini. Dan warisan itu tetap berlaku baik saat ini maupun masa depan. Perlawanan seorang Amien Rais terhadap kekuasaan Soeharto dan panji Orde Barunya, ini merupakan sebuah wariasan teramat penting meski tidak terlalu dahsyat seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela terhadap praktik politik ”apartheid” di Afrika Selatan. Tetapi, sudah cukup luar biasa memberikan sedikit atmosfer kebebasan bagi semua warga negara, baik itu yang memerintah maupun yang diperintah karena atas dasar pemikiran reformasi tanpa dendam. Jadi ketakutanlah yang membuat seorang tiran berkuasa begitu lama.

Ketika kita berhasil mengumpalkan keberanian untuk berkata TIDAK pada sebuah kekuasaan yang bepijar terang dan pongah, maka mulailah kekuasaan itu mengalami kerapuhan. Ketika banyak tokoh lain tiarap, Amien Rais dengan lantang meminta Soeharto MUNDUR. Ketika oposisi terbentuk gerakan basih-bisih, Amien Rais bersuara keras. Banyak orang bisa bicara soal bonum publicum, bicara soal penderitaan rakyat, bicara soal komitmen dan konsistensi, tapi hanya sedikit orang saja yang bisa melakukannya, salah satu di dalamnya adalah Amien Rais.

Sang penulis disertasi politik hubungan presiden Anwar Sadat dan Moskow ini bisa berpikir bahwa seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. Amien Rais adalah intelektual Muslim pemberani. Sampai kapan pun jasa baik seorang Amien untuk bangsa ini tak pernah terlupakan, meski dia terkubur oleh debu, dia tetaplah emas. Kehadiran bekas Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat ini pada era perjuangan menjatuhkan Orde Baru seperti cahaya emas di malam hari. Amien Rais layak kita menyebutnya “martir bangsa” yang hidup. Karena demi sebuah kebenaran Amien Rais resisten terhadap kekuasaan Soeharto.

Bulan Mei 1998, Amien Rais dengan dukungan mahasiswa berhasil membawa lokomotif hingga ke stasiun reformasi. Soeharto ahkirnya mengundurkan diri. Satu babak dedikasi seorang Amien Rais telah selesai, terserah kemana bangsa ini, arah mana yang akan mereka tempuh selanjutnya. Setelah Pemilu 1999, Amien Rais menjadi Ketua MPR. Dibawah kepemimpinanya-lah, lembaga tertinggi negara ini melakukan amandemen (desakralisasi) UUD 1945 yang kemudian meletakan beberapa pilar penting yang memperkuat landasan demokratisasi Indonesia, antara lain, pemilihan presiden secara langsung.

Penumpang gelap
Janji reformasi, kata seorang teolog James Hutton, “the present is the key to the past (sekarang adalah kunci masa lalu). Ada baiknya, sesat untuk bertanya, Apa yang sudah dihasilkan oleh reformasi setelah 17 tahun lebih berlalu? Apakah agenda reformasi sepenuhnya telah dipenuhi sebagaimana janji-janji yang muncul dalam sebuah gerakan sosial yang katanya ditunjukkan untuk menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme, amandemen UUD 1945, turunkan dan adili Soeharto dan kroni-kroninya, serta tuntusakan semua kasus pelanggaran HAM berat di seluruh pelosok negeri Indonesia.

Tentunya, dari optik yang lebih netral, kita katakan mimpi tentang reformasi Indonesia yang bergulir pada Mei 1998, sepenuhnya belum terwujud, terutama dalam beberapa tema penting yang dapat mendorong terjadinya reformasi itu sendiri. Banyak janji reformasi yang belum ditepati, banyak janji reformasi yang hanya berjalan diatas karpet retorika tanpa menjawab kebutuhan substansial rakyat Indonesia. Hanya beberapa indikator keberhasilan reformasi; yakni, menjatuhkan kekuasaan Orde Baru (Soeharto), amandemen UUD 1945, serta pemilu langsung yang demokratis meski banyak di pengaruhi sistem moneykrasi. Sedangakan, tema-tema penting lainnya, seperti mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, pemberantasan KKN, dan pembasmian kemiskinan tak kunjung tiba sampai saat ini.

Entah kemanakah aspirasi reformasi ini, berbagai aspirasi disampaikan melalui demonstrasi di jalanan, conference Pers, public hearing, dll. Semuanya ini berlalu bersama angin tanpa adanya sense of responsibility dari para pahlawan kesingan yang mengaku diri tokoh yang paling reformis untuk masuk menikmati kue kekuasaan di republik ini. Sampai saat ini, rakyat Indonesia masih saja berada dalam persipangan jalan atau singkatnya, rakyat Indonesia berada dalam lorong gelap reformasi, Reformasi “mandul”.

Reformasi adalah sebuah kata yang laku bagi para elit-elit penguasa di negeri ini untuk berganti baju Orde Baru dan memakai mantel reformasi. Padahal, pada hakekatnya mereka adalah serigala berbulu domba atau lebih esktrim meminjam istilah filsuf politik Inggris, Thomas Hobbes, “homo homuni lupus. Bellium omnium contra omnes (manusia yang satu jadi serigala bagi manusia lain. Perang semua melawan semua)”.

