Beranda Advertorial Thom Beanal dan Perjuangan Damai

Thom Beanal dan Perjuangan Damai

608
Thomas Ch. Syufi Koordinator POHR. (Foto: Dok pribadinya)

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Papua telah kehilangan salah seorang putra terbaiknya, ia adalah Thom Beanal. Thom, sapaan populernya, menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Mounth Elizabeth Singapura, 29 Mei 2023, pada pukul 16. 35 waktu Papua. Namun, kepergian Thom cukup menyita banyak perhatian sekaligus menyisakan duka yang mendalam bagi berbagai kalangan, baik pers, sahabat sekolah, rekan seperjuangan, dan segenap masyarakat Papua.

Tidak heran, ketika saya mengikuti kegiatan Papuan Bridge Program (PBP) Batch V PT. Freeport Indonesia di Nemangkawi, Kuala Kencana, Maret-Juni 2013, dalam suatu kesempatan sekitar bulan Mei di hari Minggu siang, setelah mengikuti Misa di Gereja Katedral Tiga Raja Timika, saya menyempatkan diri sowan ke rumah pribadi Thom Beanal di Jalan Iwaka, Kuala Kencana, Mimika, Papua, setelah saya menelepon seorang sahabat, Eli Ramos Petege di Port Numbay (Jayapura) untuk memberitahu alamat rumah tokoh kaliber Papua yang saya mengidolakannya di masa kecil bersama Kelly Kwalik yang juga berasal dari Amungme seperti Thom.

Setibanya saya di rumah Thom siang itu sekitar pukul 12. 00 Waktu Papua, tampak Thom tengah sakit terkapar di ranjang (tempat tidur) dan sedang dilayani dengan doa dan diberikan hosti oleh seorang Pastor Fransiskan (OFM), kalau tidak salah nama pastornya Gregorius (saya lupa). Saat itu, saya tidak bisa bercerita dengan Thom, karena ia sedang dilayani pastor dan memang sakitnya serius hingga tidak bisa bicara atau bercerita, jadi saya hanya buka obrolan dengan “Mama Beanal” (istri dari Bapa Thom) yang senantiasa menemani dalam kesakitannya. Setelah itu, saya pun pamit untuk pulang ke mess di Nemangkawi. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi bertemu atau mengikuti perkembangan Thom hingga mendengar kabar terakhir bahwa penggagas sekaligus ketua umum pertama Dewan Adat Papua (DAP) itu telah berpulang ke dalam kedamaian abadi di penghujung “Bulan Rosario”, 29 Mei 2023.
Namun, sebelumnya saya sendiri pertama mengetahui nama seorang tokoh nasionalis Papua berhauluan moderat, juga pendiri sekaligus Ketua Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) sejak tahun 1996 itu saat masih sekitar di kelas V (lima) sekolah dasar. Ketika itu, di depan sampul buku rapor saya dari koran TIFA IRIAN terpajang gambar foto Thom Beanal dan masih terbesit dalam benak saya judul dari gambar tersebut adalah kritik Thom Beanal terhadap operasi tambang emas PT Freeport Indonesia di Timika, Irian Jaya (Papua). Sayang, elaborasi secara detail dari pernyataan mantan anggota DPRD Fakfak itu saya tidak ingat, lupa.

Setelah terjadi perubahan arus politik nasional yang ditandai momentum jatuhnya diktator Orde Baru, Soeharto dari tampuk kekuasaan presiden yang digenggamnya selama 32 tahun (1966-21 Mei 1998), membawa atmosfer kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Papua untuk menyatakan sikap dan menyampaikan aspirasi politik kemerdekaan Papua secara terbuka dan damai kepada pemerintah Indonesia di Jakarta. Di situlah nama Thom semakin menggaung dan membahana karena ia sebagai salah satu ikon perjuangan yang kerap disebut-sebut oleh masyarakat umum seiring riak politik Papua merdeka yang saat itu kian mengkristal dan mengalami masa kembangkitan setelah sejak tahun 1960an ditutup rapat-rapat oleh Orde Lama (Soekarno) hingga rezim despotis Orde Baru (Soeharto).

