Beranda Birokrasi Perlu Kementerian Khusus Urusan Papua

Perlu Kementerian Khusus Urusan Papua

1482
Thomas Ch Syufi* (Foto:dok pribadi)

  Oleh : Thomas Ch Syufi*

Papua,  sebuah negeri  yang kaya akan sumber daya  alam dan indah akan panorama alam  yang menjadi kekayaan dan harta harapan bangsa  Indonesia di masa depan. Papua bahkan kerap kali dijuluki sebagai miniatur  Indonesia maupun paru-paru dunia.

Namun, semua berkah yang  terdapat dinegeri yang berada  di timur Nusantara ini tak seiring dengan letak geografis  yang jauh dari ibu kota, Jakarta hingga belum sepenuhnya Papua   dijamah oleh pembangunan. Berbagai masalah pelikyang masih menceng keram bumi Papua.

Pendidikan,  kesehatan, ekonomi  rakyat, infrastruktur, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), merupakan masalah  paling fundamental yang dihadapi masyarakat Papua yang berada di dua provinsi,  Papua dan Papua Barat.

Konpleksitas masalah Papua sangat kronis. Semua terjadi sejak zaman kolonial Belanda hingga  Papua masuk lagi ke genggaman pemerintah Indonesia. Di zaman revolusi 1945, Papua belum masuk dalam NKRI  hingga 1 Mei 1963, penyerahan Irian Barat (Papua) kepemerintah Indonesia melalui United  Nations Temporary  Executive Authority  (UNTEA), masalah makin pelik.

Gelombang protes terjadi  di mana-mana tentang status  politik, pelanggaran HAM, dan situasi kesehatan,  pendidikan, dan ekonomi rakyat yang tak menguntungkan rakyat  Papua. Dan pada umumnya aksi protes itu bersumber dari nurani orang  Papua sendiri.

Bentuk ketidakpuasaan  orang Papua ini diekspresikan melalui berbagai cara terhadap pemerintah   Indonesia. Misalnya, mereka melakukan perang gerilya, aksi demonstrasi di pusat perkotaan, hingga diplomasi  di aras internasional. Beragam maneuver yang dilakukan itu hanya memiliki satu tumpuan besar: orang Papua bisa memperoleh keadilan.

Keadilan  yang diinginkan  orang Papua bukan yang parsial, tapi keadilan kolektif  yang bisa tebus dan menjawab persolan substansial rakyat  Papua yang sekian lama dirundung atau dicengkeram oleh berbagai belenggu ketidakadilan,  seperti pelanggaran HAM, rekayasa politik, masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.

Pemimpin berganti pemimpin,  presiden berganti presiden, nasib  Papua tak kunjung membaik. Nyaris. Posisi manusia  Papua dalam panggung Indonesia tidak dianggap. Apakah  Papua dianggap hanya penumpang gelap di gerbong Revolusi  1945, termasuk Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (yang tidak diikutsertakan  Jong Papua di dalamnya)? Tentu tidak!

Realitas sejarah ataupun  politik menunjukkan Papua  adalah bagian dari integral  NKRI. Peristiwa 1 Mei 1963, penyerahan Irian  Barat ke RI secara de  facto dan hasil jajak pendapat atau Penentuan Pendapat  Rakyat (Pepera) 1969 memaksakan Papua tetap masuk Indonesia. Meski banyak bukti, termasuk Utusan Khusus  Sekjen PBB Dr Ferdinand Ortiz Sanz yang mengawasi plebisit tersebut mengeluh dan meributkan hasil jajak pendapat, dengan mengatakan, semua proses Pepera penuh rekayasa dan cacat hukum.

Oleh karena itu, apa pun  alasannya, pemerintah Indonesia harus  bertanggung jawab atas eksistensi orang  Papua dalam rumah besar NKRI. Kita boleh berbeda-beda tapi dipersatukan oleh “Pancasila.” Tanggung  jawab yang diharapkan adalah “totalitas” dalam pembangunan. Tidak ada yang abadi bagi orang Papua kecuali perubahan. Perbaikan hidup  di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan penghormatan serta pengakuan terhadap harkat dan martabat orang Papua sebagai manusia sejati.

Realitas  Otsus

Tidak terputus.  Kebijakan politik  Jakarta yang bersifat  spesifik–yang dirumuskan dalam sebuah undang-undang  RI bernomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi  Papua—pun belum bermanfaat bagi rakyat Papua, selama 17 tahun Otsus  diiplementasikan.

Otsus yang merupakan  winwin  solution  atau jalan tengah sebagai bentuk kompromi politik antara Jakarta-Papua itu belum mengobati rasa sakit hati    yang telah lama berkecamuk setelah setengah abad atau lebih dari 50 tahun Papua menjadi bagian dari negara  yang dengan penduduk saat ini mencapai 263 juta orang, tersebar di sekitar 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke, dari  Miangnas sampai Pulau Rote.

Telah beberapa  kali dilakukan evaluasi Otsus,  antara lain November 2008, evaluasi  di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih,  Jayapura, Papua. Evaluasi itu guna menyongsong HUT Uncen ke-45  tahun dan Juni 2010, evaluasi dilakukan melalui Musyawarah Besar (Mubes) Majelis  Rakyat Papua(MRP) di Kantor MRP, Kota Raja, Jayapura. Sayang, hasil dari kedua evaluasi ini menyatakan  “Otsus gagal” total dilaksanakan di Tanah Papua.

