Beranda Daerah Timnas Senegal dan Dukungan Masyarakat Papua

Timnas Senegal dan Dukungan Masyarakat Papua

466
0
Thomas Ch Syufi. (Foto: dok for papualives)

Oleh Thomas Ch Syufi*

Mengapa kebanyakan masyarakat, termasuk para aktivis Papua mendukung partisipasinya Tim Nasional sepakbola Negara Senegal di tiap even sepakbola piala dunia, termasuk Piala Dunia 2022 di Qatar yang dilangsungkan malam ini, 21 November 2022, yaitu Senegal melawan Belanda. Tentu ada kisahnya. Secara historis, hubungan Papua dan Senegal dimulai tahun 1960an, saat Papua mjd pertarungan berbagai pihak, baik Belanda, Indonesia, dan Amerika. Karena Belanda tak berdaya lgi atas tekanan AS untuk tidak memberikan hak kemerdekaan kpd rakyat Papua, tapi Belanda menyerahkan Papua kepada Administrasi Sementara PBB(UNTEA) tahun 1962 dan 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia. Dengan kondisi Belanda yang terjepit, rakyat Papua tidak punya cara lain untuk berjuang meminta dukungan, selain melakukan diplomasi ke negara-negara kulit hitam(satu ras) di Afrika dan Karibia yang disebut Blok Brazzaville(Afrika & Karibia). Pada tahun 1962, dua diplomat Papua, Nick Jouwe( atau Herman Wayoi) dan Simon Inuri terbang ke New York, AS, utk melakukan lobi dengan negara-negara kulit hitam tersebut. Pada kesempatan tersebut, rakyat di seluruh tanah Papua mengorganisir diri dan melakukan aksi demontrasi mendukung diplomasi itu. Misalnya, tanggal 26 April 1962, rakyat Papua di Manokwari tumpah ke jalan melakukan aksi demo damai mendukung negara-negara Blok Brazzaville(kulit hitam) untuk membantu menyuarkan keinginan bangsa Papua menjadi sebuah negara di forum PBB. Hal itu direspon positif oleh negara-negara kulit yg dimotori Sinegel. Di PBB mereka menolak Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang tidak melibatkan orang Papua dalam pembuatannya, termasuk masalah penyerahkan Papua ke Indonesia 1 Mei 1963, dan mendesak Belanda memberikan hak kemerdekaan kepada orang Papua. Namun, hal tersebut dipaksakan, hingga secara de facto Papua dimasukan ke Indonesia. Bahkan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) 1969 dinilai penuh rekyasa dan manipula karena pemilihan(plebisit) tidak dilakukan sesuai isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yakni One Man, One Women, One Vote(Satu Orang, Satu Suara), tetapi satu orang mewakili 1000 orang. Setelah melalui perdebatan yang sengit dan alot di PBB, hasil Pepera hanya dicatat oleh PBB karena mayoritas negara-negara di dunia, terutama negara-negara Afrika dan Karibia menolak hasil Pepera 1969 di Papua karena dinilai ilegal dan cacat moral.

Tidak terputus. Pada tahun 1974, secara resmi pemerintah Senegal mengizinkan dan mendukung penuh dibukanya Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Dakar, ibu kota Senegal, dengan Duta Besar atau Kepala Perwakilan OPM, Mr Ben Tanggahma(ayahanda dari Leoni Tanggahma, bekas pelobi dan negosiator Internasional ULMWP yang meninggal Oktober 2022 kemarin di Belanda). Namun, dalam perjalannya disayangkan, Kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup karena presiden yang mengizinkan dibukanya Kantor OPM tersebut kalah Pemilu dan presiden baru dengan pemerintahannya lebih terbuka dengan pemerintah Indonesia. Sebagai salah satu negara Afrika yang tak beruntung(lemah) secara ekonomi, tentu Senegal berpaling dan menerima bantuan dana pembangunan dari pemerintah Indonesia yang sangat besar. Hingga isu Papua kian redup dan tenggelam di Benua Afrika.”Sebagai sesama bangsa kulit hitam memang banyak negara-negara Afrika yang sangat mendukung Papua merdeka, tetapi negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi. Kondisi inilah yang terkadang mengesampingkan kesamaan kulit dan ras demi kepentingan politik yang lebih besar,” kata Ben yang merupakan politisi Papua asal Fakfak ini dalam kutipan Redaksi Papualives.com (19 Juni 2018). Dan Ben Tanggahma sebagai Kepala Perwakilan OPM di Dakar, Senegal pun pulang ke Den Haag(Belanda) dan kemudian meninggal di Negeri Tulip.

Setelah sekian lama tenggelam, isu Papua kembali mencuat dan bertengger di panggung Afrika. Artinya, Papua kembali menjadi perhatian negara-negara serumpun dan seras, baik di Pasifik, Karbia, dan Afrika, termasuk di dalamnya Senegal, melalui KTT kelompok 79 negara Afrika, Karibia, dan Pasifik(ACP) ke-9 di Nairobi, Kenya, 9-10 Desember 2019. Di mana, isu pelanggaran hak asasi manusia(HAM) di Papua menjadi sorotan sekaligus salah satu rekomendasi dari KTT ACP tersebut.

Demikian ulasan singkat korelasi fans Timnas Senegal di Papua dan romantisme sejarah masa lalu antara Senegal dan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai sebuah negara merdeka yang separalel seperti bangsa-bangsa lain di dunia. Akhirnya, ras sukacita dan bangga rakyat Papua atas partisipasinya negara-negara Afrika, termasuk Senegal di ajang Piala Dunia 2022 di Qatar. Selamat bertanding saudara-saudara terbaik kita Tim Nasional Senegal. “We shall overcome someday”._ Bob Marley.
======================
*) Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights(POHR).