Mengenal Thomas Ch. Syufi Dari Rekam Jejak dan Rentetan Pengalaman
Thomas Christofel Syufi dilahirkan pada 11 Januari 1989 di Kampung Anjai, ibu kota Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2001, beliau mengenyam pendidikan dasar di SD YPPK Santo Yohanes Asiti, Distrik Kebar, Tambrauw. Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Kebar dan tamat pada tahun 2004. Di usia remaja, menurut celotehan teman-temannya, Thomas Syufi adalah sosok yang cerdas, dengar-dengaran di kelas, tekun belajar dan rajin ke sekolah. Berada di sekolah tepat pada waktunya, meskipun bentangan jarak antara kampung Anjai dan SMP Negeri Kebar cukup jauh. Pulang sekolah pun demikian, berjalan kaki di atas hamparan kerikil panas saat mentari menyengat permukaan bumi hingga mencapai titik didih. Berkat keuletannya, kerap mendapat prestasi di sekolah. Kehidupan di waktu kecil di kampung yang sangat keras dan serba sulit sentuhan pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi membuat dirinya menjadi sosok yang kuat dan tangguh untuk menjawab situasi masa lalu yang tak menguntungkan pribadinya maupun masyarakat Papua secara luas.
Setelah tamat dari SMP Negeri Kebar tahun 2004, beliau melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 01 Manokwari hingga tamat pada tahun 2007. Selama mengikuti masa pendidikan di SMA Negeri 01 Manokwari, guru dan teman kelasnya decak kagum atas kecerdasannya karena sering berdebat mengenai materi pelajaran bila tidak sesuai dengan garis pemahamannya ataupun karena sudah menguasai materi pelajaran dengan baik. Bahkan dalam setiap ajang perlombaan berpidato tingkat sekolah untuk hari seremonial tertentu, dirinya sering ditunjuk menjadi duta sekolah. Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia waktu itu, yang mengajari Thomas bagaimana berpidato sempat kagum dan terheran-heran karena kecakapannya. Ini semua diterimanya dengan rasa syukur dan kerendahan hati karena merasa bahwa bakat dan talenta yang dimilikinya sebagai media pelayanan.
Masih di level SMA. Dengan sikap militansi dan kritisismenya, kerap kali ia mengkritik pihak pemerintah daerah terkait kepentingan umum, seperti tidak tersedianya perpustakaan daerah, taman bacaan, termasuk mengkritik pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua atas intrik politik dan keterlambatannya memproses dan memberi kepastian hukum atas eksistensi provinsi Irian Jaya Barat(kini Papua Barat) melalui beberapa media lokal terkenal di Manokwari, di antaranya, Media Papua dan Cahaya Papua. Di sinilah menjad iawal dirinya mengenal dan merasa pentingnya media (atau pers) sebagai pilar penting yang ikut menyokong pembangunan atau perubahan nyata dalam suatu tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Karena pers sebagai lentera yang menyiangi jalan hidup atau sering ia mengutip Adolf Hitler, bekas penguasa (diktator) Nazi Jerman, “Pers itu bak pisau bermata dua: bisa membuat surga jadi neraka dan neraka jadi surga,”.
Pada tahun 2008, dirinya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, berkonsentrasi di bidang Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih, Jayapura. Selama mengikuti perkuliahan di Uncen, beliau menginsipirasi kalangan mahasiswa dengan gagasannya ketika berorasi atau saat gelar aksi damai. Menjadi orang terdepan mengkritisi kebijakan-kebijakan birokrasi maupun kebijakan akademik dengan pikiran cerdas,cemerlang, kritis, adalah sejumlah pilihan prioritas baginya. Di mata mahasiswa dan yang menjadi teman dekatnya, menjulukinya sebagai “Sang Orator” yang memompa semangat kaum muda untuk menjejaki pikiran dan gagasannya yang cemerlang. Baik di tingkat Jurusan, Fakultas, maupun antara Universitas dirinya dipercayakan untuk menghadiri diskusi-diskusi ilmiah, seminar dan membahas persoalan-persoalan sosial. Masalah leadership (kepemimpinan), bukan sesuatu yang awam baginya karena berpengalaman terlibat dalam berbagai organisasi, dan bahkan memimpin sejumlah organisasi bersifat intra dan ekstra kampus. Hal ini karena beliau terdorong oleh jiwa yang militan, supel, memiliki sumbangsih pikiran dan gagasan yang cerdas, serta kecakapan memimpin organisasi dari jenjang ke jenjang meskipun statusnya saat itu masih sebagai mahasiswa aktif di kampus.
