Beranda News Realitas Pemekaran dan Tantangan Nilai Kemanusiaan OAP

Realitas Pemekaran dan Tantangan Nilai Kemanusiaan OAP

1184

Oleh : Yohanes Kayame

Sesuai dengan keputusan Majales Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jokowi dan Ma’aruf Amin dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, pada tanggal 20 Oktober 2019 di Jakarta. Berselang tiga hari, tanggal 23 Oktober 2019, presiden dan wakil presiden memilih dan menetapkan menteri yang akan membantu Jokowi selama lima tahun ke depan. Salah satu menteri yang dipilih adalah Tito Karnavian, mantan Kapolri sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Setelah terpilihnya, ia berencana menuju ke Papua, tanggal 25 Oktober 2019, untuk menjalankan tugas pertamanya di Papua sebagai Mengadri (Kompas, 23 oktober 2019). Ia memastikan satu dari dua provinsi baru di Papua akan dinamai Papua Selatan. Pembicaraan tersebut sudah dilaksanakan dengan Bupati Merauke, Frederikus Gebze (CNN Indonesia, 29 Oktober 2019). Setelah itu ditanggapi oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa siap mengutak-atik Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) guna mendukung pemekaran provinsi Papua Selatan ( CNN Indonesia, 29 Oktober 2019).

Sebelumnya wacana mengenai pemekaran Provinsi Papua Tengah bergulir. Masyarakat melakukan aksi demontrasi sebagai bentuk protes pemekaran karena dianggap merugikan masyarakat asli Papua. Mereka menganggap pemekaran adalah agenda para elit politik untuk mendulang jabatan, kekayaan dan kemakmuran.
Dalam hal kita bertemu pada dua tegangan yang bertentangan. Di satu sisi, pemerintah Indonesia menganggap pemekaran sebagai sebuah jalan untuk kesejahteraan bagi masyarakat Papua melalui pemerataan pembangunan infrastruktur dan lainnya. Dilain sisi Orang Asli Papua (OAP) menganggap pemekaran sebagai suatu masalah yang merugikan nilai dan martabat sebagai manusia.
Saya (penulis) bertanya akan hakikat, esensi dan nilai fundamental dari sebuah realitas yang namanya pemekaran. Apakah pemekaran memberi nilai dan makna tertentu bagi eksistensi OAP? Apakah pemekaran menjadi jalan satunya-satunya untuk penyelesaian semua persoalan Papua?

Pemekaran sebagai realitas
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Di Indonesia, pemekaran sudah terjadi sejak masa proklamasi tahun 1945. Indonesia memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil serta dua daerah istimewa yakni Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (www. Wikipedia.com). Kemudian dimekarkan terus-menerus hingga saat ini, jumlah Provinsi di Indonseia mencapai 34 Provinsi.
Untuk Provinsi Papua sendiri tidak dimekarkan dari sebuah daerah tertentu tetapi melalui sebuah jalan panjang dan problematis. Indonesia menganggap bahwa Papua sudah menjadi sebuah provinsi yang ada di wilayah Indonesia Timur, tahun 1963, yang diserahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, pada tahun 1969, pernah melalui Penentuan Pendapat Rakyat yang disebut PEPERA. Hasil dari PEPERA ini pun masih menjadi sebuah problem yang diperdebatkan hingga kini. Secara hukum, Indonesia menguasai Papua dan dijadikan sebagai wilayah Negara Indonesia. Pemekaran sudah menjadi sebuah realitas dalam sejarah Negara Republik Indonesia..
Berikutnnya direncanakan akan ada pemekaran beberapa Provinsi, khususnya di Papua. Saat ini Pulau Papua terdapat dua Provinsi yakni Papua dan Papua Barat. Secara administratif, negara memiliki tanggungjawab terhadap wilayah dua Provinsi ini. Negara bertanggungjawab atas persoalan-persoalan yang dialami oleh masyarakat Papua. Negara juga hadir untuk memberikan solusi terhadap setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Papua. Pemekaran yang diwacanakan oleh pemerintah mesti memberi solusi terhadap persoalan hakiki yang dihadapi masyarakat Papua. Tetapi jika tidak demikian maka pemekaran tentu dipertanyakan. Apakah pemekaran di wilayah Papua ini, merupakan solusi terhadap persoalan di Papua?

Tantangan Pemekaran
Secara tidak langsung, pemekaran memberi impuls akan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh OAP. Dalam skripsi, Christianus Dogopia, yang berjudul Pemekaran: Konsekkuensi dan Tantangan Bagi Eksistensi Manusia Papua, dijelaskan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh OAP, yakni: primordialisme, tribalisme, nepotisme, margaisme, korupsi, kolusi, mental instan, mental proyek, alienasi degradasi, marginalisasi, diskriminasi, konflik dan jati diri kepapuaan.
Semua tantangan diatas tersebut merupakan tantangan akan nilai-nilai kemanusiaan orang Papua yang disingkirkan. Pemekaran demi Pembangunan memiliki makna positif tetapi akibatnya banyak nilai-nilai kemanusiaan yang tidak diperhatikan. Pada hal nilai kemanusiaan menjadi agenda utama dan terutama dalam sebuah pemekaran.

Nilai kemanusiaan
Nilai yang paling tinggi dan mesti dijunjung adalah nilai kemanusiaan. Setiap orang wajib saling menghormati dan menghargai, bukan karena keterpaksaan dan kepentingan tetapi berdasarkan kesadaran akan manusia sebagai manusia. Setiap manusia sama dan setara atas dasar nilai kemanusiaan. Manusia tidak dapat dibedakan atas dasar jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Perbedaan itu berdasarkan hal tersebut hanya didasarkan pada bagian ‘kulit’ tetapi tidak melihat esensi manusia yang terdalam.
Dalam Kitab Kejadian Pasal 9:6 dikatakan “manusia diciptakan oleh Allah serupa dan segambar dengan diriNya”. Itu artinya manusia mewarisi sifat-sifat keilahian. Manusia juga dibedakan dari ciptaan Allah yang lainnya. Allah tidak membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya tetapi Allah mengangkat semua manusia setara dan mendapat tempat yang sama.

Setiap tindakan pendekatan sebagai solusi atas sebuah masalah mesti beradasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini pemekaran mesti menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Manusia papua sebagai manusia yang sejati. Bukan manusia yang diduakan atau manusia urutan kedua atau manusia yang tidak normal. Manusia papua sebagai manusia yang sama dan sederajat dengan manusia lain pada umumnya. Maka segala macam stigma seperti ketertinggalan, keterisolasian mesti dihilangkan. Jika pemekaran didasarkan pada pembangunan karena ketertinggalan dan keterisolasian akan kabur dan buntu. Sebab pada dasarnya, manusia hidup dan menikmati budaya dan nilai-nilai hidup yang telah ada dalam masyarakat sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura