Beranda Artikel Phubbing, Smombie dan Nomophobia Mendegradasikan Kodrat Manusia

Phubbing, Smombie dan Nomophobia Mendegradasikan Kodrat Manusia

1655
0
Felix Degei, S. Pd., M. Ed sebagai pegiat pendidikan khusus orang asli di Nabire. (Foto: Dok pribadinya)

Oleh Felix Degei, S. Pd., M. Ed*

Pengantar

Ide untuk menulis muncul setelah mengamati beragam tindakan manusia dewasa ini yang terkesan aneh tapi nyata. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang pesat turut mempengaruhi setiap daya, karya dan karsa manusia. Ia bahkan telah membentuk polarisasi dan paradigma berpikir setiap orang yang baru. Akibatnya indikator nilai-nilai hidup yang hakiki dalam keberadaban manusia ikut terdegradasi. Hingga ia sudah mengganggu ranah entitas manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Euforia manusia kini dalam menggunakan gadget telah mengubah seluruh dimensi kehidupan. Gadget atau gawai secara praktis dipahami sebagai segenap perangkat elektronik yang berukuran kecil dibawah dan digunakan oleh manusia dalam genggaman tangan sesuai fungsinya masing-masing. Misalnya handphone, laptop, tablet, kamera digital headphone ataupun headset dan sejenisnya. Ketika seseorang menggunakan gadget atau gawai, sadar atau tidak yang bersangkutan akan terlihat angkuh dan kaku. Ada orang yang sudah tidak peduli lagi dengan orang ataupun aktivitas sekitar (phubbing). Ada juga orang yang sudah tidak pedulikan lagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya (smombie). Hingga ada orang yang selalu cemas bahkan merasa hidup ini tidak ada artinya jika tanpa gadget atau gawai (nomophobia). Data terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna yang terkoneksi dengan internet di Indonesia tahun 2024 tembus 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia. Angka tersebut setara dengan 79,5 persen. Dengan demikian Indonesia berada pada urutan keempat setelah China, India dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, tulisan sederhana ini hendak mengulas potret kecil realitas hidup manusia Indonesia di era digital yang bertalian dengan tiga kategori sikap manusia dan karasteristik permasalahannya.

Phubbing dan Karasteristik Permasalahannya

Istilah yang merujuk pada perilaku anti sosial masa kini ini secara etimologi berasal dari phone dan snubbing yang berarti telepon dan menghina atau tidak peduli. Istilah tersebut pertama kali digagas oleh Alex Haigh berkebangsaan Australia. Selanjutnya pada Mei 2012 para ahli bahasa, sosiolog dan budayawan berkumpul di Universitas Sydney Australia guna membuat kesepakatan untuk memasukan istilah tersebut dalam Kamus Bahasa Inggris di berbagai negara. Namun hingga saat ini istilah tersebut ataupun serapan katanya masih belum dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Sementara secara praktis kata phubbing dipahami sebagai kata yang menggambarkan perilaku seseorang yang asyik dengan gadget atau gawai ketika berhadapan dengan orang lain atau sedang berada di dalam pertemuan. Banyak orang mengabaikan teman dan keluarga yang berada tepat di depannya karena malah lebih asyik dengan ponsel ataupun benda-benda elektronik lainnya yang ada di genggamannya. Padahal dalam budaya tata krama dan sopan santun kebiasaan ini dianggap kasar, menyinggung, tidak sopan, dan merusak kepercayaan orang lain.
Dilansir pada Jurnal Ilmiah Hospitality (2022:915) studi yang dilakukan di Texas istilah phubbing kembali terkenal. Dari 143 individu yang diujicobakan terdapat 70 persen diantaranya yang melakukan phubbing. Studi lain juga dilakukan di Amerika dengan hasil hampir 32 persen mengalami phubbing 2-3 kali dalam satu hari dan lebih dari 17 persen orang melakukan phubbing kurang lebih 4 kali dalam satu hari. Sementara Indonesia menjadi urutan 11 sebagai negara dengan jumlah phubbing di dunia dengan jumlah 3.706.811. Salah satu penyebabnya yaitu penggunaan internet oleh masyarakat. Meskipun banyak pelaku phubbing di Indonesia, ternyata dari 80 remaja hanya 9 yang mengenal istilah phubbing. Sementara Healthline mengkonfirmasi bahwa salah satu penelitian membuktikan lebih dari 17 persen orang melakukan phubbing kepada orang lain, setidaknya empat kali sehari. Sementara itu, hampir 32 persen menjadi korban phubbing hingga dua sampai tiga kali sehari.
Menyimak data fakta di atas tentu banyak orang bertanya apa saja yang sebenarnya dilakukan oleh phubber? Ada empat faktor yang dapat dilihat sebagai penyebab phubbing antara lain nomophobia (rasa takut untuk jauh dari ponsel), konflik interpersonal, isolasi diri dan pengakuan masalah (Chotpitayasunondh & Douglas, 2016).
Mengacu pada keempat faktor di atas maka kita tentu selalu melihat ragam aktivitas manusia yang mengarah pada sikap anti sosial. Ada orang yang sibuk dengan gadget atau gawai saat rapat, masak, makan bersama, belajar bahkan saat beribadah. Akibatnya banyak tugas dan tanggungjawab yang sering lupa termasuk ragam kebutuhan dasar seperti pakaian (sandang), makanan (pangan) dan rumah tempat tinggal (papan) serta gaya hidup sehat (healthy lifestyle). Hal lain kelalaian juga dapat terjadi dalam menjalankan tugas utama misalnya mendidik dan mengajar dari orang tua dan para pendidik (guru) kepada anak-anak atau peserta didik.
Padahal secara kodrati manusia adalah makhluk sosial (homo socius) insan yang selalu ingin bersosialisasi dengan manusia dan lingkungan sekitar (zoon politicon) sebagaimana pendapat Aristoteles. Lagi pula manusia hidup tidak sebatang kara sebagaimana sebuah pulau yang menyendiri di tengah samudra yang luas (no man is as an island). Oleh karena itu, seyogianya manusia harus bersosialisasi dengan sesama. Salah satu maksud ilahi Tuhan menciptakan setiap manusia unik, khas dan tidak ada duanya agar kita saling menerima apa adanya lalu melengkapi bagian yang menjadi kekurangan atau kelemahan sesama. Namun kini hadirnya gadget atau gawai ini sungguh telah merongrong aspek hak-hak dasar kehidupan manusia.

