Beranda News Pesan Uskup OAP Pertama bagi Kehidupan di Tanah Papua

Pesan Uskup OAP Pertama bagi Kehidupan di Tanah Papua

926

 

Uskup Jayapura Tiba di Nabire menggunakan Maskapai Penerbangan Lion Grup. ( Foto : Eman You/PapuaLives)

Oleh Felix Degei

Tepatnya pada Rabu 02 Februari 2023 lalu, bertempat di Gereja Katedral Dok V Jayapura Papua telah dilangsungkan acara pentabisan Uskup Keuskupan Jayapura terpilih Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You, Pr., oleh Nuncio Apostolik – Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Uskup Agung Mgr. Piero Pioppo. Ia terpilih sebagai Uskup Orang Asli Papua (OAP) pertama dalam sejarah Gereja Katolik Roma. Peristiwa pentabisan tersebut menjadi lebih istimewa karena sebagai jawaban atas doa dan penantian panjang dari OAP selama kurang lebih 128 tahun pasca masuknya Gereja Katolik di Tanah Papua.

Dalam acara pentabisan tersebut sang Uskup menyerukan suara gembala perdananya untuk hidup dan kehidupan di Tanah Papua yang lebih baik. Berdasarkan sumber dari http://wagadei.id, pesannya dikemas dalam masing-masing tujuh pokok seruan ajakan dan larangan. Rupanya pesan tersebut adalah hasil permenungan atas realita hidup di Tanah Papua selama kurang lebih 32 imamatnya setelah ditabiskan menjadi Imam Gereja Katolik. Berikut isi pesannya yang dikemas dalam anjuran dan larangan.
Tujuh Ajakan Hidup

Pertama: Hidup dari Tanah Adat

Realita hidup belakangan ini di Tanah Papua masih banyak OAP yang hidup bukan dari hasil olah tanah. Justru banyak yang hidup dari hasil jual tanah adatnya. Tidak heran jika kini banyak tanah adat yang telah alih fungsi. Ada tanah yang digusur untuk kepentingan pembangunan. Ada juga tanah yang hutannya dibabat habis untuk mega proyek seperti pengambilan kayu hutan (illegal logging) dan penanaman kepala sawit. Ada juga penggusuran hutan untuk kepentingan pertambangan (illegal mining). Hendaknya kita mewariskan mata air bagi generasi penerus bukan air mata. Oleh sebab itu, uskup mengajak OAP agar stop (jangan) jual tanah adat!

Kedua: Hidup dengan Berkebun, Beternak, Bernelayan dan Berusaha

Pasca adanya beragam program pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Sosial (Bansos), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin) dan belakangan ini Dana Desa membawa dampak buruk yang signifikan bagi OAP. Kini banyak mobilitas warga kampung ke pusat kota guna mengejar ragam bantuan pemerintah. Seiring hadirnya banyak pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) juga membuat orientasi pencarian uang warga mulai berubah. Jarang ada warga yang terus hidup dengan kearifan lokalnya seperti berkebun, beternak, bernelayan dan berusaha dengan ragam ketrampilan hidupnya (life-skill). Oleh sebab itu, uskup mengajak OAP agar stop bergantung pada bantuan uang dan Beras Raskin!

Ketiga: Hidup Tanpa Minuman Keras, Lem Aibon, Ganja, Narkoba dan Perjudian

Pesatnya akses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membawa dampak yang besar dalam merongrong tatanan nilai-nilai budaya asli setiap bangsa. Kini dampaknya turut dirasakan juga oleh kawula muda OAP. Banyak OAP yang telah sedang menjadi Korban Minuman Keras, Mengisap Lem Aibon, Narkoba hingga Perjuadian. Aktivitas perjudiannya seperti toto gelap (togel), bula putar (rolet) dan sebagainya. Entah sadar atau tidak, segenap aktivitas tersebut sungguh telah sedang mematikan karakter hidup OAP. Oleh sebab itu, uskup mengajak OAP agar Stop Mengkonsumsi Minuman Keras, Mengisap Aibon, Ganja, Narkoba dan Perjudian!