Rakyat sudah bosan dan tidak percaya lagi terhadap janji reformasi yang tak kunjung datang. Kemiskinan struktural masih menjelit, pengangguran terus membengkak, pelanggaran HAM belum terselesaikan, bahkan terus terjadi, seperti pelanggaran HAM di Papua, Maluku, Aceh, peritiwa Malari 1974, tragedi Semanggi I dan II, pelanggaran HAM di Timor Leste, dan peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998, penembakan 5 siswa SMA di Paniai, Papua penghunjung tahun 2014, serta pembangunan infrastruktur hanya sebatas janji manis, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, keadilan sosial, demokratisasi, dan the equality before the law, Otonomi Daerah serta Otonomi Khusus yang dapat memperbaiki hajat hidup orang Papua dari kampung ke kota, ini pun jadi pidato angin surga yang hanya dapat menghibur rakyat di kegelapan malam.

Mungkin benar adanya. Apa yang dikatakan oleh mendiang Christianus Siner Key Timu tokoh PMKRI dan petisi 50. ”Kegagalan reformasi ini terjadi karena, kita juga gagal mengadili para penguasa dan penikmat Orde Baru. Dan, mereka pun menyusup masuk dan menguasai sebagian besar sistem di era reformasi dengan menggunakan kedok sebagai tokoh paling reformis,” kata Chris nama sapaannya.

Ketika reformasi bergulir 21 Mei 1998, para tokoh anti Orde Baru dan pejuang reformasi, seperti Christianus Siner Key Timu (PMKRI), Hariman Siregar (Dewan Mahasiswa/DEMA UI ‘74’), Rahaman Toleng (Pehimpunan Mahasiswa Bandung, ‘74’) dan beberapa eksponen kontra Orde Baru lainnya disingkirkan. Dan, kelompok oportunis yang masuk menguasai semua struktur negara di era reformasi. Hal ini berakibat fatal bagi kemajuan bangsa saat ini. Misalnya, korupsi semakin merajarela, kemiskinan struktural jadi kronis, pengangguran semakin bertambah, dan pelanggaran HAM pun kian menggila di seluruh pelosok negeri.

Sejumlah aktivis 1998, yang ikut memperjuangkan lahirnya ferormasi yang kini menjadi politisi di Parlemen, seperti Budiman Sujadmiko, Adian Napitapulu, dan Fadli Zon pun tidak berbuat apa-apa. Apakah mereka diborgol oleh duit, sistem, atau oligarki partai? Idealisme mereka jadi pupus dan makin tidak jelas, karena termakan oleh ‘hama’ sistem negara dan melupakan agenda reformasi dan kerakyatan. Sebenarnya kehadirian mereka di Senayan itu jadi pelupur lara atau momentum baru bagi pembaruan di tubuh parlemen yang sekian lama menjadi stempel pemerintah dan cenderung memperjuangkan kursi ketimbang aspirasi rakyat.

Selain itu, Jokowi harus memahami keterpilihannya sebagai Presiden RI karena kerperyaan murni dari rakyat. Maka, pertanggung jawaban politik dan pengabdiannya pun harus kepada rakyat, bukan jadi petugas partai. Hal ini mengingatkan kita pada pesan voluntaris Presiden Persemakmuran Filipina Manuel Luis Quezon (1878-1944) masa pendudukan Amerika, “Jika loyalitas pada negara dimulai, maka loyalitas pada partai pun berakhir.”

Maka melalui 21 Mei ini, sebagai momentum kontemplasi dan proyeksi kita ke depan. Kita perlu merefleksikan apa-apa yang menjadi kendala bagi jalannya roda reformasi ini? Apa saja yang sudah dijawab oleh reformasi? Dan kita semua saatnya menetapkan sebuah sikap yang jelas untuk bergerak maju dalam menjawab cita-cita reformasi Mei 1998 silam. Untuk menuju pada cita-cita mulia reformasi itu, hanya ada pada pribadi kita semua anak-anak bangsa, yakni harus punya pikiran, sikap, dan tindakan besar dan baik untuk buat perubahan. Ketika kamu jatuh, jangan tetap dibawah. Jatuh bukan berarti kalah, itu hanya berarti kamu harus bangkit dan kembali mencoba.

The is nothing so powerful as an idea whose time has come. Begitulah kalimat Sastrawan Perancis, Victor Hugo. Ide yang datang dan diwujudkan disaat yang tepat itu menghasilkan sejarah. Semua orang pada hekekatnya berada di tengah gelombang sejarah. Namun hanya sedikit orang yang memilih membuat sejarah.
Sedikit orang itulah para aktivis mahasiswa pro reformasi 1998. Mereka telah memilih untuk tidak hanya berdiri di tepian gelombang sejarah itu, melainkan ikut membuat sejarah. Apakah sejarah itu menghasilkan riak yang besar atau kecil, waktulah yang akan mengatakannya.

Para koruptor, pelaku pelanggaran HAM, petugas partai, pelaku kriminalisasi, penghianat, kelompok pro komprador, imperalis, dan kontra revolusi adalah penumpang gelap reformasi. Kita semua berharap kepada Presiden Jokowi untuk berani melawan ini. Jokowi jangan ngomong doang, tetapi harus buktikan! Semoga.

Oleh Thomas Ch. Syufi*
================================================
*). Penulis adalah aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Nasional—Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta! syufi_thomas@yahoo.co.id