Beranda Artikel Sebuah Memoar Hidup Juru Damai GAM-RI

Sebuah Memoar Hidup Juru Damai GAM-RI

341
0

Oleh Thomas Ch Syufi*

Pada tanggal 16 Oktober 2023, masyarakat internasional dan para pejuang sekaligus pemerhati masalah perdamaian dunia, termasuk Indonesia dikejutkan dengan wafatnya Presiden Finlandia ke-10 (1994-2000), juru damai Gerakan Aceh Merdeka, dan penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2008, Martti Ahtisaari di usia 86 tahun, di Helsinki, ibu kota Finlandia setelah berjuang melawan penyakit alzheimer sejak 2021. Namun, jasa dan dedikasinya untuk penyelesaian berbagai konflik di berbagai zona, baik Kosovo, Irlandia Utara, hingga memfasilitasi perundingan damai antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melahirkan perdamaian bagi Aceh melalui Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU ) Helsinki 15 Agustus 2005, tidak akan pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, sekaligus menjadi legasi dan inspirasi bagi setiap orang yang hendak berjuang untuk perdamaian, baik di Indonesia maupun global.
Ahtisaari yang setelah penandatanganan MoU Helsinki tentang Perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2005, dan di akhir tahun yang sama sampai awal tahun 2008 sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan dan dilanjutkan Sekjen PBB Ban ki-moon untuk urusan Kosovo, itu meninggal tiga hari sebelum menghadiri undangan bersama mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dan beberapa tokoh penting lainnya, untuk menjadi pembicara utama pada acara “The Fifth EU Community of Practice on Peace Mediation” di Brussels, Belgia, 18-19 Oktober 2023. Ahtisaari merupakan mantan diplomat PBB, negarawan Finlandia, mediator perdamaian terkenal dalam konflik internasional, yang tentu kepergiannya menyisakan kepedihan dan empati yang mendalam bagi para koleganya, orang-orang yang mengenalnya; ikut merasakan dan menikmati jasa baik perjuangannya bagi perdamaian dan kebebasan di tempat mereka masing-masing, baik di Afrika, Eropa, dan Asia, termasuk Aceh-Indonesia.
Sauli Niinisto, Presiden Finlandia saat ini, mencurahkan ungkapan dukaciatnya atas kepergian Ahtisaari. “Dengan kesedihan mendalam, kami dapat berita meninggalnya Presiden Martti Ahtisaari. Beliau merupakan presiden pada waktu perubahan yang memandu Finlandia ke era global Uni Eropa.” (Associate Press, 16/10/2023). Ekspresi kesedihan itu merujuk pada jasa besar Ahtisaari untuk negaranya. Yang mana, setelah runtuhnya negara adidaya di Blok Timur, Uni Soviet (1991) yang merupakan mitra utama dagang Finlandia, sebagai presiden, Ahtisaari mendukung keanggotaan Finlandia dalam UE, dengan mendorong para pemilih untuk mendukung referendum bergabung dalam UE pada 1994, yang disahkan dengan dukungan 57 persen)
Selain itu, ungkapan dukacita untuk Ahtisaari juga datang dari berbagai tokoh penting dunia lainnya, seperti dimuat dalam obituarinya di berita “AP, Reuters, dan Assiciate Press”. Mereka, antara lain, Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jeans Stoltenberg. Ia menyebut Ahtisaari sebagai pahlawan perdamaian, keamanan, dan pencegahan konflik. “Saya kagumi pekerjaan perdamaian yang dilakukannya di Balkan Barat,” kata Perdana Menteri Norwegia 2005-2014, itu.