Keempat: Hidup Tanpa Melakukan Hubungan Seks di Luar Nikah

Salah satu faktor kepunahan OAP saat ini adalah akibat kematian Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Banyak sumber telah mengkonfirmasi jika salah satu faktor penyebab maraknya penyebaran HIV adalah karena adanya hubungan seks bebas di luar nikah (free sex). Kini Papua dikenal dengan Angka ODHA tertinggi di Indonesia. Setia dengan pasangan hidup adalah solusinya. Permasalahan tersebut kini telah menjadi perhatian semua kalangan. Oleh sebab itu, uskup mengajak agar stop berhubungan seks sembarangan!

Kelima: Hidup Dalam Kesatuan, Persatuan dan Persaudaraan

Kamajuan dalam segala bidang yang pesat membuat hidup semakin individualis di dunia nyata. Orang banyak berteman di dunia maya atau media sosial. Belum lagi ada banyak persaingan yang bernuansa politik. Sehingga semua aspek kehidupan sudah sedang dipolitisir oleh para politikus. Padahal dalam politik tidak ada musuh juga kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan sementara untuk elektabilitas partai, pangkat, golongan dan jabatan.

Akhirnya di Papua belakangan sedang marak praktek Papua Tipu Papua (Patipa) juga Papua Makan Papua (Pamapa). Ini parah jika terus terjadi di atas tanah Surga Kecil yang jatuh ke bumi itu. Oleh sebab itu, uskup mengajak agar stop memecah belah!

Keenam: Hidup Damai tanpa Kekerasan dan Kejahatan

Konon Papua dikenal dengan sebutan Papua Tanah Damai. Namun akhir-akhir ini isu-isu dari Papua selalu menjadi topik yang ramai dibahas dalam beragam media (trending topic). Dulu sebelum agama masuk di Tanah Papua sering ada perang suku. Namun kini konflik yang terjadi justru beda motifnya misalnya karena kecemburuan sosial, diskriminasi serta kekerasan karena politik ideologi. Apapun bentuk kekerasan dan kejahatan tentu akan mengacaukan keamanan dan ketertiban untuk hidup berdampingan dengan sesama di sekitar. Oleh sebab itu, uskup mengajak agar stop melakukan tindak kekerasan dan kejahatan!

Ketujuh: Membangun Keluarga Sehat untuk Melahirkan dan Menyiapkan Generasi Penerus untuk Menjadi ‘Garam’ dan ‘Terang’ dunia Khususnya di Tanah Papua.

Keluarga adalah lingkungan komunitas belajar awal yang dialami oleh setiap insan. Setiap nilai dan pengalaman hidup yang ditanamkan dalam keluarga akan berpengaruh dalam tumbuh kembang seorang anak pada fase-fase pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Apalagi Papua yang mayoritas suku aslinya menganut sistem pewarisan budaya sesuai garis keturunan ayah (patrilineal). Kini waktunya bagi setiap individu diberikan kebebasan untuk tumbuh kembang sesuai dengan bakat dan potensinya masing-masing. Harapannya kelak agar setiap generasi memberikan kontribusi yang konstruktif guna membangun Tanah Papua yang lebih baik. Oleh sebab itu, uskup mengajak agar stop mengancam masa depan generasi penerus!

Ketujuh pesan hidup di atas adalah suara seorang gembala umat yang patut diperhatikan oleh semua pihak. Pesan di atas tidak hanya ditujukan bagi Umat Katolik di Tanah Papua tetapi berlaku untuk semua orang sesuai sifat Gereja Katolik yakni universal. Pesan tersebut sangat penting bagi semua penyelenggara pendidikan dalam tumbuh kembang seorang anak. Baik itu pendidikan di sekolah dan kampus (formal), keluarga (informal) dan masyakat (non formal). Akhirnya hanya melalui pendidikan yang baiklah akan mencetak sumber daya manusia handal yang siap menciptakan kehidupan harmonis di Tanah Papua sesuai harapan Sang Uskup. Kini saatnya kita ciptakan Tanah Papua Penuh Damai (Papeda).

*Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (Indigenous Education) tinggal di Nabire Provinsi Papua Tengah.