Beranda Advertorial Teater Papua dan Manusia yang Berharap

Teater Papua dan Manusia yang Berharap

4515
0
Anak-anak Papua bermain di alam (Foto: Dok.PapuaLives)

Oleh : Dorothea Rosa Herliany

Sekumpulan perempuan berbalut pakaian rumbai-rumbai dari kulit pohon (saly) dan tas di kepala (noken) meratap sedih sambil menari-nari. Genderang tifa, triton, dan sejumlah alat musik tradisional menyihir suasana menjadi pilu. Seorang di antara pemain dengan suara lengking dan terasa menyayat menyanyikan syair neno, neno, nene, wadoi kwonso sup ineno / yore mamo mamo / wadoi kwonso sup mambesak / sup ineno // neno, neno, nene, manseren nanggi, wado i / kwonso papua sup ineno / yoro mamo mamo wadoi / kwonso nona papua sup ine (Ya Tuhan, turunlah dan tinggal bersama kami di negeri mambesak ini, Tuhan Langit, berkati negeri Papua serta kekayaannya). Saat itu, ikon yang menjadi hero mereka, Angganetha, akan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang.
Begitulah cuplikan pementasan teater perempuan Orchide Papua Teater di beberapa panggung kesenian dan arena terbuka lain di Biak dan Jayapura pada 30 Juli-7 Agustus 2010.

Nyanyian dan tarian dengan panah dan busur khas masyarakat Biak Numfor yang disebut Wor mewarnai pertunjukan tersebut. Meski itu tampak khas, ada yang lebih menarik, terutama bagi para penonton yang rata-rata belum pernah menyaksikan pementasan teater tersebut, yakni tersedianya ruang bebrayan (Jawa) atau ruang bersama yang tidak menakutkan -tak ada kesenjangan antara pemain-penonton- dan mereka berada dalam satu wilayah yang sama pada rasa senasib sepenanggungan sebagaimana diucapkan para pemainnya dalam dialog.
Penonton seperti menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sedangkan, teater mewakili dirinya sendiri. Alhasil, dengan bebas mereka memberikan celetukan-celetukan ketika ada dialog/monolog yang menarik. Misalnya, ketika seorang pemain dengan lantang mengatakan bahwa ”Kalau kita ingin anak-anak kita jadi pe­gawai negeri, kita harus sediakan 30 sampai 50 juta untuk pelicin!” Maka, banyak pemuda yang merasakan langsung ketidakadilan itu spontan berteriak dengan keras, ”Betulll!!” Persoalan satu ini memang sedang jadi topik hangat di kalangan anak muda Papua.
Isu-isu lain seputar lingkungan, eksploitasi alam, ketidakadilan dalam pendidikan, hukum, ekonomi, miras (minuman keras), dan HIV/AIDS yang merajalela, peristiwa kekerasan serta berdarah, dan sebagainya coba dipaparkan melalui teater. Namun, sebetulnya pementasan tersebut juga ingin mengedepankan tokoh perempuan pendekar setempat bernama Angganetha yang gugur karena kegigihannya melawan penjajahan Jepang. Itu memang sebuah jenis teater pembebasan.