Pada sekitar tahun 2006, saya juga mengikuti acara peresmikan Kantor Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberay di Jalan Pahlawan, Manokwari oleh Thom Beanal, sebagai ketua umum Dewan Adat Papua (DAP). Saat itu,ia juga membagikan sejumlah buku karya Profesor Pieter J. Drooglever (2005) berjudul, “Een Daad van Vrije Keuze/Act of Free Choice”- Tindakan Bebas Memilih atau dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, kepada para tamu, undangan, dan masyarakat umum yang menghadiri acara peresmian tersebut.
Thom Beanal sebagai salah satu eksponen gerakan kemerdekaan Papua yang cukup getol dan berani menyuarakan kehendak mayoritas rakyat Papua itu kepada pemerintah Indonesia di Jakarta, termasuk kepada masyarakat internasional, baik di Pasifik, Kongres Amerika, Parlemen Uni Eropa, hingga sekretarit Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui keputusan kolektif Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (Foreri) di Jayapura, Papua, pada awal reformasi, Thom dipercayakan menjadi ketua delegasi Papua yang diberi nama “Tim 100” yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat Papua di seluruh Indonesia, seperti unsur pemuda, mahasiswa, perempuan, cendekiawan/intelektual, adat, dan agama untuk berdialog dengan Presiden BJ Habibie di Jakarta pada 26 Februari 1999.
Pada kesempatan itu, mewakili “Tim 100” tampil di hadapan Presiden RI, B. J. Habibie, secara terbuka Thom menyampaikan kerinduan dan kehendak kolektif rakyat Papua kepada pemeritah Indonesia melalui B. J. Habibie untuk segera mengembalikan hak kedaulatan politik rakyat Papua atau mengakui kemerdekaan Papua, 1 Desember 1961. Namun, pada kesempatan tersebut, Habibie tidak secara gamblang memberikan jawaban yang pasti, ia hanya menjawab kepada Tim 100, “Pulang dan Renungkan”!
Tidak sampai di situ. Sepulang dari Jakarta, “Tim 100” menindaklanjuti hasil dialog nasional dengan Presiden B. J. Habibie tersebut, dengan menyosialisasikan ke seluruh pelosok Tanah Papua. Dari hasil sosialisasi itu dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) rakyat Papua pada 23-26 Februari 2000 di Gedung Olahraga (GOR) Cenderawasih, Jayapura. Lalu dalam Mubes direkomendasikan untuk digelar Kongres Rakyat Papua II yang dilangsungkan pada 29 Mei-4 Juni 2000 di tempat yang sama, dan melahirkan kendaraan politik bernama Presidium Dewan Papua (PDP).

Kongres yang diizinkan dan didanai 1 miliar rupiah oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dengan dihadiri sedikitnya 5.000 peserta dari semua pelosok Papua, itu membicarakan secara terbuka tentang perlunya penuntasan distorsi sejarah Papua. Juga membahas pentingnya untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua serta pengabaian hak-hak dasar, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Papua.
Saat itu juga, Ondofolo Theys Hiyo Eluay, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Irian Jaya terpilih sebagai Ketua PDP, Thom Beanal, Ketua Lemasko sekaligus Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) terpilih sebagai co-pilot (Wakil Ketua PDP), Thaha Moh. Alhamid (Sekjen PDP), Agus A Alua (Wakil Sekjen PDP), Pdt. Herman Awom, S. Th (Moderator PDP), Dr. Benny Giay (Wakil Moderator PDP), dan Willy Mandowen (Mediator PDP Dalam Negeri) dan Fransalbert Joku (Moderator PDP Luar Negeri).
Setelah terbentuknya kendaraan politik PDP dengan kelengkapan strukturnya, PDP menetapkan langkah dan mengepakkan sayap perjuangan selanjutnya ke berbagai penjuru, baik Jakarta, Pasifik, Uni Eropa, Kongres Amerika, dan PBB. Dengan satu tumpuan, PDP memperjuangkan aspirasi politik rakyat Papua secara damai dan bermartabat. PDP berkomitmen untuk memperjuangkan hak dan martabat rakyat Papua dengan jalan politik dan diplomasi damai, yaitu mengedepankan pendekatan dialog dan pelurusan sejarah alias perjuangan tanpa kekerasaan (non-violent).
Namun, baru berkiprah setahun, Ketua PDP Theys Hiyo Eluay dibunuh oleh TNI (Komando Pasukan Khusus/Kopassus) pada 10 November 2001 di alun-alun Kota Jayapura, dan Thom didapuk menggantikan They sebagai Ketua PDP. Atas amanat itu, Thom menjadi primus interpares (pertama di antara yang sama) di tubuh PDP, ia pun mulai gencar melebarkan sayap perjuangan ke berbagai negara dan lembaga internasional, seperti Uni Eropa, Asia, Amerika, PBB, dan Oseania, terutama lawatannya ke negara-negara Pasifik, termasuk mengunjungi Vanuatu.

