
Oleh Thomas Ch. Syufi
Polemik terkait rencana revisi Undang- Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Menurut saya, pemerintan pusat, baik presiden dan DPR jangan memaksa merevisi UU Otsus secara parsial dan kontradiktif dengan peraturan perundangan- undangan dan asas hukum yang berlaku secara universal.
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua adalah lex specialist(UU yang bersifat khusus), hingga perlu dihargai eksistensinya.
Bahwa perubahan terhadap UU Otsus Papua harus bersifat buttom up(dari bawa ke atas), bukan top down(dari atas ke bawa). Artinya revisi atau perubahan terhadap UU Otsus harus berasal dari aspirasi murni rakyat Papua, bukan kehendak atau kemauan pribadi para elite Jakarta, baik Presiden, DPR, dan DPD RI), maupun para elite oportunis harian yang “hobi” mengatasnamkan penderitaan rakyat Papua untuk beragam tujuan instan dan jangka pendek mereka.
Apalagi beberapa pasal dalam UU Otsus yang paling krusial untuk direvisi, seperti pasal 22, pasal 76, dan pasal 77. Yang mana dalam pasal 76 menyebutkan:”Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi- provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, setelah memperhatikan dengan sungguh- sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.
Selanjutnya pasal 77 menyatakan:”Usul perubahan Undang- undang ini dapat diajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui Majelis Rakyat Papua(MRP) dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Secara hierarkis, UU Otsus merupakan derivasi dari UUD 1945. Dalam pasal 18 B UUD 1945(2), menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat serta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Atas dasar itu, pemerintah pusat wajib dan menghormati semua ketentuan hukum yang merupakan resultante dari konsensus bersama itu. Jika dipaksakan untuk revisi UU Otsus, maka yang terjadi adalah ketidakpastian hukum. Jika demikian maka muncullah asas “Ubi jus incertum, ibi jus nullum(di mana tidak ada ketidakpastian hukum, di situ tidak ada hukum). Menurut postulat hukum tersebut yang diperkenalkan oleh kaum positivis seperti John Austin bahwa hukum harus dikonkretkan secara tertulis(ius scriptum) atau peraturan perundang- undangan.
Dan Indonesia adalah negara hukum(nomokrasi) yang penyelenggaraan pemerintahan harus sesuai dengan the rule of law bukan the rule by law. tujuan utama hukum adalah kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Apa artinya kobstruksi hukum tanpa menjamin masa depan orang Papua, terus memperpanjang konflik dan disrupsi, yang menimbulkan instabilitas daerah atau bangsa! Padahal hukum adalah jalan peradaban untuk menemukan kebenaran dan keadilan, juga kebenaran ditentukan atas suara terbanyak atau rakyat(argumentum ad populum).
Perihal revisi UU Otsus, secara gamblang menyebutakan kewenangan penuh ada pada rakyat Papua melalui institusi- institusi formal di tingkat provinsi, seperti MRP, DPR Papua, dan Gubernur. Jadi Otsus Papua adalah lex specialis derogat lex generalis(UU yang bersifat khusus menyampingkan UU yang berlaku umum). Melihat sikap pemerintah pusat yang sudi memaksa revisi Otsus ini merupakan sebuah anomali bagi sistem demokrasi yang kita anut. Kebijakan negara yang tanpa melibatkan rakyat adalah merupakan cara- cara negara pasis dan totaliter. Rasa- rasa benar apa yang dikatakan oleh Ronald Reagen(1911-2004), presiden Amerika Serikat ke-40:”There is no grater tyranny than that which is perpetraded under the shield of the law and in the name of justice(tidak ada tirani yang lebih kejam selain yang dilakukan dengan cara seolah- olah berlindung pada hukum dan mengatasnamakan keadilan).
Dan bila, pemerintah pusat dengan melanggar undang- undang merevisi secara sepihak UU Otsus, maka demi kepastian hukum, rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua memiliki legal standing(kedudukan hukum) yang kuat untuk menggugat pemerintah pusat melaĺui Judicial Review(Uji Materi) UU Otsus terhadap UUD 1945.
Rakyat Papua memiliki hak untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui koridor hukum. Dengan menguju materi UU Otsus ke MK agar kebenaran dan keadilan menemukan jalannya. Revisi yang melahirkan dokumen hukum yang baru berupaya menghapuskan UU lama, begitu UU baru dibatalkan, artinya UU lama menjadi berlaku. Sebab keputusan MK merupakan “erga omnes, mengikat secara umum”.
Filsuf, pengacara, orator, dan negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero(106-43 SM) menyatakan: “More law, less justice”(lebih banyak hukum, lebih sedikit keadilan)! Semoga.
_____________________
*) Penulis adalah alumnus Program Studi Hukum Tata Negara( HTN), Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua dan aktivis HAM Papua.