Teater perempuan yang bernama ”Orchide Papua Teater” ini merupakan yang pertama di tanah Papua. Ang­ganetha menjadi simbol perlawanan masyarakat setempat, terutama kaum perempuan, untuk berbicara masalah-masalah yang terjadi di Papua.
Semua pemain, kecuali pemusik, kebetulan memang para perempuan. Mereka adalah para aktivis gereja, warga jemaat yang menjadi korban kekerasan karena konflik dan mengalami trau­ma, seniman perempuan Biak, bahkan ada dua pendeta perempuan yang terlibat dan menjadi tokoh utama dalam teater tersebut. Semua pemain adalah orang-orang yang awam bermain teater. Dengan arahan sutradara Lena Simanjuntak, dalam tempo sekitar dua bulan, mereka yang sebelumnya diberi workshop mampu tampil menjadi pemain-pemain teater yang tak kalah andal dengan pemain teater profesional yang dididik bertahun-tahun dalam suatu padepokan teater mapan.
Lena Simanjuntak dalam hal ini berada di posisi sebagai mediator yang secara terus-menerus menggali, memancing, bertanya kepada semua yang ikut terlibat aktif agar mereka mampu mengungkapkan, menganalisis, membahas, menyarankan, memutuskan, serta merencanakan berbagai hal yang menyangkut dunia mereka sendiri.
”Teater diciptakan untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat tentang kehidupan dan situasinya,” demikian dikatakan Stella Adler, seorang pemain teater Amerika.
Pernyataan itu menjadi pas sebagaimana sedang dilakukan saat ini oleh Orchide Papua Teater. Kalau selama ini masyarakat Biak, baik yang tinggal di pantai maupun di gunung-gunung, telah memiliki berbagai budaya tari-tarian yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak -inilah jenis kesenian mereka yang sering dimainkan dalam berbagai kesempatan (penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing, dan dalam upacara adat)- kini mereka punya jenis kesenian ”baru” bernama teater. Teater tersebut menjadi sebuah media untuk memaparkan berbagai hal yang bertujuan akhir mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua. Keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian dalam masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya penghormatan akan hak-hak kehidupan manusia maupun alam. Dan, waktu untuk melakukan semua gerakan itu adalah sekarang.

”Faiman Indo”, demikian seruan ajakan dalam bahasa setempat yang berarti ‘’segera”, sekaranglah saatnya memulai sesuatu.
Para perempuan Biak yang tergabung dalam Orchide Papua barangkali mengingatkan kita pada sejarah awal teater dulu sekitar abad ke-5 SM. Saat itu, penulis bernama Aeschylus (525-456) menjadikan teater sebagai persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sedangkan, dalam kelompok teater Papua tersebut, seluruh pemain mempersembahkan teater itu untuk memohon kepada dewa-dewa lain, yakni elite penguasa agar lebih manusiawi dan tidak berlaku sewenang-wenang. Tak heran, kelompok tersebut tak menganggap gedung kesenian sebagai satu-satunya tempat pertunjukan, namun -sebagaimana yang mereka lakukan selama beberapa hari itu- mereka juga main di halaman gereja, di depan pasar, di pantai, dan lain-lain.
Ini memang bentuk teater sebagai media pendidikan populer -sebagaimana ajaran pendidik Brazil Paulo Freire- yang melihat pendidikan sebagai hal membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya. Media pendidikan bertujuan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama dan membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Sebetulnya, hal itu diperkenalkan pertama oleh Bertolt Brech, penyair, dramawan, sutradara teater Jerman. Namun, pertunjukan tersebut baru dipentaskan seabad kemudian, tepatnya pada ‘70-an oleh Augusto Boal di Amerika Latin dalam konteks pembebasan. Boal (yang juga teman baik Freire) memelopori suatu eksperimen teater yang dimulai dengan me­libatkan kaum tertindas, rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh, dan orang-orang jalanan. Pada Lena Simanjuntak, teater pem­bebasan tersebut dalam penerapan artistiknya disesuaikan dengan identitas tempat masyarakat itu berasal.

Bentuk itu banyak dikembangkan di Jogjakan pada era Teater Dinasti tahun ‘70-an. Mereka me­libatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian yang sedang terjadi di masyarakat. Kelompok teater tersebut konsisten pada pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Penulis-penulis lakonnya, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon H.T., Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mereka juga mementaskan naskah karya Kuntowijoyo dan Arifin C. Noer. Setelah Dinasti, disusul Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik yang melakukan pertunjukan dengan visi yang sama.

