
Oleh Thomas Ch. Syufi*
Perlu kita semua setuju dengan Mahatma Gandhi (1869-1948), tokoh pejuang hak asasi manusia dan negarawan ternama India pernah penyatakan, “Menyebut perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah adalah fitnah. Itu merupakan ketidakadilan laki-laki terhadap perempuan”.
Perempuan di zaman kini tidak lagi memikul label atau cap buram sebagai manusia nomor dua dalam perjuangan di ruang publik, terutama di negara-negara non-liberal, termasuk Indonesia.
Banyak perempuan yang telah menorehkan sejarah emasnya untuk revolusi dan ferormasi di negara ini. Misalnya, Martha Christina Tiahahu, perempuan mungil dari Tanah Maluku yang dengan gagah dan berani mengangkat senjata bersama para kaum laki-laki untuk perang melawan para penjajah Belanda.
Ia bahkan harus bersembah darah dan mati untuk tebus sebuah kemerdekaan negara-bangsa bernama Indonesia. Martha Tiahahu harus meninggalkan segala-galanya, keluarga dan kebahagiaan dirinya terjun ke ruang publik untuk berjuang, sampai harus mati ditembak oleh musuh. Tokoh nasional dari Ambon itu telah mewariskan nilai terpenting, seperti kecerdasan, keberanian, dan nasionalisme kolektif bagi kami generasi sekarang, terutama kaum perempuan.
Hal itulah menjadi tonikum dan kompas yang memberikan semangat juang bagi kaum perempuan di masa kini. Di Papua juga telah banyak muncul figur-figur perempuan yang ikut berjuang di ruang publik untuk menegakkan keadilan dan mewujukan kesejahteraan rakyat.
Para srikandi Papua yang telah muncul di ruang publik, di antaranya, Hana Hikoyabi(mantan Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua/MRP periode 2006-2011, juga Pendiri Tabloit Bulanan Suara Perempuan Papua), Vince Yarangga, tokoh perempuan Papua yang bergerak di dunia Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), Mama Wasanggai (Ketua Solidaritas Perempuan Papua), Mama Yosepha Alomang, Pendiri Yayasan Hak Asasi Manusia(Yamahak) di Timika, Papua, Mama Yatipai-Ibo(mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah/DPD RI), Agustina Basikbasik (mantan anggota DPR RI/ Golkar), Yusan Yeblo( mantan anggota MRP Papua Barat), Prof. Merry Yembise(Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI), dan Irene Manibuy (mantan Wakil Gubernur Papua Barat).
Maka, fitnah bila kita menyebut perempuan sebagai jenis kelamin yang lemah. Para tokoh-tokoh perempuan Papua ini telah ikut mewarnai peta kehidupan dan percaturan di ruang publik, di Tanah Papua. Kehadiran mereka bukan sesuatu yang dipaksakan, tapi karena proses alamiah dan perjuangan hiudupnya.
Mereka menjadi sosok perempuan yang tenar dan dikenang bukan karena dukungan semua pihak, ini adalah hasil jerih payah sendiri. Itu merupakan hasil dari kualitas diri mereka, entah dari aspek intelektual, spritual, dan emosional.
Namun, sayang, kualitas secara individu yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh para perempuan Papua tidak dibarengi dengan kualitas asosiasi atau organisasi. Banyak perempuan Papua yang masih dirundung sikap egoisme, apatis, apolitis, hingga cenderung masing-masing jalan sendiri. Inilah hambatan internal.
Parsialitas yang menyelimuti barisan panjang para perempuan Papua di ruang publik, membuat kaum perempuan tidak begitu kuat, solid untuk bergerak cepat untuk maju sama seperti perempuan-perempuan di daerah lain, di Indonesia.
Bahkan, masih ada perempuan yang memiliki pemahaman konservatif dan kolot, bahwa tugas dan domain perempuan hanya di ruang domestik: mengurus dapur, anak, dan kasur. Hingga visi untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara jadi kosong. Padahal, menurut filsuf Yunani kuno Aristoteles, “ kesamaan adalah jiwa persahabatan”.
