
Oleh Felix Degei, S. Pd., M. Ed*
Pendahuluan
Sejak 04 Desember 2012 silam, Noken telah diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan dunia tak benda (intangible object) dari Papua di Paris Prancis. Tujuan utamanya yakni untuk melindungi dan menggali kebudayaan tersebut. Guna melindungi kearifan lokal tersebut, kini banyak orang di Papua yang selalu membawa noken. Tidak hanya itu, banyak pengrajin juga yang bermunculan dengan ketrampilan anyam noken dalam berbagai corak berbahan lokal maupun non lokal. Bahkan kini ada banyak institusi baik pendidikan, kesehatan, pemerintahan maupun swasta yang telah membuat aturan para stafnya untuk wajib noken pada hari-hari tertentu.
Namun tidak banyak orang yang tertarik untuk menggali nilai-nilai filosofis yang telah ada pada noken. Oleh sebab itu, ulasan ini hendak menggali sekaligus mengajak supaya nilai-nilai tersebut dimaknai dalam keseharian hidup Orang Papua terlebih khusus dalam penyelenggaraan Pendidikan di Tanah Papua. Tulisan ini dibagi menjadi empat bagian besar agar mudah dalam pembahasannya. Pertama, keunikan noken; Kedua, Cara pembuatan noken; Ketiga, Kegunaan noken, serta, Keempat, simpulan nilai filosofis noken.
Keunikan Noken
Noken Papua sama halnya dengan tas pada umumnya berguna untuk membawa barang kebutuhan sehari-hari. Konon keunikannya terletak pada bahan yang digunakan yakni seluruhnya bersumber dari alam sekitar yakni serat kulit kayu, semak dan pohon nawa atau anggrek hutan. Tidak sembarang serat kulit kayu dan semak yang diambil sebagai bahan rajutan noken. Hanya ada pohon, batang dan daun tertentu saja yang digunakan untuk pembuatan noken. Artinya tidak hanya satu atau dua jenis pohon, semak ataupun anggrek hutan yang secara bersama digunakan untuk anyam noken di Papua. Jadi intinya setiap suku di Papua memiliki perbedaan dalam mengambil bahan serta corak ayaman terbaik sesuai kearifan lokalnya masing-masing.
Cara Pembuatan Noken
Konon cara pembuatan noken cukup rumit karena dibuat secara manual dan tidak menggunakan mesin. Bahan baku yang digunakan juga bukan bahan tenunan atau tekstil tetapi murni dari serat tanaman. Sehingga dalam proses pembuatan noken butuh ketrampilan, ketelitian serta kesabaran. Apapun jenis pohonnya dalam proses pengambilan bahan dilakukan dengan cara memukul kulit kayu. Kulit kayu yang telah dipukul itu dianginkan hingga kering. Jika cuaca kemarau kulit kayu dijemur di bawah terik matahari. Kulit kayu yang telah kering selanjutnya dilepas menjadi bagian-bagian kecil yang siap untuk dipintal. Hasil pintalannya langsung mulai dirajut. Namun ada juga yang harus diberi warna dan atau dibungkusi tali pintalan dengan kulit anggrek pohon agar corak rupa noken lebih bervariasi.
Namun kini noken dibuat dengan bahan serta corak rupa yang lebih variatif menggunakan jarum perajut atau lazim disebut hakpen. Bahan yang digunakan juga tidak hanya serat tanaman. Namun sudah banyak jenis bahan tekstil digunakan seperti banang dengan merk wol, katun, linen dan rayon, sutra, sistesis nilon akrilik serta tali manila. Bahan tekstil yang terbuat dari berbagai merk banang dan manila tersebut tidak perlu menggunakan persiapan bahan bakunya cukup berbalanja di pasar. Meski menggunakan alat perajut dan bahan yang lebih modern tentu masih membutuhkan ketrampilan, ketelitian dan kesabaran untuk menghasilkan hasil yang baik dan bervariasi nan rupawan.
Dewasa ini noken sudah semakin terkenal sehingga pembuatannya pun berkembang mengikuti dunia busana. Padahal konon bagi Masyarakat Papua membuat noken dari berbagai bahan alami, bukan semata tas biasa. Tetapi sesuai dengan beragam bahan dasar alami, bervariasi pula nilai-nilai filosofis luhur yang terkandung di dalamnya. Noken dilambangkan sebagai simbol kesuburan dan perdamaian di Tanah Papua sebagaimana diakui oleh Arkeolog Balai Arkeologi Papua Hari Suroto pada tahun 2021 lalu. Ia berkesimpulan bahwa hanya perempuan dewasa saja yang dapat menganyam noken meski kini semua baik laki maupun perempuan dapat merajut noken.