Di Indonesia, Lena Simanjuntak yang melakukan hal itu sejak 1999 dengan fokus pada perempuan terpinggirkan – mulai PSK (pekerja seks komersial), perempuan korban konflik (di Aceh dan Poso), pembantu rumah tangga, kaum buruh, hingga para pengungsi- menceritakan, tak sedikit dirinya mendapatkan cap sebagai teater pesanan LSM. Itulah memang stempel yang akan ditudingkan bagi teater jenis satu ini. Barangkali, itu merupakan sinisme yang dikembangkan oleh sistem Orde Baru. Sebab, kesenian kritis dikhawatirkan menciptakan kondisi sosial politik yang demokratis. Itulah sebabnya, kesenian yang bebas dikebiri, meski kini pengekangan relatif sudah lebih longgar.
Dalam situasi yang terasa lebih demokratis itulah, Orchide Papua Teater menyuarakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya dan terlebih lagi menyampaikan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian. Semua pemain tampak bergairah main dari satu tempat ke tempat lain hingga melintasi lautan. Padahal, mereka adalah ibu-ibu yang meninggalkan anak dan suami di rumah, awin-awin (nenek-nenek) yang meninggalkan cucu-cucu, para pelajar yang harus izin tidak bersekolah, atau pendeta yang harus mening­galkan jemaatnya. Mereka penuh semangat melakukan kerja (baca: tugas, perjuangan) teater itu sebagaimana tebersit dalam lagu yang dinya­nyikan pada akhir pementasan:
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua…
Biar nanti langit terbelah, aku Papua…
Setiap kali lagu itu terdengar, penonton seperti tertegun. Lalu, pada akhir pementasan -mengingatkan kepada penonton di bioskop-bioskop zaman dulu- banyak di antara mereka, terutama para perempuan, yang meninggalkan ”ruangan” sambil mengusap mata sedih dan terharu. Ada sesuatu yang telah menyentuh mata batin mereka. Kalau saja pementasan itu juga banyak dihadiri para petinggi yang menjadi tujuan mereka bersuara, barangkali akan ada kisah baru di tanah Papua yang diceritakan dalam lagu, sungainya mengalirkan emas… (*)
*) Penyair, tinggal di Bumi Prayudan Magelang, pernah menerima anugerah Sastra Katulistiwa. Pada 2009 bersama suaminya, pelukis Andreas Damtoz, mendapatkan beasiswa selama empat bulan dari Yayasan Heinrich Böll di Koeln, Jerman.

Sekumpulan perempuan berbalut pakaian rumbai-rumbai dari kulit pohon (saly) dan tas di kepala (noken) meratap sedih sambil menari-nari. Genderang tifa, triton, dan sejumlah alat musik tradisional menyihir suasana menjadi pilu. Seorang di antara pemain dengan suara lengking dan terasa menyayat menyanyikan syair neno, neno, nene, wadoi kwonso sup ineno / yore mamo mamo / wadoi kwonso sup mambesak / sup ineno // neno, neno, nene, manseren nanggi, wado i / kwonso papua sup ineno / yoro mamo mamo wadoi / kwonso nona papua sup ine (Ya Tuhan, turunlah dan tinggal bersama kami di negeri mambesak ini, Tuhan Langit, berkati negeri Papua serta kekayaannya). Saat itu, ikon yang menjadi hero mereka, Angganetha, akan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang.

Begitulah cuplikan pementasan teater perempuan Orchide Papua Teater di beberapa panggung kesenian dan arena terbuka lain di Biak dan Jayapura pada 30 Juli-7 Agustus 2010. Nyanyian dan tarian dengan panah dan busur khas masyarakat Biak Numfor yang disebut Wor mewarnai pertunjukan tersebut. Meski itu tampak khas, ada yang lebih menarik, terutama bagi para penonton yang rata-rata belum pernah menyaksikan pementasan teater tersebut, yakni tersedianya ruang bebrayan (Jawa) atau ruang bersama yang tidak menakutkan -tak ada kesenjangan antara pemain-penonton- dan mereka berada dalam satu wilayah yang sama pada rasa senasib sepenanggungan sebagaimana diucapkan para pemainnya dalam dialog.
Penonton seperti menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Sedangkan, teater mewakili dirinya sendiri. Alhasil, dengan bebas mereka memberikan celetukan-celetukan ketika ada dialog/monolog yang menarik. Misalnya, ketika seorang pemain dengan lantang mengatakan bahwa ”Kalau kita ingin anak-anak kita jadi pe­gawai negeri, kita harus sediakan 30 sampai 50 juta untuk pelicin!” Maka, banyak pemuda yang merasakan langsung ketidakadilan itu spontan berteriak dengan keras, ”Betulll!!” Persoalan satu ini memang sedang jadi topik hangat di kalangan anak muda Papua.
Isu-isu lain seputar lingkungan, eksploitasi alam, ketidakadilan dalam pendidikan, hukum, ekonomi, miras (minuman keras), dan HIV/AIDS yang merajalela, peristiwa kekerasan serta berdarah, dan sebagainya coba dipaparkan melalui teater. Namun, sebetulnya pementasan tersebut juga ingin mengedepankan tokoh perempuan pendekar setempat bernama Angganetha yang gugur karena kegigihannya melawan penjajahan Jepang.