Thom melakukan lobi-lobi dengan menggalang dukungan internasional, termasuk PBB guna mendesak pemerintah Indonesia membuka ruang dialog dan dilakukan klarifikasi terhadap distorsi sejarah penyatuan Papua ke dalam Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang masih diperdebatkan oleh mayoritas rakyat Papua hingga sekarang.
Thom juga pernah bersama Thaha Alhamid, Willy Mandowen, Terianus Yoku, dan Socrates Sofyan Yoman berangkat ke Amerika bertemu para anggota Kongres Amerika untuk meminta dukungan atas hal yang sama, yakni Kongres membantu mendesak pemerintah Indonesia membuka diri untuk berdiaog dengan rakyat Papua. Jelas, dari semua perjuangan Thom ini memperlihatkan bahwa ia ingin agar masalah Papua harus diselesaikan dengan cara-cara damai dan penuh kasih, meski itu lambat menurut perspektif perjuangan sebagian kelompok angkatan muda yang lebih militan, revolusioner, agresif, dan progresif.
Tentu, kelompok angkatan muda berpandangan bahwa perjuangan Papua tidak hanya dengan cara-cara damai yang konservatif (melihat perang sebagai kelanjutan dari diplomasi dan dialog yang gagal), tetapi juga bisa ditempuh melalui jalan lain, termasuk gencatan senjata (perang ) sebagai jalan pamungkas untuk memaksa Jakarta membuka ruang dialog dan negoisiasi, juga mempercepat cita-cita revolusi. Mungkin karena mereka berkiblat pada postulat si vis pacem para bellum, jika menginginkan perdamaian, siapakan perang. Atau meminjam William Gladstone (1809-1898), mantan Perdana Menteri Britania Raya: “…justice delayed is justice denied” (keadilan yang datang terlambat sama dengan tidak ada keadilan). Padahal, Immanuel Kant telah mengingatkan, jika keadilan binasa, kehidupan manusia di bumi telah kehilangan maknanya, atau dalam pandangan Plato bahwa keadilan, kebenaran, kebebasan, itulah pangkal dari kebahagiaan. Maka, mungkin pilihan perang bagi angkatan muda Papua bukan tindakan eigenrichting (main hakim sendiri), tetapi sebagai bentuk right of self-defense/ noodweer (membela diri terpaksa/ overmacht) untuk mempertahankan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kebebasan tersebut. Juga perang sebagai langkah preventif dan penyelamatan terhadap sisa-sisa jiwa manusia Papua yang masih hidup sebelum menuju proses genosida, permusnahan massal (massacre).
Namun, Thom sebagai exemplary figure (sosok panutan) yang bijaksana memperhitungkan secara matang semua ekses baik dan buruk dari sebuah perjuangan dengan kekerasan. Karena jalan kekerasaan hanya akan menggerus martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, serta memorakporandakan segala sendiri-sendiri kehidupan, termasuk mengorbankan warga sipil, baik pribumi maupun non-pribumi yang tidak tahu menahu tentang konflik dan perang.