Smombie dan Karasteristik Permasalahannya

Istilah Smombie berasal dari dua kata berbeda Smartphone dan Zombie yang berarti telpon pintar dan mayat hidup. Sehingga secara praktis dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan kebiasaan orang yang terus-menerus menggunakan smartphone, handphone, atau gadget ketika sedang berjalan. Sementara menurut Urban Dictionary, Smombie digunkan bagi seseorang yang berjalan hanya berfokus pada telpon pintar tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Jalan seorang Smombie perlahan dan tidak berarturan sehingga mirip dengan zombie atau mayat hidup.

Berdasarkan informasi pada Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia Volume 9 Nomor 1 Tahun 2023 mengutip data dari website Woman Indonesia, (2019) smombie ini berpotensi mendapatkan kecelakaan di jalan karena mereka tidak fokus pada keadaan mereka ketika itu. Hal tersebut terkonfirmasi dari data dari Sistem Analisis Kecelakaan Lalu Lintas, lebih dari 1.600 pejalan kaki terbunuh dalam kecelakaan terkait mobil, yaitu sekitar jumlah 40 persen dari total kematian lalu lintas. Apalagi laporan dari State of Mobile yang diluncurkan oleh data App Annie (2023), Indonesia merupakan negara dengan rata-rata penggunaan perangkat smartphone terlama di dunia, mencapai 6,05 jam per harinya di tahun 2023. Dengan gaya hidup seperti itu Orang Indonesia menjadi warga yang penuh resiko smombie. Menyimak data potret kecil akibat ini China misalnya memberikan nama dengan sebutan ‘suku kepala tunduk’ bagi para pelaku yang saat jalan hanya fokus pada gadget atau gawainya.
Dampak akibat smombie dapat kita saksikan dimana-mana. Ada orang yang terpontang panting jalannya akibat tidak sempat melihat ke depan. Ada juga orang yang jatuh terpleset, terantuk hingga terjatuh akibat kaku dengan gadget atau gawainya. Pemandangan yang seringkali mendebarkan jantung adalah ada orang yang sambil mengendara tetap menggunakan handphone dengan beragam aktivitasnya. Selain itu ada juga yang mengendara dengan kecepatan tinggi sambil mengenakan headset ataupun headphone. Padahal sesungguhnya bagi yang mengendara tugas kewajiban utamanya adalah keselamatan. Namun akibat gadget atau gawai yang ada di telinga bisa kita pastikan bahwa tentu yang bersangkutan akan kesulitan mendengar benyi klakson ataupun suara yang datang dari sesama pengendara lain atapun benda yang sedang bergerak lainnya di sekitar.
Potret kebiasaan para smombie ini sungguh melenceng jauh dari kodrat manusia tentang pentingnya keselamatan (safety first). Padahal ada istilah klasik dalam ilmu kesehatan ‘mencegah lebih baik dari pada mengobati’ (prevention is better than cure). Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa iktikad baik dari manusia sebagai mahkluk yang paling mulia karena memiliki rasio (akal budi) telah pudar. Hal demikian tentu akan berbahaya tidak hanya smombie tetapi juga orang dan lingkungan sekitar pada umumnya.