Selain masalah hambatan internal, seperti egoisme, acuh-tak acuh dari kaum perempuan dalam partisipasinya di ruang publik, khususnya di aspek politik.
Masalah eksternal juga yang membelit kaum perempuan adalah belum adanya ikhtiar yang nyata dari salah satu pilar demokrasi, yakni partai politik. Karena, partai politik sebagai pilar atau sebagai salah satu tempat yang sangat reprensetatif untuk kita bersekolah membangun negara.
Di sana, politik tentang visi, ideologi, dan tujuan negara didirikan pun diedukasikan. Termasuk siapa pun dia warga negara yang hendak berjalan menuju singgasana kekuasaan harus melalui jalan partai politik.
Tampak parpol belum memiliki kehendak baik(goodwill) dengan mengepakan sayap untuk merangkul, mendidik, dan memberdayakan perempuan Papua untuk masuk dalam kancah politik.
Terlihat, parpol mengabaikan hal ini, walaupun ada parpol yang mengafirmasi dan memproteksi hak-hak perempuan dalam bidang politik, tapi tidak banyak. Di mana, secara normatif, dalam peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan bahwa pencalonan anggota legislatif tingkat kabupaten/kota/provinsi hingga pusat harus memperhatikan quota 30 persen unsur perempuan.
Yang diharpakan bukan soal quota pencalonannya saja, tapi juga soal kursi yang direbut harus 30 persen. Karena banyak perempuan Papua bekualitas yang jadi korban kepentingan politik, terutama yang hanya berkiblatnya pada kekuasaan semata.
Supaya panggung politik tidak selalu didominasi oleh kaum adam, tapi juga ada kaum hawa yang ikut membuat politik menjadi seni. Simponi yang terindah itu tercipta dari nada-nada yang berbeda. Dan, seni memberi keterkejutan spiritual dan memberi gangguan yang mendatangkan rasa lapar pada kemanusiaan.
“Ingat, jabatan itu bukan soal Anda tapi tentang mereka” begitu kata mantan Presiden AS Bill Clinton (1993-2001) kepada penggantinya, Josh W. Bush (2001-2008).
Karena itu, zaman sekarang tidak ada lagi stereotip atau stigma-stigma negatif yang menempel dalam diri perempuan sebagai mahkluk nomor dua dari kaum laki-laki. Tidak ada lagi kata kaum superior dan kaum inferior, tidak ada kelompok kelas pertama dan kelas kedua, semua tetap linear dan pararel dalam kehidupan berdemokrasi, politik atau benegara Indonesia.
Maka, pada momentum politik pemilihan umum (Pemilu) 2019, para pemimpin di Tanah Papua: Gubernur Papua dan Papua Barat, para bupati, walikota, anggota MRP Papua dan Papua Barat, anggota DPRP dan DPRPB harus fokuskan otak, kepala, mata, raga, dan jiwa seutuhnya untuk membuat instrumen hukum yang bisa mengakomodasi kepentingan perempuan Papua, terutama kiprahnya di kancah politik sebagai anggota DPRD kabupaten/kota/ provinsi, pusat, sekaligus sebagai anggota DPD RI.
Akomodasi isu hak asasi perempuan Papua di bidang politik harus dibuat dalam regulasi daerah, yakni peraturan daerah khusus(Perdasus) yang menjadi derivasi dari Undang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Karena mereka dan kami satu hingga jadilah “kita”. Yang membaca artikel ini, bila tak punya pensil untuk menulis kebahgiaan perempuan Papua di kancah politik, jadilah penghapus yang bisa menghapus air mata dan asap diskriminasi jender yang masih terus membelit dan menyelimuti mereka di negeri ini! Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis(LPKIS) Presidium Hubungan Luar Negeri, Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2013-2015. Juga, Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Papua Barat periode 2016-2019.