Ibu-ibu dan anak-anak bakal menjadi korban kekerasan, mereka akan terusir dari kampung halamannya, pergi meninggalkan ternak dan kebun serta dan anak-anak menelantarkan sekolahnya, rumah sakit ditutup, dan pelayanan penerbangan terhenti, sebagai konsekuensi dari perang. Semua itu akan menjadi bencana kemanusiaan yang lebih masif dan memperumit penyelesaian konflik, hingga rakyat Papua hanya menghabiskan waktu untuk mengurus konflik dan menghitung jumlah daftar korban yang berjatuhan, tanpa menikmati keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan yang menjadi tumpuan utama hidup manusia.
Thom tampak lembut dan santun dalam berkomunikasi dengan semua pihak, baik pejabat pemerintah, para politisi, pejabat kepolisian (Polri) maupun TNI, termasuk berbaik terhadap sesama aktivis perjuangan, entah internal PDP dan faksi-faksi perjuangangan lainnya, juga lintas suku-suku di Papua: gunung-pantai, timur, barat, utara, dan selatan. Thom memang seorang pejuang Papua yang konsisten namun inklusif dan lunak dalam menjalin hubungan dan komunikasi dengan siapa pun, termasuk lawan-lawan politiknya. Sikapnya itu mengingatkan kita pada pesan kekristenan dari Claudio Acquaviva, seorang Jesuit abad ke-XVI: “Fortiter in re, suaviter in modo (tegas dalam prinsip, lembut dalam cara) dalam memperjuangkan bonum commune, kebaikan bersama, atau keselamatan umum (salus publicum) yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kebebasan yang dianutnya.
Sebagaimana terlihat gambar dalam koran Timika Pos, 4 Desember 2000, di tengah-tengah pejabat dan aparat kepolisian serta kerumunan masyarakat, Thom menyeruak agar masyarakat Papua jaga ketertiban dan ketentraman di seluruh Tanah Papua. “Thom Beanal: PDP imbau masyarakat jaga ketentraman,” tulis Timika Pos. Selain itu, Thaha Moh. Alhamid yang juga rekan Thom di Presidium Dewan Papua (PDP) ikut mengengang sebagai salah satu sosok pejuang Papua yang anti-kekerasan dan kepergiannya meninggalkan duka yang dalam bagi orang Papua. “Tapi yang perlu diingat adalah beliau (Thom) anti-kekerasan, beliau sangat menolak cara berjuang dengan kekerasan,” kata Thaha, Cenderawasih Pos, Rabu (31/5/2023). Menurut Thaha, meski perjuangan Thom untuk menegakan keadilan, kebebasan, perdamaian, dan kemanusiaan untuk Papua tidak sejalan dengan kepentingan NKRI, tetapi ia sangat menentang perlawanan yang menggunakan kekerasan. “Tidak penting soal ideologi yang diyakini (Thom) sebab perjuangannya penuh damai,” kata politisi Papua asal Fakfak ini.
Bagi Thom, hak asasi dan martabat kemanusiaan orang Papua dapat dihormati, dilindungi, dan dipenuhi hanya melalui proses yang damai dan bermartabat pula meski keadilan semakin terdesak (terjepit). Alumnus Akademi Teologi Katolik (ATK) atau sekarang Sekolah Tinggi Filsafa Teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura, Jayapura angkatan pertama itu berpendirian bahwa dengan kelembutan, sopan, dan santun, ia melawan ketidakadilan di Tanah Papua, tentu kebenaran akan berpihak padanya, karena kebenaran itu tak pernah ganda, mendua, juga tak berbohong. Bahkan, tragedi yang kemudian direkayasa menjadi komedi, akan digugurkan oleh kebenaran pada jalannya sendiri. “Politik kasih dan damai menjadi roh dalam seluruh perjuangan hidup Thom Beanal,” kata Markus Haluk, salah satu tokoh Papua yang turut menghadiri upacara pemakaman Thom Beanal di Timika, Suara Papua , Sabtu (3/6/ 2023).
Karena menurut Thom, kekerasan hanya akan menambah daftar panjang kekerasan baru yang menghapus seni kehidupan dan menjauhkan kemampuan para pihak untuk mewujudkan visi Papua tanah damai. Itulah politik bermartabat ala Thom Beanal dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kemanusiaan, dan perdamaian di Tanah Papua tanpa menciptakan sungai darah. Ia telah menghibahkan hidupnya sejak usia muda hingga sepuh dan akhir hayatnya demi memperjuangkan tegaknnya harkat dan martabat orang Papua yang sekian lama tenggelam dalam lumpur budaya bisu dan terimpit oleh tangga ketidakadilan. Meski ia bersama keluargnya kerap kali menuai hinaan, cemoohan, teror demi teror, bahkan ancaman pembunuhan, namun semua itu tidak menciutkan nyali dan mengurungkan komitmen perjuangannya untuk masa depan orang Papua yang lebih menjanjikan, yaitu terwujudnya keadilan, kebebasan, dan perdamaian sejati.
Pejuang heroik.

