![]() |
Cammera ilustrasi (Foto: / ist |
Oleh :Roberth Yewen*
Hampir tidak mengingkari, bahwa sejarah pejalanan bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa. Periode sebelum kemerdekaan hingga awal kemerdekaan sampai era reformasi, mahasiswa mampu menampilkan dirinya sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) dan agen intelektual (agent of intellectual).
Periode sebelum kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya organisasi Budi Oetomo. Merekalah pelopor penyelenggara Kongres Pemuda Tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Mahasiswa juga berperan dalam mendesak Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamir kemerdekaan RI dengan menculiknya ke Rengasdengklok, Karawang.
Fakta-fakta sejarah diatas membuktikan, bahwa mahasiswa adalah merupakan motor penggerak utama perjalanan bangsa ini. Namun demikian, seiring dengan perjalanan bangsa ini, peran mahasiswa kini seperti pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”. Pasca reformasi, status mahasiswa sebagai kaum intelektual tak ubahnya seperti pepesan kosong. Mahasiswa tak lagi mempunyai spirit perjuang sebagai agen pelopor, agen pembaharu apalagi disebut agen pencipta.
Di Papua sendiri, idealisme mahasiswa pada masa lalu mengalami dinamika yang sangat kuat dan tutut andil bagian atau proaktif dalam memberikan kontribusi secara konkrit terhadap perkembangan bangsa dan negara. Sejak Kemerdekaan, sampai pada reformasi antusianisme mahasiswa Papua sangat terlihat dan teroganisir secara baik di berbagai organisasi intra kampus maupun di extra kampus.
Namun dalam beberapa decade ini, peran mahasiswa Papua, yang seharusnya menjaga dirinya sebagai agen intelektual dan agen pembaharu menjadi surut, seperti ditelan oleh waktu yang terus berputar. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi mahasiswa Papua yang seharusnya menjaga idealisme, dan menjiwai nilai-nilai milintansi menjadi pudar sedikit-demi sedikit, karena terkontaminasi dengan budaya “kepentingan sesaat”.
Ironinya, ada beberapa indikasi yang mengambarkan bahwa kemunduran kaum intelektual mahasiswa Papua adalah ruang diskusi mahasiswa tidak lagi diramaikan pembicaraan tentang problematika umat dan bangsa, organisasi intra kampus dan extra kampus sepi peminat, organisasi kader bagi mahasiswa teryata mengubah jubah menjadi organisasi politik, mahasiswa sendiri sekarang cenderung pada study oriented, yaitu bagaimana mendapatkan nilai IPK yang bagus dan cepat lulus kuliah, sehingga akibatnya, dunia kampus sekarang tidak bedanya dengan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). Mahasiswa pulang pergi dari kampus ke rumah atau kontrakannya, begitu rutinitasnya. Artinya, selesai mendapatkan ceramah dosen di kelas, mahasiswa pulang ke rumah atau kamar kos.
Budaya kritis, berprinsip, dan indepedensi, dan selalu menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak dasar umat manusia sebagai mahasiswa di Papua, kini menjadi slogan belaka, sebab budaya yang seharusnya dijaga dan dipelihara, teryata telah dikikis pelahan-pelahan oleh arus kepentingan sesaat, yang membawa mahasiswa Papua bukan lagi menjadi “petarung sejati”, melainkan hanya menjadi mahasiswa “bonjengan” yang dibawah sana sini untuk kepentingan segelintir elit-elit tertentu di Papua.
Realitas Kader-Kader Cipayung Papua Masa Kini
Berbicara mengenai organisasi “cipayung” berarti terdiri dari beberapa komponen atau kelompok organisasi didalamnya, seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, PMII. Beberapa organisasi cipayung secara fakta mempunyai sistem dan silabus pembinaan secara internal berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu menghasilkan hader-kader mahasiswa yang kelak menjadi agen pembaharu dan turut serta dalam kepemimpinan masa depan bagi bangsa dan negara.
Hampir sebagian besar pemimpin di negara ini, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah kader-kader cipayung yang di bina dan dikaderkan, sehingga kelak menjadi pemimpin, dan mengambil peranan yang penting dalam pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia ke depannya. Sejarah juga telah mencatat, bahwa perubahan sistem pemerintahan di negara Indonesia, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi tidak terlepas dari kontribusi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok cipayung.
Khusus di Papua sendiri, hampir sebagian besar pemimpinnya adalah kader-kader terbaik dari kelompok cipayung yang pernah menjadi bagian dari organisasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa pembinaan, dan kaderisasi mahasiswa Papua di dalam kelompok-kelompok cipayung, teryata dilakukan secara baik dan permanen, sehingga mampu menghasilkan kader-kader cipayung yang mampu menjadi pemimpin-pemimpin masa depan Papua saat ini.
Pertayaannya adalah bagaimana dengan kader-kader cipayung Papua saat ini? Budaya hedonism yang masuk di dunia kampus, menjadikan mahasiswa krisis karakter, kegamangan identitas, konsumen dungu globalisme. Mahasiswa sama sekali tidak mendapatkan konsekuensi modernisme yang layak dalam hal kemajuan, tetapi justru mendapatkan sampahnya. Residu yang dimaksud adalah: seks bebas, amoralitas, kegersangan identitas, kemiskinan sikap, dan lain-lain, sehingga membuat mahasiswa Papua cenderung tak mampu menjalankan prediketnya sebagai agent of social and agent of control.
Fides et Intectus Mahasiswa Papua Menurun
Fides et Intectus (iman dan intelektual) yang seharusnya selalu bersama, dan tidak bisa dipisahkan dari benak mahasiswa Papua, kini mengalami penurunan yang sangat dratis. Realita kekinian yang terjadi adalah hampir sebagian besar mahasiswa Papua memiliki intelektual yang baik, tetapi dari segi imannya belum baik, begitupun sebaliknya ada mahasiswa Papua yang memiliki iman baik, tetapi ceminan intelektual tidak baik.
Ada beberapa fakta yang bisa dilihat dari menurunya “fides et intectus” mahasiswa di Papua, misalnya hampir sebagian besar mahasiswa Papua terkontaminasi dengan budaya “mabuk-mabukan, kurang melibatkan diri dalam organisasi yang membina iman dan intelektual, minat belajar, seperti membaca, berdiskusi, dan menulis tidak ada sama sekali, serta lain-lainnya.
Hal ini jika dianggap biasa-biasa saja oleh mahasiswa di Papua, maka menurut hemat saya, kedepan kontribusi mahasiswa dalam mengontrol dan telibat langsung untuk melihat pembangunan di Tanah Papua akan jauh dari harapan dan jati diri mahasiswa Papua yang sebanarnya, yaitu menjadi “ agent of intellectuals, agent of change, and agent of control.
PENULIS ADALAH AKTIVIS PMKRI SANTO EFREM JAYAPURA DAN SEKALIGUS KETUA UMUM CATOLIC STUDENT CENTER (CSC)