Oleh Marius Goo *
Pasca-insiden rasial dan teror Ormas Reaksioner dan militer gabungan TNI/POLRI pada 16-18 Agustus 2019 di Asrama Papua Surabaya, rakyat Papua merasa kodrat kemanusiaannya dihina, diinjak-injak, bahkan disamakan dengan binatang yang namanya monyet. Saat itu diteriaki, “hei monyet-monyet Papua keluar, tinggalkan tanah Jawa”, bahkan ada yang diteriaki dengan yell-yell, “usir Papua sekarang juga”.
Rakyat Papua menanggapi secaraserius situasi ini dengan melakukan aksi-aksi protes, hampir di seluruh teritori tanah rakyat Papua Barat. Rakyat Papua tidak terima karena mereka dic
iptakan Allah segambar dengan-Nya sendiri. Ketidakterimaan rakyat Papua itu memperkuat menjadi satu-kesatuan dan mengambil sikap melawan. Dari stigma monyet yang dilabelkan, rakyat Papua monyet diambil sebagai lambang perlawanan. Sehingga dalam aksi-aksi menuntut dan mengusut kasus tersebut lambang dan yell-yell tentang monyet dipajang dan dinyanyikan hampir setiap kali aksi. Ada tiga tuntutan yang paling radikal dari aksi-aksi yang dilakukan orang Papua di setiap demonstrasi, ialah menuntu
t Gubernur Papua dan Papua Barat mengembalikan Garuda sebagai Lambang NKRI, meminta untuk memulangkan Mahasiswa Papua yang distigma sebagai monyet ke tanah air Papua Barat dan menuntut Pemerintah Indonesia untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri “Referendum”.
Gubernur Papua dan Papua Barat Mengembalikan Garuda
Aksi rasial yang terjadi di asrama Papua di Surabaya memperkuat nasionalisme bagi rakyat Papua yang selama ini dipendam dengan nama negaranya, Papua Barat. Orang Papua merasa martabat direndahkan dan sebagai yang distigmakan monyet merasa tidak cocok tinggal dengan NKRI. Ada banyak dalil-dalil pembenaran logis yang disampaikan kepada NKRI sebagai bukti bahwa rakyat Papua bukan monyet. Kalaupun demikian, dari situasi ini rasa nasionalisme rakyat Papua makin dikuatkan, bahkan hingga rakyat meminta untuk gubernur Papua dan Papua Barat mengembalikan Garuda ke NKRI karena Papua bukan bagian dari NKRI. Pencaplokan Papua dalam NKRI melalui New York Agreement tahun 15 Agustus 1962 dan PEPERA tahun 1969 dinilai sebagai cacat hukum dan HAM.
Rakyat Papua meminta gubernur mengembalikan Garuda kepada NKRI karena rakyat Papua distigma monyet dan monyet tidak layak tinggal bersama dan dalam kumpulan manusia. Orang Indonesia menstigma orang Papua monyet adalah termasuk gubernur Papua dan Papua Barat, karena mereka juga orang asli Papua. Kedua gubernur sebagai monyet tidak layak mengenakan Garuda NKRI yang diperuntukkan manusia. Maka rakyat Papua meminta untuk Garuda Indonesia dikembalikan kepada NKRI karena layaknya dipakai oleh NKRI sendiri sebagai manusia utama di bumi.
Pulangkan Mahasiswa Papua ke Tanah Air Papua
Selain rakyat menuntut mengembalikan Garuda NKRI, rakyat meminta dalam aksi-aksi untuk memulangkan Mahasiswa Papua yang distigma monyet, yang sedang mencari ilmu di luar Papua dipulangkan ke Papua.
Rakyat meminta gubernur Papua memulangkan mahasiswa Papua kembali ke tanah Papua, karena mereka sedang ada dalam situasi rasis, teror dan intimidasi. Pasca-rasial di Malang, Surabaya, Semarang dan di Makassar dikabarkan bahwa setiap cost dan asrama didatangi militer meminta keterangan data dan mengajak foto bersama, juga sirahturami bersama. Aksi “acara sirahturami bersama” dilaksanakan pasca rasial di Surabaya dan karena datangnya aksi protes dari rakyat Papua, karena sebelumnya tidak pernah terwujud. Di samping itu, militer melakukan berbagai kegiatan, aksi-aksi yang berujung pada pengalihan isu, untuk mempersalahkan mahasiswa sendiri, misalnya: mengajak makan bersama, sirahturami bersama, dll. Dalam usaha menyalahkan kembali mahasiswa Papua, dikabarkan polres Surabaya menemukan bom dalam asrama Papua di Surabaya. Diberitakan juga bahwa mahasiswa dan masyarakat di Surabaya aman dan damai, padahal mereka hidup dalam rasis, intimidasi dan teror. Dari bukti bahwa mahasiswa Papua yang distigma monyet yang sedang mencari ilmu di Jawa karena hidupnya tidak tenang, dalam tekanan dan penindasan, maka gubernur mengambil langkah secepatnya untuk memulangkan kembali ke Papua supaya sikap rasial itu tidak menjadi trauma dan luka batin yang tak terobati, karena mahasiswa Papua yang sedang kuliah di luar Papua adalah manusia, bukan binatang.
Memberikan hak menentukan nasib sendiri “Referendum”
Gubernur memulangkan mahasiswa kembali ke tanah air Papua berarti meminta pemerintah melakukan referendum. Mahasiswa Papua dipulangkan untuk melakukan referendum, menentukan nasib sendiri, sebagai pelurusan sejarah bangsa Papua yang dianggap cacat hukum dan HAM yang dilaksanakan melalui PEPERA tahun 1969.
PEPERA tahun 1969 dinilai pemaksaan NKRI untuk manusia Papua yang adalah monyet untuk bergabung dengan NKRI. Gubernur bersama seluruh rakyat Papua meminta untuk untuk melakukan referendum ulang untuk meluruskan sejarah kelabu di masa silam. Dengan referendum ulang, NKRI memupuk stabilitas keamanan dengan menentukan rakyat Papua memilih untuk tetap dengan NKRI atau harus membentuk negara sendiri, bangsa yang berdaulat.
Penulis adalah Mahasiswa Pasca-Sarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana pada Program Magister Filsafat*