Nomophobia dan Karasteristik Permasalahannya

Nomophobia didefinisikan Secure Envoy (Yildirim, 2014:6) sebagai rasa takut berada di luar kontak ponsel. Istilah nomophobia adalah kependekan dari no mobile phone phobia yang berarti kecemasan akibat tanpa ponsel di tangan. Istilah tersebut pertama kali diciptakan dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh UK Post Office untuk menyelidiki penderita kecemasan pengguna ponsel. Untuk merujuk pada orang orang dengan nomophobia, dua Istilah lain diperkenalkan dan digunakan secara bahasa sehari -hari: nomophobe dan nomophobic. Nomophobe adalah kata benda dan mengacu ada seseorang yang menderita nomophobia. Sementara nomophobic adalah kata sifat dan digunakan untuk menggambarkan karakteristik nomofob atau perilaku yang berhubungan dengan nomophobia.
Dalam Insight Jurnal Bimbingan dan Konseling, Volume 11 (2022: 102-108) membagi empat kategori nomophobia, antara lain: rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap total 368 responden yang berada pada kategori rendah sebanyak 34 mahasiswa dengan nilai persentase sebesar 9.2 persen. Pada kategori sedang sebanyak 111 mahasiswa dengan persentase sebesar 30.2 persen. Kemudian terdapat 135 mahasiswa mengalami nomophobia pada kategori tinggi dengan persentase sebesarr 36.7 persen. Sedangkan pada kategori sangat tinggi terdapat 88 mahasiswa dengan persentase sebesar 23.9 persen. Dari data di atas dipahami bahwa kategori angka jumlah nomophobe berada pada tingkat sedang hingga sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan saat ini gadget atau gawai telah menjadi bagian penting dalam hidup manusia saat ini.

Berdasarkan data yang dirilis metrotvnews, 2017 ada enam ciri seorang mengalami nomophobia, antara lain: (1) Badmood, atau bete ketika signal di gadget anda tiba-tiba menurun (drop). (2) Panik dan gelisah, apabila gadget tidak ada pada genggaman. (3) Gemar selfie, dan update status sosial media secara berkala tiap jam/menit. (4) Membawa gadget hingga ke kamar mandi. (5) Tidur dengan gadget di samping, dan (6) Selalu siap sedia powerbank, karena kuawatir baterai gadget anda habis atau menipis. Ragam ciri ini mencerminkan kebiasaan yang lazim disebut ketakutan atau kecemasan akan ketinggalan informasi (Fear of Missing Out-FOMO). Akibatnya yang selalu dilakukan oleh nomophober adalah mengusap-usap layar handphone untuk melihat ragam notifikasi terbaru yang biasa disebut scrolling. Selanjutnya dalam upaya untuk meminimalisir kebiasaan tersebut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui website alodokter, (Agustus 2022) memberikan lima kiat, antara lain: (1) Matikan ponsel di malam hari setidaknya 1 jam sebelum tidur agar bisa tidur lebih nyenyak. (2) Letakkan ponsel di tempat yang jauh dari jangkauan ketika hendak tidur, bila perlu taruh di luar ruang tidur. (3) Luangkan waktu khusus untuk melakukan hobi, seperti menggambar, menjahit, atau membaca. (4) Cobalah untuk tinggalkan ponsel di rumah untuk waktu yang singkat, misalnya saat berbelanja atau berjalan-jalan di area dekat rumah, dan (5) Perbanyak interaksi secara langsung dengan keluarga, teman, atau rekan kantor.

Akhirnya phubbing, smombie dan nomophobia semuanya menggambarkan sikap anti sosial manusia akibat hanya berfokus pada gadget atau gawai yang ada dalam genggamannya. Namun ketiga sikap tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda bagi pengguna. Phubbing berdampak pada kehilangan komunikasi sosial dengan orang mapun lingkungan sekitar. Smombie bisa berdampak langsung pada nyawa manusia karena kurangnya kewaspadaan seseorang untuk keselamatan. Sementara nomophonia berdampak pada pergeseran tingkat prioritas kebutuhan manusia. Sehingga ragam kebutuhan dan aktivitas lainnya bisa tersisihkan hanya karena gadged atau gawai menjadi yang utama.

Mari kita menjadi pribadi yang pro aktif dan responsif di dunia nyata dari pada dunia maya. Ingat apapun alasannya kita manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Mahkluk yang selalu ingin bersosialisasi dengan sesama di sekitar (homo socius). Mahkluk yang selalu memikirkan tentang pentingnya keamanam dan kesehatan dalam hidup (safety and healthy first). Mahkluk yang selalu bisa membuat skala prioritas dalam pengambilan keputusan.
“Sadar tidak tidak sadar saat kita menggunakan gadget atau gawai secara berlebihan saat itu juga kita telah sedang terpenjara olehnya”.

Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (indigenous studies) yang tinggal di Nabire, ibu kota Provinsi Papua Tengah.