
Oleh: Thomas Ch. Syufi*
Telah 17 tahun pelaksanan Otonomi Khusus di Tanah Papua(provinsi Papua dan Papua Barat). Namun, rentang waktu yang panjang itu, masih banyak timbul nada-nada minor di berbagai kalangan masyarakat Papua, bahwa Otsus yang menjadi solusi atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua itu belum berhasil menyejahterakan.
Melalui beberapa evaluasi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga formal dan lembaga independen terhadap proses pelaksanaan Otsus Papua mengindikasikan bahwa 17 tahun implementasi Otsus di Tanah Papua belum membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua; (keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua).
Misalnya, evaluasi yang dilakukan oleh Universitas Cenderawasih tahun 2008, di Aula Fakultas Ekonomi Uncen, menyatakan bahwa pelaksanaan Otsus di Papua berlum berhasil alias ‘gagal’. Selanjutnya, tahun 2010, evaluasi juga dilakukan oleh Majelias Rakyat Papua(MRP) di Jayapura dengan melibatkan semua komponen rakyat Papua.
Dalam kesempatan itu, berbagai kalangan yang hadir jadi pembicara, antara lainpimpinan MRP, perwakilan masyarakat adat Papua, perwakilan pemuda Papua, perwakilan permerintah, perwakilan DPR Papua, dan perwakilan gereja, serta perempuan Papua, menyatakan bahwa Otsus gagal dilaksanakan di Tanah Papua.
Bahkan hasil dari evaluasi ini telah diantar dan dikembalikan ke Jakarta melalui sebuh aksi demonstrasi damai(long march) ke Kantor DPR Papua hingga ke Kantor Gubernur Papua yang diterima oleh Gubernur Baranabas Suebu ketika itu.
Aksi yang dkoordinir oleh Forum Demokrasi(Fordem) Rakyat Papua Bersatu dan dudukung MRP itu, menyatakan, pelaksanaan Otsus di Tanah Papua telah gagal dan kembalikan Jakarta. Dan, solusinya adalah dibukanya ruang dialogatau diskusi antara Jakarata dan Rakyat Papua.
Karena, menurut mereka, Otsus jadi kacau balau dan gagal dilaksankan karena bukan tuntutan atau aspirasi murni rakyat Papua. Tetapi kebijakan Otsus adalah inisiatif pemerintahan Jakarta untuk meredam isu separatisme dan disintegrasi Papua yang kian mengkristal parsca-jatuhnya Presiden Soharto Mei 1998.
Yang diinginkan oleh rakyat Papua adalah butuh ruang dialog dan diskusi hingga mencarikan solusi atau problem solvingnya. Hal tersebut dilakukan guna terwujudnya pengakuan, keberpihakan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia(HAM), dan martabat rakyat Papua dalam wadah NKRI.
Apa pun kebijakan yang dilakukan itu baik atau buruk, yang dibutuhkan rakyat Papua adalah produk dari konsensus politik bersama. Pokoknya, kebijakan itu adalah merupakan hasil musyawarah dan mufakat (atau representasi mulut kebenaran bersama) guna membangun Papua dalam NKRI.
Minimnya kepercayaan rakyat Papua kepada Jakarta mulai tergerus ketika 32 tahun Soeharto jadi presiden Indonesia; pelanggaran HAM yang masif, korupsi merajerala, dan ketidakadilan pembangunan, termasuk proses pembuatan kebijakan Otsus yang cenderung arogan dan parsial oleh Jakarta.
Rakyat Papua merasa diabaikan atau dtinggalkan oleh Jakarta dalam memformulasikan berbagai regulasi yang mengatur tentang nasib dan masa depan pemilik Bumi Cenderawasih ini.
Jakarta kurang melibatkan rakyat Papua dalam melakukan berbagai kebijakan politik atau pembangunan untuk orang Papua.Itulah yang kerap menimbulkan kontraversi antarsesama anak bangsa(Jakarta dan Papua).
Orang Papua merasa pemerintah pusat tidak menghormati dan menghargai mereka sebagai pemilik sulung Tanah Papua untuk dilibatkan dalam segala urusan tantang masa depan mereka.
Tampak pemerintah pusat belum memiliki itikat baik untuk membangun Tanah Papua. Terbukti 17 tahun pelaksanaan Otsus,belum mampu mengantar orang Papua menuju gerbang keemasaannya; menikmatikeadilan dan kesejahteraan, yang pernah diimpikan oleh mantan Gubernur Papua JP Solossa (gubernur pertama era Otsus).
Sudah lebih dari 60 triliun dana Otsus yang dikanalisasikan untuk kedua provinsi di timur Indonesia ini, tetapi, toh, orang Papua masih miskin dan terbelakang! Misalnya, data BPS Provinsi Papua Barat per Maret 2017, bahwa provinsi dengan penduduk 877.437 ribu jiwa itu masih miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mencapai 228.380 jiwa atau 25, 10 persen).Angka ini meningkat bila dibandingkan per September 2016, sebesar 223.600 jiwa atau berkisar 24, 88 persen.
Di manakah dana Otsus yang dikucurkan pemerintah pusat, yang diibaratkan seperti kabut gelap yang menutupi Gunung Arfak di Manokwari atau Gunung Jayawijaya di Pegunungan Tengah Papua? Gedung sekolah masih mangkrak, rumah sakit kukurangan fasilitas, ibu gagal mengandung, anak kekurangan gizi, petani tak punya sekop dan pacul. Lagi-lagi ibu kota Kabupaten lampu mati-hidup, dan hubungan lalu lintas laut antar distrik pun masih seperti zaman sebelum Otsus( menggunakan perahu jonson atau jalan kaki).
Maka, dengan ketikjelasan pelaksanaan Otsus di Tanah Papua ini menjadi sebuah permenungan bersama, antara rakyat Papua dan pemerintah Jakarta. Perlu adanya evaluasi total—dengan jiwa dan komitmen total—dari pemerintah pusat dan rakyat Papua melalui jalan dialog damai, demokratis, dan bermartbat.
Hanya dengan jalan dialog, semua benang kusut persoalan yang membelit rakyat Papua, terutama kendala-kendala dalam perlakasanaan Otsus selama ini bisa terkuak dan diperlihatkan ke permukaan.
Caranya, adalah Presiden Jokowi segera menunjuk salah satu badan setingkat kementerian untuk mengurus masalah dialog tersebut. Misalnya, presiden menunjuk Menteri Koodinator Politik dan Keamanan untuk mengurus masalah dialog Jakarta-Papua.
Hal tersebut juga sebagai bagian dari Jokowi melunasi janji kampanyenya tahun 2014, bahwa bila terpilih sebagai presiden RI, maka ia akan menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, termasuk membuka dialog atau diskusi terbuka dengan rakyat Papua.
Bila tak ada ruang dialog formal dan konstruktif antara rakyat Papua dan Jakarta, maka jangan berharap ke depan ada perubahan di Tanah Papua. Mimpi keadilan dan kesejahteraan orang Papua hanya sebatas retorika utopis dan khayalan belaka.
Justru yang terjadi adalah nada-nada minor yang kemudian melahirkan resistensi berkepanjangan, entah melalui dialektika, debat, atau pun gerakan kekuatan rakyat(people power).Semoga.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis(LPKIS) Presidium Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2013-2015. Dan, kini Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Papua Barat.