Thom Beanal adalah seorang pejuang yang heroik. Ia memiliki sikap berani dan konsistensi dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan bagi Papua hingga akhir hayatnya. Di akhir-akhir masa hidup atau belasan tahun terakhir (2011-2023) Thom begitu tidak nampak atau muncul di ruang publik untuk bersuara dan berjuang atas amanat rakyat Papua yang diembannya sebagai Ketua PDP menggantikan Theys Hiyo Eluay (alm), karena faktor kesehatan yang membuat ia lumpuh sekaligus melumpuhkan segala aktivitas politiknya sebagai pemimpin bangsa Papua.
Namun, kondisi kesehatan yang tidak menguntungkan tersebut tidak membuat nyali Thom ciut atau memupuskan spirit nasionalisme dan patriotrismenya untuk Papua. Ia tidak pernah secara eksplisit menyatakan berhenti dan menyerah, dengan mengembalikan amanat rakyat Papua yang disematkannya, karena ia tak berdaya lagi untuk menjalankan amanat tersebut. Tetapi, Thom memiliki ekspektasi bahwa tubuh dan fisiknya boleh menjerit kesakitan di ranjang penderitaan, tetapi jiawanya tetap hidup dan terus berkobar untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan, perdamaian, dan kemanusiaan Papua.
Misalnya, sekitar tahun 2008, sekelompok mahasiswa yang melakukan demonstrasi di Merpati, depan Kantor Pos Abepura, Jayapura, lalu memajang sebuah tulisan dalam spanduk dengan tuntutan meminta aparat kemananan segera menangkap Thom Beanal, Thaha Alhamid, dan kawan-kawan yang merupakan penanggungjawab politik rakyat Papua, sebagai bargaining politik untuk negosiasi antara Jakarta dan Papua. Sebagaimana dimuat dalam satu berita di headline koran Cenderawasih Pos, yang mengulas tuntan mahasiswa tersebut dan tanggapan Thom yang diwawancara melalui sambungan telepon dari Timika. “Saya (Thom) menghormati tuntutan adik-adik mahasiswa tersebut, yang penting apa yang disapirasikan adalah murni dari mahasiswa, jangan diboncengi (ditunggangi) oleh kepentingan luar atau orang-orang tertentu, dan perlu saya tegaskan bahwa saya (PDP) sudah diberikan mandat oleh rakyat Papua dan saya tetap bertanggungjawab untuk terus memimpin perjuangan ini hingga Papua merdeka,” kata mantan pastor awam Katolik (1971-1991) kelahiran Tsinga, Tembagapura, 11 Agustus 1947 itu.

Selain itu, pada April 1996, Thom Beanal bersama “Mama” Yosepha Alomang mewakili Suku Amungme melakukan gugatan perwakilan (class action) terhadap Freeport McMoRan Copper and Gold Inc) di Pengadilan Federal, New Orleans, Amerika Serikat. Ada pun dalil-dalil gugatan, antara lain, pelanggaran hak asasi manusia, perusahan lingkungan, dan pembasmian budaya.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa Thom tidak hanya sebagai seorang sosok pemimpin, tetapi juga seorang pejuang sejati yang memiliki tanggungjawab patriotik yang luhur dan mempunyai rasa tanggungjawab yang mendalam (a deep sense of responsibility) terhadap pilihan hidupnya, terutama menyelesaikan tugas amanat penderitaan rakyat Papua. Thom menghabiskan usia mudanya untuk memperjuangkan keluhuran martabat manusia, hakikat sosial dari kemanusiaan, kesejahteraan bersama, dan subsidaritas (sebuah prinsip yang memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi dalam proses penyembuhan masyarakat dari krisis).
Mungkin segala ikhtiar perjuangan itu bersumber pada prinsip Thom bahwa ia memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai dan bermartabat adalah bagian dari merealisaiskan amanat dari alinea ke-4 preamble (pembukaan) UUD 1945, yaitu: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Juga ia memperjuangkan kemerdekaan Papua merupakan bagian dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang secara politik internasional terus ditekan oleh dunia karena masalah pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.
Memang, Thom meninggalkan legacy perjuangan damai, penuh kasih, mencintai sesama, dan menghormati martabat setiap manusia, perlu dijunjung dan diteruskan. Thom memiliki multitalenta, entah sebagai pemimpin politik, pejuang keadilan, kebebasan, perdamaian, dan kemanusiaan, pemimpin masyarakat adat, aktivis lingkungan, serta sebagai seorang mentor, guru, bapak, cendekiawan, dan mantan pastor awam. Dari rekam jejak dalam perjuangannya untuk kemanusiaan dan tanah air (pro hominis et patria) dengan cara-cara bermartabat: damai dan kasih, maka Thom layak disematkan sebagai pahlawan keadilan, perdamain, dan kemanusiaan Papua.
Karena jiwa pahlawan dan pemimpin sebagaimana diulas oleh Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam artikel opininya di harian Suara Pembaruan bertajuk “Dilema Kepahlawan Gus Dur” (2010). Bahwa kepahlawanan ditentukan oleh cita-cita luhur yang menjiwai seseorang, untuknya ia berjuang, menggunakan seluruh potensi, waktu, dan relasinya. Demi cita-cita itu, ia mengambil risiko: dilawan dan dikuculikan, dikejar dan dipenjara, dan bila harus terjadi, ia bersedia mati untuk cita-cita tersebut. Keyakinan dan obsesi yang mendalam pada cita-cita itu membuat seorang pahlawan menilai sekunder semua yang lain, termasuk kenyamanan hidup dan nyawanya sendiri. Sebab, itu kepahlawanan jarang ditemukan dalam diri seorang penguasa. Kepahlawanan adalah milik para pejuang.