Selanjutnya, kata Presiden Kosovo Vjosa Osmani, Presiden Ahtisaari berkomitmen sepanjang hidupnya untuk perdamaian, diplomasi, kebaikan umat manusia, dan memiliki pengaruh luar biasa masa kini dan masa depan. “Dia mengukir bingkai negara kita, dan namanya akan tetap selamanya di halaman sejarah Republik Kosovo,” kata Osmani. Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen menyebut, Ahtisaari ‘a visionary and champion of peace’ (seorang visioner dan juara perdamaian). Perdana Menteri Inggris tahun 1997-2007, Tony Blair menyatakan bahwa pria kelahiran kota timur Viipury (sekarang kota Vyborg di Rusia, 23 Juni 1937, mantan guru sekolah dasar sebelum bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Finlandia tahun 1965, itu adalah seorang negarawan yang luar biasa dan teman baik. “Dia memberikan kontribusi penting bagi proses perdamaian Irlandia Utara,” kata politisi Partai Buruh Inggris itu. Kanselir Jerman Olaf Scholz menulis di X bahwa kita kehilangan diplomat luar biasa. “Dia menunjuk pada mediasi Ahtisaari dalam banyak konflik, termasuk di Balkan, saat dia menghadiri pertemuan puncak para pemimpin Balkan Barat di Albania.
Perasaan kehilangan Ahtisaari juga turut dirasakan oleh salah satu mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang juga anggota Juru Runding GAM, Munawar Liza Zainal, dengan menyebut bahwa konflik GAM-RI yang berlangsung 30 tahun akhirnya mencapai kesepakatan damai melalui Perjanjian Mou Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, setelah ditengahi Ahtisaari. Tentu tercapainya perdamaian Aceh dengan resolusi konflik di Helsinki, merupakan jasa yang tidak dilupakan oleh Munawar bahkan semua rakyat Aceh dan Indonesia. “Martti adalah orang baik, sosok yang sangat berwibawa dan berkelakuan baik di depan delegasi GAM maupun RI saat proses perundungan berlangsung, ia bersedia menjadi mediator dengan segala kerumitan masalah yang terjadi”. (BITHE.co, 16 Oktober 2023).
Oleh Komite Nobel Perdamain, Ahtisaari sebagai penerima hadiah Nobel Perdamain 2008 atas upaya penting di beberapa benua dan selama lebih dari tiga dekade, untuk penyelesaian konflik internasional. Ahtisaari adalah kontributor utama ketika Namibia mencapai kemerdekaan pada tahun 1989-1990, menjadi arbitrase di Kosovo pada tahun 1999 dan 2005-2007, dan membantu mengakhiri konflik berkepanjangan di Provinsi Aceh-Indonesia tahun 2005. Atas berbagai usaha yang tak kenal lelah dan mencapai hasil yang baik dalam memainkan peran mediasi dalam penyelesaian berbagai konflik internasional, agar orang lain dapat terinspirasi oleh upaya dan pencapaiannya. Ahtisaari percaya bahwa semua konflik dapat diatasi dan perdamaian adalah persoalan kemauan. “Perang dan konflik tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan oleh manusia, selalu ada kepentingan yang didukung oleh perang. Oleh karena itu, mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh juga dapat menghentikan mereka.” (Pidato Ahtisaari saat menerima hadih Nobel 2008, dikutip dari laman resmi: https:// peaceprizelaureates.nobelpeacecenter.org/en/laureate/2008-martti-ahtisaari).
Ahtisaari menghabiskan sekitar 20 tahun di luar negeri. Pertama sebagai duta besar Finlandia untuk Tanzania pada tahun 1973 dalam usia 36 tahun, Zambia, dan Somalia, kemudian ke PBB di New York. Ia juga berperan dalam penarikan diri Serbia dari Kosovo pada akhir tahun 1990-an atau pada 1999, saat membawa misi Uni Eropa di Kosovo, ia membujuk Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic agar menerima syarat-syarat dari NATO guna mengakhiri serangan udara di Kosovo. (Reuters,16 Oktober 2023).