Setelah menyelesaikan studinya di Uncen pada tahun 2012 dengan Indeks Prestasi Kumulatif(IPK) 3, 34, dan berbekal pengalaman selama mahasiswa, mengalami kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan. Hal ini tentu saja bukan hanya bobot pengalaman yang dimilikinya, namun lebih karena sebagai pribadi yang cerdas dan multi talenta.
Pengalaman Berorganisasi
Saat masih sebagai mahasiswa maupun setelah menjadi alumni, beliau pernah terlibat dan memimpin sejumlah organisasi seperti:
Anggota aktif DPC. PMKRI Santo Efrem Jayapura pada tahun 2008
Ketua Bidang HAM Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Demokrasi, HAM, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih tahun 2009-2010
Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih tahun 2010-2011 dan pada tahun 2012 menjadi Ketua BEM Universitas Cenderawasih. Pada tahun yang sama, dipercayakan menjadi Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Jayapura periode 2011-2013
Anggota Tim Studi Banding tentang AD/ART dan sistem Pemerintahan Mahasiswa dari Universitas Cenderawasih ke BEM Universitas Indonesia, Trisakti, November tahun 2011
Anggota Komite Independen Pemantau Pemilu(KIPP) Papua tahun 2012.
Peserta Papuan Brigde Program (PBP) Batch V PT Freeport Indonesia Maret-Juni 2013.
Kepala Lembaga Pers dan Penerbitan Majalah Margasiswa Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Santo Thomas Aquinas tahun 2012-2013
Ketua Lembaga Pusat Kajian Isu Strategis (LPKIS) Presidium Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat PMKRI Santo Thomas Aquinas 2013-2015
Selanjutnya pada tahun bersamaan 2013-2014 mengemban tugas sebagai Staf Ahli untuk Senator Muda Papua Barat Mervin Sadipun Komber di Kantor Dewan Daerah (DPD) RI dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, 2013-2014, dan sebagai relawan di Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Jayapura
Tidak hanya berkiblat di sejumlah organisasi, bahkan dirinya pernah menjadi wartawan di media terkenal “Harian Kompas” dari tahun 2014-2015.
Wakil Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan HAM DPD KNPI Provinsi Papua Barat periode 2017-2019.
Menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) BPC Kabupaten Tambrauw periode 2018-2020
Warisan Bakat Jurnalis, Gemar Membaca dan Menulis Buku
Thomas Ch. Syufi memiliki kecintaan terhadap aktivitas dunia jurnalistik (dunia tulis-menulis). Ia menggauli dunia jurnalistik sejak kuliah di Universitas Cenderawasih dan hingga kini turut menyumbangkan idenya melalui sejumlah media massa. Pribadinya direpresentasikan melalui gagasan cemerlang dan brilian yang dituangkan melalui opini dan artikel yang pernah dipublikasikan melalui berbagai media massa tersohor, seperti Cenderawasih Pos (Jayapura), Radar Timika (Mimika), Radar Sorong (Sorong), Media Papua (Manokwari), Radar Manokwari (Manokwari).
Ada berbagai isu yang disorotinya melalui media tersebut, semisal tentang pembangunan dan perubahan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, infrastruktur, demokrasi, politik, budaya, pemuda, perempuan dan anak, termasuk masalah kepemimpinan (leadership), kemiskinan, penindasan, dan tentang pelanggaran HAM.
Kecintaannya terhadap aktivitas berkorespendensi tentu saja bukan hanya karena kepiawaiannya memilih kata-kata menjadi kumpulan gagasan di atas helai buraman putih, namun juga karena terinspirasi oleh hasil karya penulis terkenal. “Membaca membuat seseorang lengkap sebagai manusia, berdiskusi membuat orang selalu siap sebagai manusia, dan menulis membuat seorang menjadi manusia sebenarnya,” demikian kutipan mantan aktivis dan inspirator muda ini dalam bukunya berjudul “Bunga Rampai Indonesia-Sebuah Proposal Ringkas Papua”, menugutip pendapat Sir Bacon (1561-1626), filsuf, penulis, dan negarawan Prancis
Menurutnya, daya kreasi manusia yang terbentuk dalam kumpulan gagasan perlu diejawantahkan ke dalam wujud tulisan guna memberikan pendekatan alternatif dan solutif terhadap berbagai persoalan yang ada. Selain tujuan luhur dan mulia, meminjam istilah Uskup Desmond Tutu, pejuang hak asasi manusia menilai politik bertujuan menyuarakan suara kaum tak bersuara (voice of thevoiceless). Aktivitas menulis menjadi corong rakyat untuk mengkritisi kebijakan para elit yang tidak berpro rakyat. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” demikian kutipan mantan jurnalis di harian ternama, yang juga fasih berbahasa Inggris, Latin,dan pernah tiga bulan mengikuti kursus bahasa Rusia di Kedutaan Besar Rusia untuk RI di Jakarta ini mengutip pendapat Pramoedya Ananta Toer.