Itu memang sebuah jenis teater pembebasan. Teater perempuan yang bernama ”Orchide Papua Teater” ini merupakan yang pertama di tanah Papua. Ang­ganetha menjadi simbol perlawanan masyarakat setempat, terutama kaum perempuan, untuk berbicara masalah-masalah yang terjadi di Papua.
Semua pemain, kecuali pemusik, kebetulan memang para perempuan. Mereka adalah para aktivis gereja, warga jemaat yang menjadi korban kekerasan karena konflik dan mengalami trau­ma, seniman perempuan Biak, bahkan ada dua pendeta perempuan yang terlibat dan menjadi tokoh utama dalam teater tersebut. Semua pemain adalah orang-orang yang awam bermain teater. Dengan arahan sutradara Lena Simanjuntak, dalam tempo sekitar dua bulan, mereka yang sebelumnya diberi workshop mampu tampil menjadi pemain-pemain teater yang tak kalah andal dengan pemain teater profesional yang dididik bertahun-tahun dalam suatu padepokan teater mapan.

Lena Simanjuntak dalam hal ini berada di posisi sebagai mediator yang secara terus-menerus menggali, memancing, bertanya kepada semua yang ikut terlibat aktif agar mereka mampu mengungkapkan, menganalisis, membahas, menyarankan, memutuskan, serta merencanakan berbagai hal yang menyangkut dunia mereka sendiri.
”Teater diciptakan untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat tentang kehidupan dan situasinya,” demikian dikatakan Stella Adler, seorang pemain teater Amerika.
Pernyataan itu menjadi pas sebagaimana sedang dilakukan saat ini oleh Orchide Papua Teater. Kalau selama ini masyarakat Biak, baik yang tinggal di pantai maupun di gunung-gunung, telah memiliki berbagai budaya tari-tarian yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak -inilah jenis kesenian mereka yang sering dimainkan dalam berbagai kesempatan (penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing, dan dalam upacara adat)- kini mereka punya jenis kesenian ”baru” bernama teater. Teater tersebut menjadi sebuah media untuk memaparkan berbagai hal yang bertujuan akhir mengangkat derajat, martabat, dan harkat orang Papua. Keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian dalam masyarakat hanya bisa dicapai dengan adanya penghormatan akan hak-hak kehidupan manusia maupun alam. Dan, waktu untuk melakukan semua gerakan itu adalah sekarang. ”Faiman Indo”, demikian seruan ajakan dalam bahasa setempat yang berarti ‘’segera”, sekaranglah saatnya memulai sesuatu.
Para perempuan Biak yang tergabung dalam Orchide Papua barangkali mengingatkan kita pada sejarah awal teater dulu sekitar abad ke-5 SM. Saat itu, penulis bernama Aeschylus (525-456) menjadikan teater sebagai persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Sedangkan, dalam kelompok teater Papua tersebut, seluruh pemain mempersembahkan teater itu untuk memohon kepada dewa-dewa lain, yakni elite penguasa agar lebih manusiawi dan tidak berlaku sewenang-wenang. Tak heran, kelompok tersebut tak menganggap gedung kesenian sebagai satu-satunya tempat pertunjukan, namun -sebagaimana yang mereka lakukan selama beberapa hari itu- mereka juga main di halaman gereja, di depan pasar, di pantai, dan lain-lain.
Ini memang bentuk teater sebagai media pendidikan populer -sebagaimana ajaran pendidik Brazil Paulo Freire- yang melihat pendidikan sebagai hal membebaskan rakyat dari keadaan yang menindasnya. Media pendidikan bertujuan untuk mempelajari permasalahan yang ada secara bersama-sama dan membuat rakyat tidak dililit ketergantungan. Sebetulnya, hal itu diperkenalkan pertama oleh Bertolt Brech, penyair, dramawan, sutradara teater Jerman. Namun, pertunjukan tersebut baru dipentaskan seabad kemudian, tepatnya pada ‘70-an oleh Augusto Boal di Amerika Latin dalam konteks pembebasan. Boal (yang juga teman baik Freire) memelopori suatu eksperimen teater yang dimulai dengan me­libatkan kaum tertindas, rakyat miskin yang tinggal di daerah kumuh, dan orang-orang jalanan. Pada Lena Simanjuntak, teater pem­bebasan tersebut dalam penerapan artistiknya disesuaikan dengan identitas tempat masyarakat itu berasal.
Bentuk itu banyak dikembangkan di Jogjakan pada era Teater Dinasti tahun ‘70-an. Mereka me­libatkan penonton dalam pertunjukan dengan mengangkat tema keseharian yang sedang terjadi di masyarakat. Kelompok teater tersebut konsisten pada pilihan sikap kepedulian sosial dan budaya. Penulis-penulis lakonnya, antara lain, Emha Ainun Nadjib, Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, Simon H.T., Yama Widura, dan Agus Istiyanto, di samping mereka juga mementaskan naskah karya Kuntowijoyo dan Arifin C. Noer. Setelah Dinasti, disusul Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan Teater Gandrik yang melakukan pertunjukan dengan visi yang sama.