Ahtisaari yang pada tahun 2000 kembali ke Balkan sebagai utusan khusus PBB , ia dikenal luas karena turut membuka jalan bagi kemerdekaan Kosovo, dengan dukungan negara-negara Barat, itu ikut membantu upaya kemerdekaan Namibia pada tahun 1980an setelah bertahun-tahun terlibat konflik berdarah dengan Afrika Selatan. Ia juga terlibat dalam proses perdamaian Irlandia Utara pada akhir tahun 1990-an dan bersama Sekretaris Jenderal partai African National Congress (Kongres Nasional Afrika/ANC) dan kini Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memantau proses pelucutan (inpeksi) senjata IRA (Irish Republican Army). Atau Tentara Republik Irlandia yang merupakan organisasi paramiliter revolusioner yang menginginkan persatuan Irlandia, dengan meyakini bahwa hal tersebut tercapai hanya dengan mengadakan kampanye kekerasan terhadap kekuasaan Britania Raya (Inggris) di Irlandia Utara.
Menuju perdamain Aceh
Ahtisaari merupakan tokoh pembaruan dan pencinta perdamaian, baik di negaranya, Finlandia, Eropa, dan dunia, termasuk sebagai tokoh kunci di balik perdamaian GAM dan RI. Ia membantu melerai konflik GAM dan pemerintah Indonesia yang bekecamuk selama tiga dekade sejak tahun 976-2005, yang dipimpin oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau lazim dikenal Hasan di Tiro (1925-2010).
Hasan di Tiro memimpin gerakan ini dari Stokholm, Swedia mulai tahun 1980 (saat resmi memperoleh status kewarganegaaan Swedia) setelah ia mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI, 4 Desember 1976 di kawasan Kabupaten Pidie, Aceh. Tujuan didirikan GAM di antaranya adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari Indonesia. Sosok yang pernah berkuliah di tiga Universitas di Amerika: Universitas Kolumbia, Universitas Fordham, Universitas Plano pada tahun 1950-an, itu memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan opsi otonomi khusus daerah.
Di awal pembentuknnya, GAM mengintensifkan gerakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia melalui perang gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia yang dipimpin Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’i, aksi demonstrasi di pusat-pusat perkotaan oleh kelompok pemuda-pelajar, dan diplomasi luar negeri yang dimotori oleh Hasan di Tiro, Zaini Abdullah, dkk. Resistensi bersenjata GAM memicu pemerintah Indonesi menetapakan Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sekaligus gencar melancarakan Operasi Militer (atau disebut Operasi Terpadu) pada akhir tahun 1980-an, hingga terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang cukup ekstensif dan masif, yang dilakukan oleh tentara dan polisi Indonesia atau yang kala itu dikenal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Menurut laporan Amnesty International, jumlah korban warga sipil yang meninggal selama tiga dekade (1976-2005) konflik GAM dan RI mencapai antara 10.000 sampai 30.000 jiwa.
Atas konflik yang berkepanjangan dan menelan ribuan korban warga sipil tersebut, alih-alih mulai mendesak kedua pihak, yaitu GAM dan RI untuk segera mengakhiri konflik melalui jalan perundingan damai. Meski para pemimpin GAM menolak penyelesaian masalah Aceh dalam bingkai NKRI, Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, yang mana Ahtisaari menjadi pemain kunci mendorong agar dilakukan perundingan damai secepatnya antara kedua pihak, GAM dan RI. Dan akhirnya setelah Tsunami melanda Aceh yang menewaskan sedikitnya 230.000 jiwa pada tahun 2004, mumunculkan sebuah itikad baik dari pihak GAM untuk mengakiri konflik 30-an tahun dengan Indonesia, melalui jalan perundingan damai. Setelah tiga dasawarsa Hasan di Tiro dan para tokoh GAM lainnya memiliki hubungan yang antagonis dengan Jakarta terpaksa harus berakhir melalui kesepakatan damai yang dikenal MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, dimediasi oleh Ahtisaari setelah melewati perundingan yang berlangsung selama lima putaran, dimulai pada 27 Januari-15 Agustus 2005. Selanjutnya, GAM berdamai dengan Indonesia, dengan menerima paket Otonomi Khusus (dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh).
