Beranda Birokrasi Perspektif Sosial Politik Rocky Gerung tentang Papua

Perspektif Sosial Politik Rocky Gerung tentang Papua

2303
0
Rocky Gerung Talk Show di Jayapura (Foto: Dok.Wirya Sagu)

Oleh Felix Degei*

Tulisan ini adalah resume atas seluruh rangkaian pembicaraan Rocky Gerung dalam Talk Show bertema: ‘Perspektif Sosial Politik Rocky Gerung tentang Papua’. Acara tersebut diselenggarakan di Resistence Kafe Kompleks Ruko Dok 2 Jayapura Kota pada Kamis 13 Desember 2018 dari pukul 18:30 – 19:30 WIT. Pembicara adalah salah satu pengamat politik senior dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Namun beliau sendiri sering plesetkan singkatan tersebut dengan ‘Pura-Pura Demokrasi’.

Rangkuman ini dibuat berdasarkan informasi pada Video YouTube ‘Rocky Gerung Channel’ yang dipublikasi sejak (15/12/2018).

Ia mengawali pembicaraannya dengan membangun pemahaman bersama tentang pengertian kata ‘perspektif.’ Ia menanyakan: Berapa banyak partai politik yang akan ikut dalam Pemilu 2019? Ada yang jawab 16, ada juga yang menjawab 18 plus 2 partai lokal dari Aceh. “Menurut ‘perspektif’ saya ada 20 partai politik yang akan ikut dalam pemilu 2019” ujar Mantan Dosen Filsafat Universitas Indonesia itu.

Mengapa ada 20 partai politik? Menurut ‘perpektifnya’ secara tidak langsung akan ada 2 partai lokal dari Aceh, 16 partai nasional dan 2 partai asing. Dua partai asing yang secara tidak langsung akan terlibat adalah Partai Komunis China dan Partai Republik Amerika. Kedua partai ini tentu tidak akan terlibat langsung tetapi mereka punya kepentingan di Indonesia. Keduanya tentu punya kepentingan untuk investasi saham juga akses jalur perdagangan. Papua tentu tidak terlepas dari kepentingan kedua negara tersebut. Terlebih khusus Amerika dengan keberadaan PT. Freeport di Tembagapura Papua.

Ia juga menjelaskan pandangan ‘NKRI Harga Mati’ dari dua ‘perspektif’ yang berbeda. Pertama, dari segi nasionalisme dan patriotisme memang sangat jelas bahwa ‘NKRI Harga Mati’. Akan tetapi, dari segi Akademis tentu berbeda dan orang akan menanyakan harganya berapa. Tentu orang akan katakan NKRI seumur hidup atau sepanjang hayat. Tetapi secara akademik patut dipertanyakan seumur hidupnya berapa tahun. Karena yang kita bisa taksirkan hanyalah pendekatan normatif.

Misalnya Perang Dagang antara Amerika dengan China di Kawasan Laut China Selatan. Jika perang tersebut berkembang dan menjadi perang terbuka atau bersenjata maka tentu hal tersebut berpotensi untuk mengancam keutuhan Indonesia. Mengapa demikian? Karena otomatis seluruh jalur impor energi bisa macet misalnya pangan, obat-obatan dan lain sebagainya. Lebih parah lagi jika peristiwa tersebut terjadi disaat Pemilu sedang berlangsung. Bisa berakibat pada batalnya Pemilu. Jadi, analisis perspektif semacam inilah yang musti segera dibangun dengan menguji argumentasi secara lengkap dari semua aspek pembangunan (bird’s-eye view). Karena, jika itu terjadi maka dalam analisis akademis NKRI hanya bisa bertahan 14 jam.

Sementara untuk Masalah Papua selama ini selalu dipandang dari dua perspektif yang berbeda yakni perpektif negara dan akademis. Dalam perspektif negara siapapun presiden atau kepala negaranya akan selalu mengutakamakan ketertiban dan keutuhan NKRI. Sementara perspektif akademis selalu memandang jika selalu ada kemungkinan (possibilities) dan keadilan (justice). Hal tersebut karena dalam tradisi akademik atau ilmu pengetahuan selalu mengatakan sesuatu itu sebagai sebuah hal yang bukan final. Lagi pula ilmu pengetahuan selalu bertumbuh dalam dialetika, kontradiksi dan berargument. Bahkan dalam filosofi dan epistemologi selalu berasumsikan bahwa sesuatu itu dapat berubah karena belum selesai (not finished yet).