Setiap masyarakat membutuhkan pemimpin formal dan informal. Pemimpin formal bertugas menjalankan jabatan publik dengan berbagai fasilitas legal, sementara wilayah pengaruh pemimpin informal adalah pikiran nurani warga dengan mengandalkan kewibawaan personal. Pemimpin formal dilahirkan melalui mekanisme kaderisasi yang berlaku dalam sebuah masyarakat, tetapi seorang pemimpin informal tumbuh karena kredibilitas pribadi. Meski ada beberapa keculian yang sangat jarang, umumnya kedua kepemimpinan ini terpisah.
Ketegasan Thom terhadap pemerintah Indonesia yang mempraktikkan ketidakadilan pelanggaran hak asasi manusia, serta membungkam ruang demokrasi dan anti-dialog pada satu masa ketika banyak pemimpin Papua bersikap pragmatis, apatis, dan menutup mulut karena takut ambil risiko atau karena berhasil dijinakkan dengan berbagai kemudahan, seperti jabatan, uang, Otonomi Khusus, dan pemekaran. Ini menjadi kekuatan penting yang menginspirasi dan menguatkan para pejuang keadilan, kebebasan, perdamaian, dan kemanusiaan di Tanah Papua ke depan.
Kalau Thom diberi galar pahlawan Thom karena pengorbanan dan perjuangannya yang tanpa kekerasan demi menegakkan harkat dan martabat orang Papua secara adil dan manusiawi, rakyat Papua menjadikannya sebagai figur yang sangat penting dalam sejarah bangsa Papua. Untuk keadilan, perdamain, dan kemanusiaan, Thom harus menanggung banyak risiko: difitnah, diumpat, diteror, diancam pembunuhan, bahkan diduga ia menderita sakit yang lama karena diracun. Seorang pahlawan pun boleh melakukan kekeliruan. Yang penting adalah konsistensi pada cita-cita dan amanat rakyat yang diembannya, untuknya ia hidup, dan kalau perlu ia pengorbankan hidupnya.
Itulah perjalanan panjang seorang Thom Beanal yang tak kenal lelah dan tak henti-hentinya memperjuangan nilai keadilan, kebebasan, perdamaian, dan kemanusiaan Papua. Berbagai pengorbanan Thom untuk Papua mengingatkan kita bahwa hidup itu sia-sia jika tidak bermakna (non est vivere sed valere vita est). Setiap orang dilahirkan sama sebagai manusia, tetapi karena jalan hidupnya yang akan menentukan siapa dia kelak, serta setiap karya dan amal baikanya akan menjadi memori yang indah bagi mereka yang hidup, seperti Beethoven lahir sebagai penulis musik (pencipta lagu), Michelangelo lahir sebagai pelukis, Pele lahir sebagai pemain sepakbola, dan Thom Beanal lahir sebagai pejuang keadilan dan kebebasan tanpa kekerasan yang menjadi seni terindah sekaligus warisan terpenting bagi generasi baru di Tanah Papua yang akan selalu dikenang dan diteruskan. Jika hidup tidak dimungkinkan, perjuangkanlah keadilan sebelum kematian.
Hal tersebut similar dengan ungkapan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, orator, advokat, dan negarawan zaman Romawi, “De mortius nil nisi bonum”—tentang orang yang mati—yang dikenang adalah hal-hal yang baik saja! Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggakan belang, dan manusia mati tinggalkan nama baik yang harum semerbak, bukan nama buruk yang tercemar! Selamat jalan Bapa Thom Beanal.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Advokat dan Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR).