
Oleh Felix Degei, S. Pd., M. Ed*
Pendahuluan
Dulu saat mengenyam pendidikan strata satu pada Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Cenderawasih saya sering dengar istilah “Konseli/Klien Tak Perna Salah” (KTPS). Pernyataan tersebut meneguhkan para guru Bimbingan Konseling/Penyuluhan (BK/BP) atau konselor sekolah (school counselor) agar memiliki pemahaman bahwa beragam masalah yang dialami oleh setiap individu pasti ada solusi. Masalah yang lazim dialami setiap konseli/klien mengenai kehidupan keseharian yang tidak efektif (KESTE). Hal tersebut berarti kehidupan pribadi yang bermasalah tidak selamanya berdampak positif dan sifatnya justru mengganggu kelancaran hidup manusia. Oleh sebab itu, disanalah peran seorang Guru BK/BP atau konselor sekolah dibutuhkan guna memberikan peneguhan agar terentasnya masalah setiap konseli/klien. Kini hal senada muncul dalam sistem pendidikan Indonesia dalam kerangka Kurikulum Merdeka Belajar. Istilah tersebut adalah “Siswa Tak Perna Salah” (STPS). Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) mengamanatkan seorang guru hadir hanya sebagai insan yang siap menuntun siswa agar tumbuh kembang sesuai kodratnya masing-masing demi keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat sebagaimana wejangan Tokoh Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Adanya istilah ini bukan berarti siswa menjadi pribadi yang berlaku bebas tanpa bimbingan, arahan serta tuntunan dari seorang guru. Siswa maupun guru tentu wajib mamatuhi anjuran dan larangan sesuai hak dan kewajiban sebagai insan beradab. Niatan baik dari kebijakan ini hendak dikaji dari persfektif Psikologi guna mendukung penerapan IKM selanjutnya.
Membedah Konsep Siswa, Murid dan Peserta Didik
Istilah yang merujuk pada insan yang sedang belajar ini seringkali digunakan secara tidak konsisten. Ada yang menyebut mereka ‘siswa’, ‘murid’ dan ‘peserta didik’. Bagian ini hendak membahas secara terpisah perbedaan pengertian ketiga istilah tersebut. Berbagai sumber mengkonfirmasi jika: (a). Siswa adalah murid terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah. (b). Murid adalah orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah); sementara (c). Peserta Didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal, non-formal dan informal. Oleh sebab itu, kajian ini menggunakan istilah ‘siswa’ karena subjek yang dibahas khusus bagi murid yang ada di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama serta atas.
Membedah Iklim Belajar Konvensional dan Merdeka Belajar
Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini Indonesia menggunakan kurikulum yang hanya berpusat pada pemenuhan ketuntasan konten atau isi materi pembelajaran. Guru mengajarkan materi dengan target agar standar kompetensi dan kompetensi dasar tercapai diakhir semester atau caturwulan (dulu) dan tahun ajaran. Dengan demikian dalam pembelajaran selalu ada dua bentuk tes yakni tes setiap akhir pokok bahasan atau tema (tes formatif) dan tes akhir dari semester dan tahun ajaran (tes sumatif). Kedua bentuk tes tersebut keberhasilannya ditentukan oleh Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Dengan acuan hasil belajar tersebut biasanya menentukan naik atau tahan kelas juga lulus dan tidak lulusnya Ujian Nasional untuk lanjut sekolah pada jenjang berikut. Sistem pembelajaran inilah dalam ulasan ini disebut dengan iklim belajar konvensional.
Sementara kini dalam Implementasi Merdeka Belajar (IMB) mengamanatkan agar pembelajaran berpusat pada proses. Setiap siswa ditantang untuk berproses dalam pengembangan kompetensi yang dimilikinya. Dalam pengembangan kompetensinya siswa dituntun agar berproses dengan dengan mengacu pada enam dimensi, elemen dan subelemen profil pelajar Pancasila. Keenam dimensi dalam profil pelajar Pancasila: pertama, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; kedua, mandiri; ketiga, bergotong-royong; keempat, berkebhinekaan global; kelima, bernalar kritis; dan keenam, kreatif. Setiap dimensi memiliki elemen dan subelemen berbeda yang harus dipenuhi oleh setiap siswa.
Dimensi pertama memiliki enam elemen penting pembentukan lima akhlak: beragama, pribadi, kepada manusia, kepada alam dan bernegara. Dimensi kedua terdiri atas empat elemen: mengenal dan menghargai budaya, komunikasi dan interaksi antara budaya, refleksi dan tanggungjawab terhadap pengalaman kebhinekaan dan berkeadilan sosial. Dimensi ketiga memiliki tiga elemen: kolaborasi, kepedulian dan berbagi. Dimensi Keempat memiliki dua elemen: pemahaman diri dan situasi yang dihadapi dan regulasi diri. Dimensi kelima terdapat tiga elemen: memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran dan merefleksikan dan mengevaluasi pemikirannya sendiri. Dimensi keenam mengacu pada pada memperoleh informasi dan bernalar kritis, analisis dan evaluasi penalaran serta refleksi serta evaluasi. Sementara dimensi keenam, meliputi; gagasan orisinal, karya orisinal dan keluesan berpikir. Keenam dimensi dengan elemen sub elemen inilah yang diharapkan menjadi target utama pengembangan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar.
Esensi Siswa Tak Pernah Salah
Asumsi Siswa Tak Pernah Salah tersebut mengacu pada dua alasan utama. Pertama, setiap manusia diciptakan secara unik, khas dan tidak ada duanya oleh Sang Khalik. Sehingga jika tidak ada perbedaan pada aspek fisik antara individu satu dengan lainnya maka pasti ada secara psikis. Kedua, karakter manusia yang turut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar terlebih khusus pola asuh. Pola asuh yang diperoleh setiap orang akan berdampak pada sikap dan karakter anak. Jadi seorang anak berlaku secara berbeda karena sesungguhnya setiap orang tidak sama. Oleh sebab itu, salah satu pendekatan yang dituntut untuk diterapkan oleh bapak ibu guru adalah pembelajaran sesuai dengan tipe kepribadiannya (pembelajaran berdiferensiasi). Hal ini mengkonfirmasi bahwa apapun tingkah dan kemampuan siswa adalah pribadi yang wajib dilayani oleh setiap guru karena siswa tak perna salah.
Perspektif Psikologi Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Dasar Seseorang
Ada beragam pendapat ahli Ilmu Jiwa (Psikologi) perkembangan manusia yang menjejaki awal mula perkembangan terjadi pada manusia. Para penganut aliran Empirisme, misalnya John Locke (1632-1704) meyakini bahwa setiap manusia saat lahir seperti kertas putih kosong (white blank paper) yang selanjutnya dikenal sebagai teori ‘tabula rasa’. Sehingga hanya pendidikan dan pola asuhlah yang mengambil andil dalam pembentukan karakter setiap insan. Oleh sebab itu, aliran ini meyakini bahwa kepribadian yang baik maupun buruk pada seseorang tergantung pada bagaimana ia dididik dan diasuh melalui proses yang namanya pendidikan. Secara implisit aliran Empirisme menegaskan bahwa siapa saja yang berkecimpung dalam tumbuh kembang seorang anak harus mampu menjadi contoh atau model yang baik (role model). Karena seorang anak sesungguhnya akan balajar dengan mengamati (observasi) dan meniru (imitasi) sebagaimana dikemukakan oleh Albert Bandura (1925-2021) dalam Teori Belajar Sosial (social learning theory).
Sementara menurut penganut aliran Nativisme seperti Sckophenhauer (1788-1880) seorang filsuf berkebangsaan Jerman meyakini bahwa manusia sesungguhnya terlahir dengan ragam potensi kemampuan bawaan. Sehingga ia bahkan mengatakan bahwa lingkungan sekitar tidak ada artinya karena tidak memberikan pengaruh dalam tumbuh kembang seorang anak. Kendati demikian pendapat ini menuai banyak kontroversial karena sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial (homo socius). Makhluk yang selalu ingin berinteraksi dengan sesama di sekitar sebagaimana pendapat Aristoteles yakni (zoon politicon). Karena sejatinya manusia tidak hidup sebatang kara seperti sebuah pulau di tengah samudra (no man is as an island). Oleh sebab itu, manusia selalu punya kecenderungan untuk bersekutu dengan sesama di sekitar hingga akhirnya ada istilah ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ sebagaimana pendapat Cicero seorang Filsuf Romawi Kuno (ubi societas, ibi ius).
Akhirnya kedua keyakinan tersebut dipadukan oleh para penganut aliran Konvergensi seperti William Stern (1871-1939). Ia menegaskan bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranaan penting. Kemampuan yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan bakat. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak terdapat kemampuannya.
Hal lain yang tak kalah penting dalam pembentukkan sikap dan karakter seseorang adalah pola asuh. Pola asuh dilakukan baik dari orang tua (pendidikan informal) maupun guru di sekolah (pendidikan formal). Ada tiga macam pola asuh yang turut mempengaruhi pembawaan siswa, antara lain: otoriter, demokratis dan permisif. Pola otoriter dalam pembelajaran cenderung ketat sehingga segala sesuatu dilakukan di bawah pengawasan guru. Sementara pola didik yang demokratis senantiasa guru ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan secara bersama. Akhirnya pola didik yang permisif selalu memberikan ruang kebebasan untuk siswa berlaku sesuka hati. Ketiga pola didik ini juga tentu turut mempengaruhi sikap dan tingkah para siswa.
Taxonomi Peran Guru dalam Kurikulum Merdeka
Prinsip pelayanan seorang guru terhadap siswa dalam Kurikulum Merdeka mengacu pada semboyang yang digagas oleh Tokoh Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro. Model pembelajaran yang dianjurkan adalah pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran yang menjunjung tinggi keberagaman kemampuan yang dimiliki siswa masing-masing. Oleh sebab itu, Kurikulum Merdeka menganjurkan sekolah menyelenggarakan tes diagnostik diawal untuk mengungkap metode efektif siswa memeroleh informasi pengetahuan. Apakah siswa unggul dengan indra penglihatan (visual), pendengaran (audio) atau justru dengan praktek langsung (kinestetik) sesuai teorinya Walter Burke Barbe dan Neil Fleming. Kurikulum Merdeka menuntuntut agar guru menerapkan pendekatan pembelajaran dengan memberikan tugas proyek bagi siswa untuk kerjakan (project-based learning) dan mengajar sesuai ragam masalah dan kesulitan belajar yang dihadapi siswa (problem-based learning).
Mengacu pada perpektif Psikologi, bagi siswa yang belum memiliki kemampuan pengetahuan dan ketrampilan yang diharapkan maka kepada mereka guru harus berperan sebagai penuntun atau pionir di depan untuk mengarahkan siswa (ing ngarso sung tulado). Sementara siswa yang mengetahui sebagian dari isi materi yang hendak diajarkan maka guru diharapkan menjadi penyemangat atau kolaborator dalam belajar bersama di tengah siswa (ing madyo mangun karso). Lalu bagi siswa yang telah mengetahui isi materi, guru hanya menjadi menjadi penyemangat dengan memberikan semangat dari belakang (tut wuri handayani).
Dengan demikian siswa sungguh akan menjadi pribadi yang beriman dan bertadwa, mandiri, kreatif, bernalar kritis, inovatif dan gotong rotong serta berkebhinekaan global sesuai enam dimensi utama dalam pembentukan profil pelajar Pancasila. Seorang guru dalam implementasi kurikulum Merdeka wajib menggunakan pola asuh yang bervariasi. Ada waktu dimana seorang guru harus tegas sesuai arahan guru (otoriter) tetapi juga butuh diskusi dan tukar pikiran (demokratis) serta memberikan ruang kebebasan agar siswa berkreasi dengan segala potensi yang dimilikinya (permisif).
Kesimpulan
Pada hakekatnya setiap manusia adalah unik, khas dan tidak ada duanya. Setiap siswa memiliki kelebihan serta kelemahan. Esensi kehadiran siswa dalam kurikulum pendidikan adalah untuk melengkapi bagian yang menjadi kelemahan dalam hidupnya. Sehingga benar bahwa ‘siswa eksistensinya dalam hal belajar adalah pribadi yang tak perna salah’. Kesalahan yang ada sebagai proses pembelajaran (trials and errors). Jikapun ada kesalahan bisa jadi karena pola asuh yang terlalu otoriter tapi juga permisif. Patut diketahui bahwa siswa belajar dengan melihat/mengamati (observasi) dan meniru (imitasi). Jadi kini tantangan terberat bagi seorang guru adalah bagaimana menjadi pribadi yang senantiasa siap menerima siswa apa adanya?
“If the child cannot learn the way we teach, maybe we should teach the way they learn” -Ignacio Estrada.
Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (indigenous studies) yang tinggal di Nabire, ibu kota Provinsi Papua Tengah.