Beranda Birokrasi Timor Timur dan Diplomasi Alatas

Timor Timur dan Diplomasi Alatas

5538
0
Thomas CH Syufi
Thomas Ch. Syufi     (Foto:Dok Pribadi)

(Sebuah Refleksi 16 Tahun Referendum Timor Leste).

Oleh  :Thomas Ch. Syufi 

Sore itu, tepat pukul 14.00 WIB, kami bertiga duduk di sebuah kafe di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Senin (10/8). Seperti biasanya, saya memesan minuman vaforit saya khas Italia, cappucino, dan kedua rekan lain, masing-masing memesan white cofee, dan es jeruk. Kami menikmati minuman itu di meja makan minimalis berbentuk kubus– dengan posisi duduk kami bersegitiga. Obrolan sungguh mernarik dan membuat kami tersenyum puas, saat matahari mengangkang di tengah langit!Pada kesempatan itu, salah satu rekan yang telah melanglang buana dalam belantara penelitian dan penulisan buku-buku sejarah dan biografi para tokoh Indonesia, ia mulai mengulas tentang sejarah kemerdekaan Timor Leste, yang sebelumnya menjadi Provinsi ke-27 Indonesia. Dari situ, cerita pun mulai mengalir, dan panjang lebar kami bercerita soal apa penyebab Timor Leste bisa lepas dari Indonesi dan salah siapa?

Timor Timur menjadi masalah internasional sejak invasi militer Indonesia 1975. Sebelum invasi berlangsung tanggal 5 September 1975, Ramos Horta (24), telah terbang dari Dili menuju Darwin pada tanggal 4 dan tanggal 5 Horta dari Darwin menuju Lisabon dengan menggunakan visa Portugal untuk terbang ke New York melakukan lobi politik di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sementara Horta dalam perjalanan di atas pesawat dari Darwin ke Lisabon– invasi pun terjadi.Timor Leste secara ilegal dikuasai militer Indonesia. Di PBB Horta berhasil meloloskan beberapa resolusi penting masalah invasi militer di negara bekas koloni Portugal itu.

Namun, upaya sabotase Ramos Horta di PBB dan bahkan perlawanan yang dilakukan oleh rekan-rekannya di dalam negeri pun tidak membuahkan hasil. Australia dan beberapa negara ramai-ramai mendukung pendudukan paksa Indonesia di Timor Timur dengan iming-iming sumber daya alam ( minyak) di Celah Timor bisa dieksploitasi secara bersama.Sejak tahun 1975, proses dekolonialisasi Timor Portugis diintegrasikan menjadi wilayah RI sebagai provinsi ke-27 menjadi persoalan traumatis bagi negara dan bangsa Indonesia.

“Perlawanan terhadap integrasi pun membara.Masalah Timor Timor sangat memojokkan posisi Indonesia di mata dunia.”

Memang, Masalah Timor Timor sungguh menjadi kerikil dalam sepatu bagi perjalanan diplomasi Indonesia di kancah dunia selama 24 tahun. Masalah pelanggaran HAM Timor Timor yang paling fatal adalah tragedi Santa Cruz 21 November tahun 1991 di kota Dili, yang cukup memukau dunia dan bagaikan magnet yang cepat merambat ke mana-mana dan menarik simpati internasional. Simpati itu antara lain, Australia mengambil sikap dengan mengancam embargo ekonomi dan Lisabon juga mengancam memberikan sanksi diplomatik kepada pemerintah Indonesia.

Insiden Santa Cruz adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa yang mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintah Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastiao Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur.

Rencana ini telah dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.Juleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin, atau Timor Timur.

Dari berapa rentetan masalah yang terjadi Timor Timor– itulah dapat merugiakan pemerintah Indonesia, termasuk membenamkan karier politik “Singa Tua Diplomasi Indonesia” Menlu RI, Ali Alatas (alm). Padahal, mayoritas negara-negara anggota PBB telah bersepakat, Ali Atas akan mewakili Asia menduduki posisi Sekjen PBB menggantikan, Dr. Boutros Boutros-Ghali dari Mesir (1992-1996).

Padahal, Ali Alatas bukan saja seorang diplomat ulung, tetapi juga diplomat pejuang, yang tak pernah lelah dan bosan untuk berjuang membela dan meyakinkan dunia tentang masalah Timor Timor dalam NKRI. Sebagaimana, salah satu rumusan pernyataan Pers Ali Alatas yang dikeluarkan pada 7 Januari 1999, “Dalam usaha menyelesaikan masalah Timor Timor secara menyeluruh, Pemerintah Indonesia telah mengusulkan suatu “status khusus dengan otonomi luas” kepada Timor Timur yang diajukan secara resmi oleh Menteri Luar Negeri Ali Atas kepada Sekjen PBB pada tanggal 18 Juni 1998. Sekjen PBB menilai usulan Indonesia sebagai suatu perkembangan yang positif dan perlu segera ditindaklanjuti. Portugal juga menyambut baik usulan Indonesia dan bersedia melanjutkan dengan segara proses dialog segitiga”. (Sabam P Siagan, Perenungan dan Pemikiran—Kumpulan Esai, Kompas 2015).