Di Indonesia, Lena Simanjuntak yang melakukan hal itu sejak 1999 dengan fokus pada perempuan terpinggirkan – mulai PSK (pekerja seks komersial), perempuan korban konflik (di Aceh dan Poso), pembantu rumah tangga, kaum buruh, hingga para pengungsi- menceritakan, tak sedikit dirinya mendapatkan cap sebagai teater pesanan LSM. Itulah memang stempel yang akan ditudingkan bagi teater jenis satu ini. Barangkali, itu merupakan sinisme yang dikembangkan oleh sistem Orde Baru. Sebab, kesenian kritis dikhawatirkan menciptakan kondisi sosial politik yang demokratis. Itulah sebabnya, kesenian yang bebas dikebiri, meski kini pengekangan relatif sudah lebih longgar.
Dalam situasi yang terasa lebih demokratis itulah, Orchide Papua Teater menyuarakan problem-problem yang dihadapi masyarakatnya dan terlebih lagi menyampaikan semangat pembebasan terhadap penindasan rakyat kecil, hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian. Semua pemain tampak bergairah main dari satu tempat ke tempat lain hingga melintasi lautan. Padahal, mereka adalah ibu-ibu yang meninggalkan anak dan suami di rumah, awin-awin (nenek-nenek) yang meninggalkan cucu-cucu, para pelajar yang harus izin tidak bersekolah, atau pendeta yang harus mening­galkan jemaatnya. Mereka penuh semangat melakukan kerja (baca: tugas, perjuangan) teater itu sebagaimana tebersit dalam lagu yang dinya­nyikan pada akhir pementasan:
Hitam kulit keriting rambut, aku Papua…
Biar nanti langit terbelah, aku Papua…
Setiap kali lagu itu terdengar, penonton seperti tertegun. Lalu, pada akhir pementasan -mengingatkan kepada penonton di bioskop-bioskop zaman dulu- banyak di antara mereka, terutama para perempuan, yang meninggalkan ”ruangan” sambil mengusap mata sedih dan terharu. Ada sesuatu yang telah menyentuh mata batin mereka. Kalau saja pementasan itu juga banyak dihadiri para petinggi yang menjadi tujuan mereka bersuara, barangkali akan ada kisah baru di tanah Papua yang diceritakan dalam lagu, sungainya mengalirkan emas… (*)

*) Penyair, tinggal di Bumi Prayudan Magelang, pernah menerima anugerah Sastra Katulistiwa. Pada 2009 bersama suaminya, pelukis Andreas Damtoz, mendapatkan beasiswa selama empat bulan dari Yayasan Heinrich Böll di Koeln, Jerman.