
Oleh : Thomas Ch Syufi*
Papua, sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan indah akan panorama alam yang menjadi kekayaan dan harta harapan bangsa Indonesia di masa depan. Papua bahkan kerap kali dijuluki sebagai miniatur Indonesia maupun paru-paru dunia.
Namun, semua berkah yang terdapat dinegeri yang berada di timur Nusantara ini tak seiring dengan letak geografis yang jauh dari ibu kota, Jakarta hingga belum sepenuhnya Papua dijamah oleh pembangunan. Berbagai masalah pelikyang masih menceng keram bumi Papua.
Pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), merupakan masalah paling fundamental yang dihadapi masyarakat Papua yang berada di dua provinsi, Papua dan Papua Barat.
Konpleksitas masalah Papua sangat kronis. Semua terjadi sejak zaman kolonial Belanda hingga Papua masuk lagi ke genggaman pemerintah Indonesia. Di zaman revolusi 1945, Papua belum masuk dalam NKRI hingga 1 Mei 1963, penyerahan Irian Barat (Papua) kepemerintah Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), masalah makin pelik.
Gelombang protes terjadi di mana-mana tentang status politik, pelanggaran HAM, dan situasi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rakyat yang tak menguntungkan rakyat Papua. Dan pada umumnya aksi protes itu bersumber dari nurani orang Papua sendiri.
Bentuk ketidakpuasaan orang Papua ini diekspresikan melalui berbagai cara terhadap pemerintah Indonesia. Misalnya, mereka melakukan perang gerilya, aksi demonstrasi di pusat perkotaan, hingga diplomasi di aras internasional. Beragam maneuver yang dilakukan itu hanya memiliki satu tumpuan besar: orang Papua bisa memperoleh keadilan.
Keadilan yang diinginkan orang Papua bukan yang parsial, tapi keadilan kolektif yang bisa tebus dan menjawab persolan substansial rakyat Papua yang sekian lama dirundung atau dicengkeram oleh berbagai belenggu ketidakadilan, seperti pelanggaran HAM, rekayasa politik, masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin berganti pemimpin, presiden berganti presiden, nasib Papua tak kunjung membaik. Nyaris. Posisi manusia Papua dalam panggung Indonesia tidak dianggap. Apakah Papua dianggap hanya penumpang gelap di gerbong Revolusi 1945, termasuk Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (yang tidak diikutsertakan Jong Papua di dalamnya)? Tentu tidak!
Realitas sejarah ataupun politik menunjukkan Papua adalah bagian dari integral NKRI. Peristiwa 1 Mei 1963, penyerahan Irian Barat ke RI secara de facto dan hasil jajak pendapat atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 memaksakan Papua tetap masuk Indonesia. Meski banyak bukti, termasuk Utusan Khusus Sekjen PBB Dr Ferdinand Ortiz Sanz yang mengawasi plebisit tersebut mengeluh dan meributkan hasil jajak pendapat, dengan mengatakan, semua proses Pepera penuh rekayasa dan cacat hukum.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas eksistensi orang Papua dalam rumah besar NKRI. Kita boleh berbeda-beda tapi dipersatukan oleh “Pancasila.” Tanggung jawab yang diharapkan adalah “totalitas” dalam pembangunan. Tidak ada yang abadi bagi orang Papua kecuali perubahan. Perbaikan hidup di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan penghormatan serta pengakuan terhadap harkat dan martabat orang Papua sebagai manusia sejati.
Realitas Otsus
Tidak terputus. Kebijakan politik Jakarta yang bersifat spesifik–yang dirumuskan dalam sebuah undang-undang RI bernomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua—pun belum bermanfaat bagi rakyat Papua, selama 17 tahun Otsus diiplementasikan.
Otsus yang merupakan winwin solution atau jalan tengah sebagai bentuk kompromi politik antara Jakarta-Papua itu belum mengobati rasa sakit hati yang telah lama berkecamuk setelah setengah abad atau lebih dari 50 tahun Papua menjadi bagian dari negara yang dengan penduduk saat ini mencapai 263 juta orang, tersebar di sekitar 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke, dari Miangnas sampai Pulau Rote.
Telah beberapa kali dilakukan evaluasi Otsus, antara lain November 2008, evaluasi di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Evaluasi itu guna menyongsong HUT Uncen ke-45 tahun dan Juni 2010, evaluasi dilakukan melalui Musyawarah Besar (Mubes) Majelis Rakyat Papua(MRP) di Kantor MRP, Kota Raja, Jayapura. Sayang, hasil dari kedua evaluasi ini menyatakan “Otsus gagal” total dilaksanakan di Tanah Papua.
Kucuran dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat cukup berlimpah, tak kurang dari 60 triliun rupiah, sejak 2001-2018, tetapi kualitas masyarakat asli Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat yang hanya berjumlah sekitar 2 juta orang masih ketinggalan. Dana tersebut untuk membiayai empat bidang prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi rakyat. Hal inilah yang disebut paradoks Papua: kekayaan berlimpah ruah, uang banyak, penduduknya sedikit, tapi miskini. Ibarat kata, ulat mati di lumbung sagu.