Kegunaan Noken
Noken Papua memiliki beragam fungsi sesuai variasi ukurannya (multifungsi). Ada ukuran noken yang paling besar biasa digunakan oleh mama-mama Papua untuk mengankat barang dengan beban yang berat. Misalnya oleh mama-mama Papua saat mamanen hasil kebun ataupun membawa hasil buruan dari hutan dan laut. Jenis ukuran noken ini oleh Suku Mee Papua menyebutnya Hatoo/Yatoo. Sementara noken dengan ukuran paling kecil biasa digunakan sebagai tempat mengisi benda-benda kecil. Misalnya ada noken khusus isi pena atau alat tulis, korek gas hingga handphone dengan beragam merk. Jenis ukuran noken ini oleh Suku Mee Papua menyebutnya Mitu. Kini Noken digunakan oleh semua lapisan masyarakat sesuai dengan profesinya masing-masing. Anak sekolah dan mahasiswa membawa noken guna mengisi peralatan untuk belajar mengajar. Sementara para Aparatur Sipil Negara (ASN) dari berbagai instansi juga dapat membawa noken dalam setiap hari kerja.
Noken Papua dikenakan dengan beragam cara oleh para penggunanya. Ada pengguna yang biasa membawanya dengan cara disangkutkan di bagian kepala yang mengarah ke bagian punggung dan dada perempuan Papua. Sementara oleh para lelaki pada umumnya membawa dengan cara menggantungkan pada bahu kiri maupun kanan samping. Ada juga pengguna yang biasa hanya mengalungkan pada dada depan. Ada pengguna juga yang membawa dengan cara hanya memegang pada kedua pegangang di atas sebagaimana membawa tas laptop alis tenteng noken.
Setiap hari masyarakat Papua menggunakan noken sebagai wadah tempat mengisi dan membawa segala sesuatu yang menghidupkan manusia. Misalnya noken digunakan untuk barang dagangan seperti buah, sayur, dan umbi-umbian ke pasar, atau untuk berbelanja. Bagi masyarakat pedalaman Papua, noken biasanya juga digunakan untuk membawa bayi, ternak, ubi, sayur, dan pakaian. Sedangkan bagi intelektual Papua kini, noken digunakan untuk menyimpan buku atau membawa notebook ke kampus. Bahkan belakangan noken dapat digunakan sebagai alat cendera mata juga sarana barter. Noken sungguh tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beberapa suku asli di sepanjang Pegunungan Tengah Papua seperti Mee/Ekari, Moni, Damal, Yali, Dani, Lani, Bauzi dan beragam suku lainnya.
Simpulan Nilai Filosofis Noken
Menyimak ulasan di atas juga secara empiris (empirical study) dari penulis dapat dipahami bahwa pada prinsipnya noken memiliki nilai kehidupan yang sangat vital dalam keseharian hidup. Segala kehidupan manusia Orang Papua tidak terlepas dari peran esensi noken. Oleh sebab itu, ulasan ini dapat mengidentifikasikan beberapa nilai filosofis dari noken sesuai fase-fase pembahasan artikel di atas kaitannya dengan penerapan Pendidikan di Tanah Papua kelak.
Pertama, nilai filosofis dari aspek keunikan noken: dalam dunia pendidikan materi atau bahan dari setiap mata pelajaran di Papua hendaknya diterapkan secara kontekstual sebagaimana dulu Orang Papua memilih bahan pembuatan noken terbaik bagi mereka sesuai dengan komoditi daerahnya masing-masing. Karena satu jenis ukuran tidak cocok untuk diterapkan pada orang berbeda (one size does not fit all).
Kedua, nilai filosofis dari aspek cara pembuatan noken: dalam dunia pendidikan di Tanah Papua para pendidiknya butuh ketrampilan, ketelitian dan kesabaran dalam mendidik guna menghasilkan Sumber Daya Manusia yang handal sebagaimana Orang Papua merajut noken dengan penuh trampil, teliti dan sabar guna hasilkan sebuah noken yang berkualitas. Karena setiap insan memiliki potensi untuk tumbuh kembang sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Ketiga, nilai filosofis dari aspek kegunaan noken: dalam dunia pendidikan di Tanah Papua hendaknya penerapan kurikulum apapun harus secara fleksibel sesuai tingkat kesulitan serta potensi yang dimiliki daerah sebagaimana Orang Papua merajut noken sesuai dengan kebutuhan setiap pengguna. Bahkan dulu ada jenis noken yang elastis sehingga dapat menyesuaikan dengan besaran objek yang dimuat khusus noken dengan corak anyaman tradisional.
“We drink from our own wells” (Kita meminum air dari sumur kita sendiri) Ujar Gustavo Gutiérrez Merino, O.P., Pastor Dominikan dan Teolog dari Peru.
*Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (Indigenous education) tinggal di Nabire Provinsi Papua.