Akhirnya, perziarahan hidup Ahtisaari di bumi ini telah berakhir. Namun jasa dan dedikasinya sebagai seorang bertalenta fasilitator dan spesialis mediator yang ikut berperan sekaligus sukses menengahi berbagai konflik dan kekerasan di berbagai negara, seperti Namibia, Kosovo, Irlandia Utara, dan Aceh tetap menjadi legasi sekaligus harta perdamaian tak ternilai harganya yang akan selalu abadi dan dikenang oleh banyak orang. Juga nilai-nilai perdamaian yang telah ditabur oleh Ahtisaari ini wajib diteruskan oleh para pemimpin dunia ke depan dalam menyelesaikan berbagai konflik di negaranya-masing dengan mengedepankan jalan nirkekerasan (non-violence), yaitu pendekatan dialog dan diplomasi, termasuk Indonesia dalam menyelesaikan konflik 60 tahun (1963-2023) di Tanah Papua antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan pemerintah RI yang menewaskan sekitar 100.000-500.000 warga sipil . (Wikipedia: 22 Oktober 2023).
Sebab, karakter dan motif konflik Aceh dan Papua similar bahkan sama, hingga proses penanangannya pun harus sejajar tanpa diskriminasi, sebagai bentuk pemenuhan terhadap asas persamaan yang dikenal dalam dunia pengadilan, yaitu similia similibus curantor. Artinya, dalam perkara yang sama, diputus yang sama pula (atau hakim dalam berperkara di pegadilan dapat melihat putusan perkara terdahulu, jika sama dapat menjadi acuan dalam perkara yang sedang ditangani). Maka, pemerintah Indonesia telah sukses melakukan perundingan yang mencapai kesepakatan damai dengan GAM yang difasilitasi oleh Akhtisaari, tentu itu menjadi pedoman yang efektif bagi pemerintah Indonesia sekarang (Presiden Jokowi) untuk berdialog atau melakukan perundingan yang sama dengan pihak OPM atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk mengakhiri eskalasi konflik berkepanjangan di Tanah Papua.
Akhtisaari telah mengajarkan kita untuk menolak pandangan bahwa perang dan konflik sebagai situasi yang tidak bisa dihindari. Ia menegaskan bahwa perdamaian adalah soal kemauan. Semua konflik bisa diselesaikan, dan tidak ada alasan untuk membiarkan konflik itu langgeng. Semua konflik dan kekerasan tidak muncul secara natural, tetapi konflik datang dari kehendak dan kepentingan manusia itu sendiri, hingga tidak ada alasan jalan buntu untuk memecahkannya, tetapi selalu ada jalan keluar untuk diselesaikannya, kecuali seperti apa yang dikatakan oleh Plato, filsuf Yunani kuno, only the dead have seen the end war, hanya orang mati yang bisa melihat akhir perang! Sebab, bangsa yang menolak menyelesaikan konflik sama halnya dengan ia menolak dirinya untuk mencapai kedewasaan.
Jadi, semua itu butuh kolaborasi dan komunikasi yang jujur dan terbuka, disertai dengan komitmen yang kokoh dan niat yang tulus, dan diperjuangkan secara terus menerus meski gagal berkali-kali dalam melawan produk kejahatan manusia berupa konflik dan kekerasan yang sepelik apa pun bisa diatasi, sebagaimana bunyi pepatah Latin, “Gutta cavat lapidem, non vised saepe cadendo” ( tetesan air mata melubangi batu, bukan karena kekuatannya yang dahsyat, tetetapi karena tetesan yang terus-menerus/ berulangkali). Perang dan konflik pasti akan terus mengintai kita di planet ini seiring dengan evolusi dan peradaban umat manusia yang bersinggungan dengan beragam kepentingan dan kekuasaan yang minus rasa kemanusiaan, maka dibutuhkan juga orang-orang baik yang memiliki ketegasan prinsip dan komiten yang teguh sebagai pembawa “obor perdamaian” untuk mencegah dan menyelesaikannya, bila tidak kita akan hanya berada pada dua pilihan yang dikatakan oleh Herbert George Wells (1866-1846)), novelis, jurnalis, sosiolog, dan sejarawan Inggris, “If we don’t end war, war will end us” (jika kita tidak mengakhir perang, perang akan mengakhiri kita)! Liberte.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif the Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat Papua.