Kucuran  dana Otsus bagi Provinsi  Papua dan Papua Barat cukup berlimpah,  tak kurang dari 60 triliun rupiah, sejak 2001-2018, tetapi kualitas masyarakat asli  Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat yang hanya berjumlah sekitar 2 juta orang  masih ketinggalan. Dana tersebut untuk membiayai empat bidang prioritas, yakni pendidikan,  kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi rakyat. Hal inilah yang disebut paradoks Papua: kekayaan berlimpah ruah, uang banyak,  penduduknya sedikit, tapi miskini. Ibarat kata, ulat mati di lumbung sagu.

Dana  pendidikan 30 persen dari Otsus, misalnya, belum bisa menjawab kualitas pendidikan  di Tanah Papua. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua pada 2017 masih di posisi rendah, yakni 59,9 atau hanya meningkat  1,04 poin dibadingkan pada 2016. Padahal, standar nasional untuk status sedang pada poin 60-70.

Angka buta aksara  di Papua pun kian tinggi, yakni mencapai  24 persen. Sementara angka rata-rata nasional hanya  2,07 persen. Jadi, dikisar 600.000 warga Papua saat ini belum bisa membaca, menulis, dan berhitung.

“Otsus adalah solusi tetapi solusi berbuah  jadi masalah maka masalah tak bisa menyelesaikan masalah. ”Diduga dana Otsus sebagian besar dipergunakan untuk pesta pora  di dunia birokrasi: belanja birokrasi, belanja pegawai, korupsi perorangan atau pun kelompok. Hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum ( law weak) serta minusnya itikad baik (good will) para pemimpin  Papua: gubernur, bupati, wali kota, ketua  DPR, dan ketua MRP untuk bangun Papua.

Meski telah  lima kali Presiden Joko Widido atau  “Jokowi” kunjungi Papua sejak dilantik sebagai presiden  2014, masalah Papua tak pernah diurai dan dituntaskan. Padahal, dilihat Jokowi memiliki komitmen  yang teguh untuk ingin memperbaiki kondisi hidup masyarakat Papua yang selama ini dipandang sebelah mata oleh beberapa rezim sebelumnya.

Keruwetan  yang terjadi juga tentu dipicu oleh faktor geografis dan rentang birokrasi  yang cukup panjang. Secara geografis, letak Pulau Papua yang memiliki penduduk sekitar  3 juta orang ini cukup jauh dari ibu kota negara, Jakarta. Indonesia memang sangat luas.  Bila dikomparasikan, jarak antara Merauke sampai Sabang sama jarak Teheran, Irak ke London, Inggris  (melewati 22 negara Timur Tengah), dan jarak Miangnas sampai Pulau Rote, sama jaraknya seperti dari Pulau Kereta  di Yunani ke Madrid di Spanyol (melewati 10 negara Eropa).

Lagi-lagi,  Papua bukan negara federal, tapi daerah berstatus otonomi khusus hingga segala urusan pemerintahan  tetap di bawah kontrol pemerintah pusat. Walaupun lima kali Presiden Jokowi mengunjungi Papua, tapi belum bisa  menyelesaikan secara total masalah Papua dalam kurun waktu yang relatif singkat, seperti membangun negeri seribu satu  malam.

Apalagi  medan dan topografi  Tanah Papua yang sangat  sukar: gunung, lembah, sungai, tebin, semak-belukar,  dingin, panas, termasuk adat dan kebiasaan hidup yang sangat keras sulit untuk menentukan arah pembangunan, baik pembangunan fisik maupun  sumber daya manusia.

Kondisi Papua  yang disesaki berbagai persolan  seperti ini, tidak ada alasan lain untuk memperbaiki keadaan  tersebut, tidak hanya sebatas mengidolakan pemimpin yang rutin menjalakan misi “Wisata Pembangunan” tetapi  kita butuh pemimpin yang memiliki empati tinggi, bisa hidup bersama rakyat Papua. Ia bisa mendengar dan merasakan  keluh-kesah, jeritan dan tangisan orang Papua yang sedang menogok di dusun sagu, menanam di kebun, mendayung di  pesisir dan pulau, serta yang mulut mengunyah sagu, tangan menggenggam padi.

Maka,  yang dibutuhkan  orang Papua hari ini adalah sebuah lembaga  yang lebih superior dalam tugas pengabdian dan pelayanan secara total  untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua. Dan, bila perlu, Presiden  Jokowi segera melikuidasi lembag Staf Khusus Presiden Urusan Papua yang kini  dijabat oleh Lenis Kogoya dengan mengganti nomenklatur baru, yakni “Kementerian  Khusus Urusan Papua”. Dan Kantor Kementerian tersebut harus berkedudukan di salah satu  ibu kota provinsi, entah di Jayapura, Papua, atau Manokwari, Papua Barat.

Karena  masalah Papua adalah masalah  yang sangat kompleks dan rumit,    yang tak bisa diselesaikan oleh sebuah lembaga subordinasi seperti Staf Khusus Presiden (yang hanya bertugas memberikan bisikan dan masukan kepada p residen),  tapi harus melalui lembaga pengambil kebijakan atau keputusan, seperti Kementerian.

Jadi, tugas  utama Menteri  Urusan Papua adalah membantu presiden dalam mengurus berbagai persoalan elementer  di Tanah Papua, seperti masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur, hak  asasi manusia, termasuk implementasi Otsus Papua. ”Tidak  ada yang  perlu dipersoalkan  dengan perubahan, asalkan  pada jalan yang benar,”  kata  Winston  Churchill( 1874-1965),  diplomat, penulis, orator,  dan Perdana Menteri Britania Raya pada  masa Perang Dunia II (1939-1945).

*). Penulis  adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS)  Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode   2013-2015 dan Wakil Ketua DPD KNPI Papua Barat Bidang Advokasi,  Hukum, dan HAM Periode 2016-2019.