Perbendaharaan kata-kata dan istilahnya yang begitu banyak baik saat berdiskusi formal, semi formal, diskusi gaya santai, juga dalam tulisannya berbentuk opini-artikel, maupun dalam bukunya tidak diperoleh secara instan, namun karena kegemarannya membaca. Suka membaca buku sejak di bangku SMA hingga kini. Hampir tak ada hari yang dilewatinya tanpa menjamah buku. Tentu saja buku-buku yang dibacanya tidak hanya berkaitan dengan disiplin ilmunya, tapi buku juga buku-buku yang bernuansa filsafat, kesastraan, teologi dan buku-buku lain yang merupakan buah pikiran filsuf ternama lainnya. Membaca buku merupakan kecanduan baginya. Tak heran jika kita membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membaca opini dan artikel maupun buku yang ditulisnya, karena dirinya sering menggauli tulisan para filsuf, teolog, maupun penulis terkenal yang menggunakan langgam bahasa yang rumit. Buah dari kecerdasan dan keranjingannya membaca membuatnya begitu mudah dan piawai menari-menarikan jemarinya di atas keyboard untuk menelurkan gagasan cemerlang yang tertata rapi dalam bentuk opini dan artikel maupun buku karyanya.
Dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Indonesia-Sebuah Proposal Ringkas Papuamemuat puluhan topik yang bersinggungan dengan masalah kesejahteraan, kebijakan birokrasi, politik, dan hak asasi manusia. Buah pikirannya ini guna memberi dan menawarkan pendekatan alternatif terhadap sejumlah persoalan. Selain itu, mengkritisi kebijakan dan memberi masukan atas kebijakan birokrasi yang tidak bersentuhan lansung dengan rakyat.
Merasa Terpanggil ke Panggung Politik
Thomas begitu mendalam merefleksikan realitas sosial, terutama melihat kebijakan para elit birokrasi yang tidak begitu memuaskan kelas akar rumput. Sebab itu, menurutnya resiko menjadi pemimpin adalah pengabdian dengan penuh pengorbanan. Pemimpin harus siap jadi lilin yang habis dibakar untuk menerangi orang lain yang sedang menderita karena diselimuti gelapnya kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan. Pemimpin harus mengambil tindakan yang bisa mengubah butir pasir yang tercecer dari karang menjadi emas di jalan, agar terwujudnya cita-cita kolektif bangsa, yakni keadilan dan kesejahteraan. Politik yang gelap harus diterangi dengan politik kejujuran. Berkorban demi rakyat adalah hal yang mulia dalam hidup, bahkan harus bersimbah darah dan korban nyawa.
Karena prinsip itulah yang mendorongnya terjun ke kancah politik, sebab ia melihat Papua membutuhkan penolong seperti orang-orang Samaria. Menurutnya, jabatan bukanlah taman sari (atau tempat) buru harta atau perbaiki diri (status sosial), tapi merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan untuk memaslahatan bersama. Baginya, berpolitik adalah karya kerasulan awam.. jadi garam dan terang untuk sesama yang lain. Terpanggil ke panggung politik tentu saja tidak hanya karena merasa compassion (tergerak hati) sebagaimana Tuhan menyentuh orang sakit, menderita, kelaparan, kemiskinan, dan orang-orang berdosa. Tapi, dari konteks manusiawi karena ia memiliki karir organisasi panjang, sebagai aktivis, inspirator kaum muda, berbakat jurnalis, pemikir, modal sosial yang kuat berkat sosoknya yang suka mendengar entah anak kecil-besar, laki-perempuan, kaya-miskin, di matanya semua mendapat penghormatan yang sama, dilandasi prinsipnya, “Seorang manusia menjadi manusia karena dirinya mengakui orang lain sebagai manusia”. Talk less do more, sedikit bicara banya bertindak,”.
