
Oleh Thomas Ch. Syufi*
“We may have different religions, different languages, different colored skin, but we all belong to one human race”. Kita mungkin saja berbeda agama, berbeda bahasa, berbeda warna kulit, tapi kita semua berasal dari satu ras manusia._Kofi Annan(1938-2018), mantan diplomat Ghana dan Sekjen PBB ke-7( 1997-2006).
Pagi itu sekitar pukul 4.00 pagi waktu Papua, fajar menyingsing dari timur Tanah Papua. Sejumlah pemuda dan masyarakat Papua mulai berdatangan dan berkumpul di berbagai titik di kota Manokwari. Senin, 19 Agustus 2019 menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Papua dan sejumlah warga non- Papua peduli manusia dan kemanusiaan Papua pun ikut mengambil bagian dalam sebuah aksi demonstrasi serempak yang dilakukan di Manokwari, juga seluruh Tanah Papua,Senin (19/8/2019).
Tumpuan utama dari demonstrasi damai itu adalah masyarakat Papua menuntut pertanggungjawaban atas dugaan penggunaan kata- kata sarkstis seperti, orang Papua monyet dari sejumlah massa dan organisasi kemasyarakatan di Kota Surabaya, Jawa Timur terhadap mahasiswa Papua, di Asrama Mahasiswa Papua di kota tersebut, Jumat(16/8/2019).Penyerangan massa ini bermula dari berita yang diviralkan di media sosial bahwa ada sebuah bendera merah putih dengan tiang dicabut dan dilegokan ke sebuah selokan. Massa pun menduga hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa Papua, entah oknum mahasiswa atau secara kolektif.Maka warga bersama sejumlah ormas pun segera geruduk ke Asrama Mahasiswa Papua– dengan dukungan para anggota Polri. Para warga dan anggota Polri tetap berjaga- jaga di laman asrama. Sambil menerikkan kata- kata yang dinilai merendahkan martabat dan kemanusiaan orang Papua.
Hal itu mendapat kecaman keras dari Gubernur Papua Lucas Enembe.” Kami bukan bangsa monyet, kami juga manusia,” kata Lucas Enembe, ketika menyikapi berita tersebut yang beredar di sejumlah media di Indonesia. Senada dengan itu, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan pun sesalkan dengan insiden tersebut. ” Kami juga manusia, kami bukan bangsa monyet,” kata mantan Bupati Manokwari dua periode itu.John Gluba Gebze, tokoh Papua Selatan dan Bupati Merauke dua periode juga turut menyesalkan peristiwa rasis ini. “ Kami diintegrasikan bukan dalam keadaan monyet,” kata Gebze.Hal ini pertanda bahwa semua orang Papua, entah masyarakat, menteri, gubernur, bupati, dan pejabat TNI- Polri juga mendapat stereotip yang sama sebagai bangsa monyet. Mereka merasa martabat dan harga dirinya telah dilecehkan.
Oleh karena itu, resistensi rakyat Papua pun bergeliat: mulai dari Sorong hingga Merauke harus tumpah ruah ke jalan melakukan aksi demonstrasi damai. Misalnya, sekitar 3.000 massa turun di Manokwari, Jayapura sedikitnya 5.000 orang, dan Sorong sekitar 2.000 orang. Mereka melakukan aksi demonstrasi damai memiminta Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara segera sikapi kemelut ini.
Bahkan, Jokowi pun telah merespon peristiwa ini dengan sikap arif dan bijak, dengan mengatakan bahwa kedua belah pihak warga Papua dan Malang harus saling meminta maaf. Hal ini juga sedikit membuat warga Papua berkerut kening karena apa salah orang Papua hingga harus mereka juga meminta maaf. Karena, yang menjadi sasaran ujaran kata-kata sinis(monyet) adalah warga Papua.