Dana pendidikan 30 persen dari Otsus, misalnya, belum bisa menjawab kualitas pendidikan di Tanah Papua. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua pada 2017 masih di posisi rendah, yakni 59,9 atau hanya meningkat 1,04 poin dibadingkan pada 2016. Padahal, standar nasional untuk status sedang pada poin 60-70.
Angka buta aksara di Papua pun kian tinggi, yakni mencapai 24 persen. Sementara angka rata-rata nasional hanya 2,07 persen. Jadi, dikisar 600.000 warga Papua saat ini belum bisa membaca, menulis, dan berhitung.
“Otsus adalah solusi tetapi solusi berbuah jadi masalah maka masalah tak bisa menyelesaikan masalah. ”Diduga dana Otsus sebagian besar dipergunakan untuk pesta pora di dunia birokrasi: belanja birokrasi, belanja pegawai, korupsi perorangan atau pun kelompok. Hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum ( law weak) serta minusnya itikad baik (good will) para pemimpin Papua: gubernur, bupati, wali kota, ketua DPR, dan ketua MRP untuk bangun Papua.
Meski telah lima kali Presiden Joko Widido atau “Jokowi” kunjungi Papua sejak dilantik sebagai presiden 2014, masalah Papua tak pernah diurai dan dituntaskan. Padahal, dilihat Jokowi memiliki komitmen yang teguh untuk ingin memperbaiki kondisi hidup masyarakat Papua yang selama ini dipandang sebelah mata oleh beberapa rezim sebelumnya.
Keruwetan yang terjadi juga tentu dipicu oleh faktor geografis dan rentang birokrasi yang cukup panjang. Secara geografis, letak Pulau Papua yang memiliki penduduk sekitar 3 juta orang ini cukup jauh dari ibu kota negara, Jakarta. Indonesia memang sangat luas. Bila dikomparasikan, jarak antara Merauke sampai Sabang sama jarak Teheran, Irak ke London, Inggris (melewati 22 negara Timur Tengah), dan jarak Miangnas sampai Pulau Rote, sama jaraknya seperti dari Pulau Kereta di Yunani ke Madrid di Spanyol (melewati 10 negara Eropa).
Lagi-lagi, Papua bukan negara federal, tapi daerah berstatus otonomi khusus hingga segala urusan pemerintahan tetap di bawah kontrol pemerintah pusat. Walaupun lima kali Presiden Jokowi mengunjungi Papua, tapi belum bisa menyelesaikan secara total masalah Papua dalam kurun waktu yang relatif singkat, seperti membangun negeri seribu satu malam.
Apalagi medan dan topografi Tanah Papua yang sangat sukar: gunung, lembah, sungai, tebin, semak-belukar, dingin, panas, termasuk adat dan kebiasaan hidup yang sangat keras sulit untuk menentukan arah pembangunan, baik pembangunan fisik maupun sumber daya manusia.
Kondisi Papua yang disesaki berbagai persolan seperti ini, tidak ada alasan lain untuk memperbaiki keadaan tersebut, tidak hanya sebatas mengidolakan pemimpin yang rutin menjalakan misi “Wisata Pembangunan” tetapi kita butuh pemimpin yang memiliki empati tinggi, bisa hidup bersama rakyat Papua. Ia bisa mendengar dan merasakan keluh-kesah, jeritan dan tangisan orang Papua yang sedang menogok di dusun sagu, menanam di kebun, mendayung di pesisir dan pulau, serta yang mulut mengunyah sagu, tangan menggenggam padi.
Maka, yang dibutuhkan orang Papua hari ini adalah sebuah lembaga yang lebih superior dalam tugas pengabdian dan pelayanan secara total untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Papua. Dan, bila perlu, Presiden Jokowi segera melikuidasi lembag Staf Khusus Presiden Urusan Papua yang kini dijabat oleh Lenis Kogoya dengan mengganti nomenklatur baru, yakni “Kementerian Khusus Urusan Papua”. Dan Kantor Kementerian tersebut harus berkedudukan di salah satu ibu kota provinsi, entah di Jayapura, Papua, atau Manokwari, Papua Barat.
Karena masalah Papua adalah masalah yang sangat kompleks dan rumit, yang tak bisa diselesaikan oleh sebuah lembaga subordinasi seperti Staf Khusus Presiden (yang hanya bertugas memberikan bisikan dan masukan kepada p residen), tapi harus melalui lembaga pengambil kebijakan atau keputusan, seperti Kementerian.
Jadi, tugas utama Menteri Urusan Papua adalah membantu presiden dalam mengurus berbagai persoalan elementer di Tanah Papua, seperti masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur, hak asasi manusia, termasuk implementasi Otsus Papua. ”Tidak ada yang perlu dipersoalkan dengan perubahan, asalkan pada jalan yang benar,” kata Winston Churchill( 1874-1965), diplomat, penulis, orator, dan Perdana Menteri Britania Raya pada masa Perang Dunia II (1939-1945).
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode 2013-2015 dan Wakil Ketua DPD KNPI Papua Barat Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM Periode 2016-2019.