Rocky Gerung dalam perspektifnya mengatakan bahwa jika kita membaca kompleksitas permasalahaan Papua dari beberapa penelitian sebelumnya tentu kita akan selalu bertemu beberapa kata kunci (keywords). Misalnya hak menentukan nasib sendiri (self-determination), keadilan (justice), Hak Asasi Manusia (Human Rights) dan eksploitasi ekonomi. Berhubung investasi kekerasan sudah sering terjadi di Papua, kini sudah saatnya Generasi Milenial Papua berani melihat dari dimensi lain. Hal ini berarti bahwa bukan kekerasan harus dilawan dengan kekerasaan. Akan tetapi, menurutnya hal yang pertama dan utama Orang Papua harus menanamkan adalah sikap kerukunan serta persatuan dan kesatuan.

Dari perspektif internasional, Rocky Gerung menilai Masalah Papua dengan menggunakan teori dalam Ilmu Ekonomi yakni Teori Kutukan Sumber Daya Alam (Resources Curse) dari Richard Auty. Ia menegaskan bahwa jika Papua miskin tidak mungkin banyak pihak yang berebut kepentingan. Akan tetapi, karena potensi Sumber Daya Alam yang berlimpah sehingga di situ konflik tumbuh subur. Hal tersebut karena Teori Kutukan Alam ini telah membuktikan jika negara-negara di dunia yang notabene kaya akan Sumber Daya Alam di situ muncul banyak kekerasan. Dengan alasan itulah menurut Rocky Gerung akan ada dua Partai Asing turut ikut dalam Pemilu 2019 yakni Partai Republik Amerika dan Komunis China.

Guna menyebutkan metode yang cocok untuk mengetahui permasalahaan sebenarnya di Papua, Rocky Gerung mengambil nilai dari pengalaman sehari sebelumnya (12/12/2018) saat naik Gunung Cycloop Sentani Jayapura Papua. Ia bersaksi jika pengalaman naik Gunung Cycloop adalah pengalaman yang paling unik dalam hidupnya sebagai pendaki yang pernah menaklukan beberapa gunung di dalam dan luar negeri. Berikut kutipan langsung atas kesaksiannya.

“Biasanya kalau orang naik gunung naik pakai kaki turun pakai kaki. Tapi kemarin, saat naik Gunung Cycloop saya naik pakai tangan turun pakai pantat. Artinya saya merangkak saat naik dan ngesot saat turun.” Testimony dari pengamat politik yang memiliki hobi naik gunung itu.

Menurut Rocky Gerung Metode ‘Merangkak’ Saat Naik dan ‘Ngesot’ Saat Turun’ itulah yang harus dipakai untuk memahami Masalah Papua. Artinya kita musti ‘merangkak’ untuk mengetahui sumber persoalan dan ‘ngesot’ untuk mengetahui dimana hambatan itu ada. Sehingga ia berkesimpulan bahwa siapa saja entah itu peneliti, politisi atau birokrat yang tidak pernah ‘merangkak’ dan ‘ngesot’ dalam memahami Masalah Papua maka tentu mereka pasti selalu diliputi oleh banyak prasangka.

Ia juga menjelaskan bahwa jika kita bandingkan dengan keadaan di luar negeri misalnya dalam hal keinginan untuk berevolusi atau memisahkan diri sebetulnya hal tersebut dilindungi oleh hukum internasional. Akan tetapi, kita harus punya argument yang cukup untuk menghasilkan dalil-dalilnya. Sehingga Rocky Gerung berkesimpulan bahwa supaya Milenial Papua punya politik harapan (politics of hope) dengan mengacu pada politik masa lalu (politics of memory) maka langkah awal yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa semua informasi tersedia untuk dianalisis.

Namun hal yang harus diketahui adalah seringkali politik itu tumbuh dalam kekacauan karena dua hal prinsipal. Pertama, ada kesalahan atau bias dalam metodologi berpikir. Kedua, ada sumber informasi yang tidak lengkap. Hal ini tidak hanya penting untuk diperhatikan oleh kalangan Milenial Papua tetapi juga di kalangan intelktual Jakarta.

*Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Asli Tanah Papua yang sedang Kuliah pada Jurusan Master of Education di The University of Adelaide Australia Selatan.