Secara terpisah, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga secara heroik dan lugas menyatakan kekesalan atas peristiwa tersebut. Ia meminta maaf bahwa peristiwa tersebut adalah leutupan yang bersifat personal—yang sangat kontras—dengan komitmen masyarakat Jawa Timur pada umumnya yang mencintai keharmonisan dan kedamaian.Namun, warga Papua merasa bahwa isu ini dikategorikan sebagai diskriminasi rasial. Isu yang sangat melecehakan harkat dan martabat manusia, bukan hal minor yang hanya bisa dijawab dengan seruan permohonan maaf.Sebab, diskriminasi rasial merupakan hal yang ditentang oleh masyarakat global. Dengan dasar itu, maka lahirlah Universal Declaration of Human Right( Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/ HAM) yang disahkan di Jenewa, Swiss, 10 Desember 1948. Juga, Konvenan Internasional 4 Januari 1969 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial. Kemudian, Konvenan tersebut diratifikasi oleh pemerintah Indinesia melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, 4 Januari 1999.
Warga Papua juga berharap Presiden Jokowi segera membentuk tim investigasi kasus tersebut dengan melibatkan berbagai elemen, antara lain, Polri, Komnas HAM RI, Lembaga Bantuan Hukum( LBH), KontraS, Sinode GKI Papua, SKP Jayapura, anggota DPR Papua dan Papua Barat, MRP Papua dan Papua Barat , pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat, dan perwakilan mahasiswa Papua di Malang serta Surabaya.Dengan jalan investigasi dan penyelidikan, semua kasus ini bisa duperluhatkan secara terang benderang. Juga sekaligus memberi rasa kepuasaan kepada berbagai puhak, warga Papua dan warga Malang dan Surabaya, termasuk publik Indonesia.
DialogMungkin benar juga apa yang dikatakan oleh rohaniwan Katolik, Romo Franz Magnis- Suseno SJ bahwa masalah Papua adalah luka busuk dalam tubuh Indonesia– yang mau atau tidak harus dibersihkan melalui jalan dialog.
Masalah Papua tidak biasa dilihat secara kontekstual saja. Namun, hal ini harus dilihat secara koprehensif dan simultan. Mencari format penyelesaian konflik Papua tanpa pertumpahan darah. ” Pendekatan keamanan(security apporoach) atau kekerasan militer perlu dihentikan. Dan semua pihak, terutama warga Papua dan pemerintah pusat harus duduk bersama untuk berbicara( berdialog).
Ujaran pendeskreditan yang berbau rasis ini adalah akhir dari semua akumulasi persoalan yang ada di Papua sejak integragsi Papua ke dalam NKRI, 1 Mei 1963 hingga sekarang. Misalanya, masalah kekerasan militer terhadap warga Papua, kegagalan pelaksaanaan otonomi khusus di Tanah Papua(2001-2019), sejak operanya PT Freeport Indonesia di Timika, Papua(1967), tak memberikan dampat bagi perbaikan dan kelayakan hidup bagi masyarakat Papua.Maka, satu-satunya jalan untuk mewujudakan Papua Tanah Damai hanya melalui proses dialog antara rakyat Papua dan pemerintah pusat. Sudah waktunya, Presiden Jokowi menepati janji dialog yaang pernah disampaikan kepada warga Papua di Jayapura pada 27 Desember tahun 2014 silam. “Rakyat Papua tidak hanya membutuhkan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan, dan pelabuhan saja. Namun, rakyat Papua juga butuh didengar dan diajak bicara,” kata presiden.
Tentu dengan jalan dialog, berbagai persoalan yang terjadi di Papua bisa terungkap dan terselesaikan demi integrasikan Papua secara total dalam NKRI. Bila tidak, mungkin saja akan terjadi letupan-letupan yang lebih masif dan dapat merugikan bangsa Indonesia di kemudian hari, karena pemerintah pusat gagal mengurus konflik Papua.
Pada hakikatnya rakyat Papua menginingkan agar ada kedamaian dan kesejukkan di Bumi Cenderawasih seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka mengharapakan ada ruang dialog antara pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua agar tercipta proses rekonsiliasi menuju apa yang disebuat oleh Pater Antonius Tromp OSA, tokoh pendidikan Papua, yakni “pasifikasi Papua”. Semoga.
Penulis adalah Koordinator the Papuan Observatory for Human Rights( POHR).