Dalam perhelatan proyek politik 2019, ia tidak menawarkan apa-apa untuk masyarakat Papua Barat, khususnya Daerah Pemilihan 4 (Kabupaten Tambrauw, Maybrat, dan Sorong Selatan), tapi hanya menawarkan hati dan contoh hidup. Dalam pikirannya, kompetisi politik adalah adu program, dan platform politik, bukan mengapitalisasi isu-isu sarkastis: saling hina dan mencemooh atau mengonstruksi isu-isu sensitif yang memecah keutuhan dan persatuan karena pilihan politik yang berbeda-beda, seperti isu suku, agama, ras, dan antargolongan(SARA). Kebencian dibalas dengan cinta kasih, balas dendam dibalas dengan pengampunan, perang dibalas dengan damai. Mengutip pendapat filsuf Indonesia Franz Magnis Suseno, SJ, ia melihat Pemilu bukanlah memilih yang terbaik, tapi mencegah yang buruk berkuasa. Atau mencari yang terbaik daripada yang baik (primus inter pares). Maka, kontestasi politik merupakan ajang memperebutkan kepercayaan rakyat berbasis ide dan program yang ditawarkan.
“Bersama Generasi Baru untuk Perubahan Papua Barat”, dirinya siap mengikuti perhelatan politik Papua Barat dalam Pemilu Legislatif 2019 mendatang melalui Partai Amanat Nasional(PAN), karena “Situasi Memanggil”. Sebab itu, tokoh nasional mahasiswa dan pemuda Papuaini berkiprah di pentas regional untuk masa depan masyarakat Papua. “Tuhan tidak melihat siapa yang bekerja pagi, siang dan sore, tapi Tuhan melihat siapa yang bekerja dengan hati dan jujur di tanah ini,” imbuh politikus yang masih melakoni hidup membujang ini.
Menurutnya, Otsus yang sudah berjalan 17 tahun dan sudah 60 triliun lebih dana yang dikanalisasikan pada masyarakat Papua yang hanya berjumlah 2 juta lebih jiwa, belum membawa dampak yang signifikan atau membawa perubahan.
Banyak uang tapi rakyat miskin. Inilah paradoks Papua. Ia mencontohkan 400 lebih nelayan di Tambrauw dan 1.300 petani di daerah pesisir Tambrauw Papua Barat nasib mereka masih terbengkalai alias tak memiliki pacul, sekop, perahu tangkap, pelabuhan ikan, dan pabrik es. Permasalahan yang dihadapi penduduk lokal di kawasan Teluk Bintuni, misalnya, mulai mencuat sejak adanya intervensi berbagai perusahaan penebangan kayu komersial yang sangat mengganggu sumber pangan penduduk setempat dan bertambah parah ketika eksploitasi sumber daya perikanan perairan( seperti populasi ikan, udang, ikan hiu, buaya) dilakukan makin intensif. Hal ini terbukti dengan sekitar 200 kapal trawler besar yang mencari seluruh potensi sumber daya perikanan hingga ke pinggiran hutan mangrove bahkan kesempatan penduduk setempat untuk mencari hasil laut menjadi kian sempit dan sulit.
Belum adanya akomodasi politik tentang isu hak asasi manusia(HAM) dan hak-hak dasar orang Papua. Misalnya belum adanya produk regulasi daerah berupa Peraturan Daerah Khusus(Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi(Perdasi) sebagai derivasi dari Undang-undang No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatur soal pemisahan anggaran Otsus dan APBDP, tenaga kerja, baik di swasta atau pemerintah, investasi, pemetaan tanah adat, dan pembatasan arus transmigrasi dari luar ke Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua Barat.
Tidak hanya itu, pembangunan sumber daya manusia di Papua juga terbilang masih jauh dari standar kompetitif. Indeks Pembangunan Manusia(IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2013 sebesar 66.25 dan 70.62 masih berada di posisi papan bawah dibandingkan dengan rata-rata seluruh wilayah. Dari tahun ke tahun tampaknya perubahan tak banyak, menyebabkan gejolak ketidakpuasan tak pernah pupus(Kompas, 20 Agustus 2015).
Jumlah penduduk miskin di Papua Barat pun kian meroket. Sesuai data Badan Pusat Statistik(BPS) Provinsi Papua Barat per Maret 2017, bahwa provinsi dengan 877.437 ribu jiwa ini jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) mencapai 228.380 jiwa atau 25, 10 persen. Angka ini meningkat bila dibanding per September 2016 sebesar 223.600 jiwa atau berkisar 24, 88 persen.
Dari setumpuk problem sosial dan ekonomi yang terus menjadi hantu dan membelit rakyat Papua Barat ini tak secara intensif diperjuangkan oleh lembaga-lembaga representasi, seperti para anggota DPRD Papua Barat atau Papua. Padahal setiap Pemilu, rakyat telah mengontrak para anggota legislatif sebagai lembaga watch dog (anjing penjaga) pemerintah untuk mengawasi setiap kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang populis(tidak pro-rakyat) harus diluruskan hingga berjalan sesuai dengan kehendak pemegang kedaulatan: rakyat.
Pemerintah perlu dikontrol oleh legislatif (checks and balances system). Karena sebuah pemerintah tanpa kontrol atau kritik sama seperti bumi tanpa matahari atau penerbangan tanpa radar. Apalagi di era yang sangat kental dengan kebebasan, kritik dan kontrol lembaga rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan itu sangat diperlukan. Karena kritik juga seperti pupuk yang menyuburkan pohon demokrasi atau oksigen bagi paru-paru demokrasi.
Rakyat memberi amanat kepada para anggota DPRD, dengan syarat memperjuangkan aspirasi keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan urus proyek atau memperjuangkan kepentingan sendiri atau golongan.
Di masa keguncangan (situasi keras di kampungnya, Kebar), mata hatinya terbuka kepada kebenaran yang sebelumya tak pernah terpikirkan dan dilihatnya. Ia melihat bahwa manusia perlu kepekaan terhadap martabat kemanusiaan, hormat kepada pekerja kasar, kerinduan untuk melayani, dan kesadaran cinta sebagai daya pendorong kehidupan. Sebab itu, politik dalam garis pemahamannya adalah sebuah ‘panggilan’sehingga sepatutnya diperjuangkan demi kesejahteraan atau kebaikan bersama (boum comune). Hakikat kehidupan adalah berarti bagi sesama yang lain. Bila hidup tidak bermakna humanis maka hidup hanyalah sebuah kesia-siaan di jagat ini. “Hidup yang tidak direnungkan tidak layak untuk dihidupi,” kata Socrates( 469-399 SM ), filsuf Yunani kuno.
Menyinggung konsep filsuf Jerman, Friedrich W Nietzsche, berpolitik membutuh kesungguhan. Tantangan apa pun, harus dihadapi. Segaris dengan pemahaman filsuf ini, maka ia memiliki prinsip dan komitmen terhadap politik. Memiliki ketegasan terhadap sikap politik
Karenanya, berjiwa politik menurutnya adalah orang yang betul-betul humanis, menyentuh aspek langsung kebutuhan masyarakat, berdiri dan bersama rakyat untuk mendengar tangisan minor dari batin yang tidak sempat terbaca lewat gerak lahir.Singkatnya, iamenangisdantertawabersamarakyat. Panggung politik baginya seperti medan tindakan profetis (kenabian) yang mencoba keluar dari zona seruan padang gurun untuk menjadi pelaku seperti yang dicontohkan Juru Selamat dunia. Karena situasi dan realitas sosial, ia keluar dari padang dan belantara Kebar untuk bersinggungan langsung dengan keadaan masyarakat yang serba tidak menguntungkan semua aspek. Pemimpn politik ibarat Gembala yang siap menyediakan oase bagi para domba karena dahaga atas kegetiran peziarahan di atas hamparan padang pasir yang belum menemukan titik horizon.”Omnia sint fausta et prospera, semoga semua sejahtera dan makmur”.
“Rakyat tidak menginginkan kata-kata, mereka ingin suara pertemuran-pertempuran untuk mengubah nasib mereka,” kata Presiden kedua Mesir , Gamal Abdel Nasser.
——————————————————————————————–
Penulis biografi dan profil Thomas Ch. Syufi adalalah mantan Jurnalis (wartawan) di media pro sipil. Pernah menjadi Redaktur dan Editor di koran Harian Suluh Papua, Jurnalis Kontributor di Ucanews (Union Catholic of Asia News = Media Katholik Asia). Sekarang merasa terpanggil menjadi tenaga pendidik di SMP Negeri 23 Senopi. Di paruh kesempatan masih menyumbangkan tulisan untuk media massa.