Namun, perjuangan Ali Alatas dengan menawarkan opsi ‘Otonomi Luas’ itu tidak berjalan mulus, justru bertolak belakang dengan keputusan politik Presiden BJ Habibie dengan memberikan hak penentuan nasib sendiri ( the right to self determination) bagi rakyat Timor Timor melalui dua opsi, referendum untuk memilih merdeka atau memilih otonomi luas (tetap) dalam NKRI, tanpa mengkompromikan hal tersebut dengan Menlu Ali Alatas. Namun fakta menunjukkan lain, jajak pendapat yang dilakukan pada 30 Agustus 1999 itu– hasilnya adalah mayoritas 78,5 persen (sekitar 344.580 ) orang memilih merdeka dan 22 persen ( sekitar 94.388) orang memilih integrasi.

Keputusan politik BJ Habibie yang amat sulit tentang masa depan rakyat Timor Timor itu bukan saja dorongan pribadi, tetapi karena tekanan dunia internasional yang begitu kencang, serta para pembisik di sekitarnya (inner circle) yang meyakinkan Habibie, bahwa jika jajak pendapat dilakukan, pro integrasi akan memang. Keputusan itulah yang membuat ketidakcocokan antara Ali Atas dan BJ Habibi mulai terjadi.Mungkin saja, mendiang Ali Atas merasa BJ Habibie tidak menghargai perjuangannya selama itu untuk meyakinkan dunia tentang status Timor Timor dalam NKRI.Lepasnya Timor Timur ikut membuat pamor diplomasi Alatas makin redup dan menurun.

Sebuah gambar juga, yang cukup menarik dan merusak reputasi Ali Alatas dalam panggung diplomasi dunia, ialah gambar dalam sebuah aksi para aktivis dan diplomat Timor Timor di kota Dresden, Jerman tahun 1995. Dari gambar itu, tersebar di sejumlah media internasional dan Ramos Horta sebagai propaganda ulungnya Fretilin di perbuangan bersama rekan-rekannya print gambar tersebut dalam bentuk pamflet sekitar sepuluh ribu lembar dan dibagikan ke berbagai kantor perwakilan PBB di seluruh dunia, bahkan dibagikan juga di di Mabes UN di New York. Dalam Gambar itu, tertera kata-kata sebagai berikut; “Is this the man who want to be the next Secretary-General of the UN?”Fack You All !… And fuck the ungrateful East Timorese (Ali Alatas Foreign Minister of Indonesia).Akhirnya, Ali Alatas pun gagal melenggang ke kursi PBB. Seandainya, Ali Alatas waktu itu jadi Sekjen PBB (bukan Sir Kofi Annan), apakah nasib Timor Timor seperti sekarang, atau masih dalam bingkai NKRI?

Setelah menang plebisit atau jajak pendapat yang diumumkan PBB, 4 September 1999, pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Leste mendeklarasikan kedaulatan sebagai negara merdeka dengan nama Republica Democratica de Timor Leste. Dan pada 27 September tahun yang sama, Timor Leste menjadi anggota baru PBB.

Selanjutnya, salah satu beban moral yang hingga hari ini belum di pertanggungjawabkan oleh pemerintah Indonesia adalah masalah nasib 2000 lebih bekas milisi Timor Timor yang memilih integrasi dan hidup mereka saat ini merana di berbagai pelosok Indonesia. Sebulan yang lalu, di Jakarta, saya bertemu dengan seorang bekas milisi Timor Timor bernama Fabiano– umurnya tak kurang dari 35 tahun. Kami berdua buka obrolan; lalu kata dia, kini hidup mereka lebih susah daripada waktu Timor Timor masih berintegrasi dengan Indonesia. “Ternyata kami salah pilih hingga nasib kami hari ini jadi tidak.Kami ditupu oleh Indonesia,” kesal Fabiano.

Kata Fabiano, pilihan mereka mendukung integrasi bukan atas kehendak pribadi, tetapi karena atas janji-janji pemerintah Indonesia. “Kami dijanji oleh pemerintah Indonesia, jika kami memilih integrasi, maka tiga sampai empat turunan kami akan dijamin oleh negara, buktinya kami yang pelaku saja sudah dilupakan,” ujarnya.

Menurut dia, sebaiknya dulu mereka memilih merdeka, pasti nasib mereka akan diperhatikan.”Saat referendum itu kami pilih merdeka, tidak mungkin nasib kami seperti sekarang (menderita),” jelas Fabiano. Lanjut dia, “Walaupun kami susah di Timor Leste– itu di Kampung kami sendiri, daripada sekarang mederita di tanah orang (Indonesia), siapa mau bantu kami,? kata Fabiano yang kini sebagai Security di sebuah café di Jakarta.

Dari testimoni ini– seharusnya jadi pukulan kepada Indonesia sebagai negara yang bermartabat– harus bertanggungjawab atas nasib bekas milisi Timor Timur di Indonesia. Ini soal martabat dan harga diri bangsa, selain itu soal komitmen politik yang telah disepakati secara bersama-sama, baik secara tertulis atau tidak, itu menjadi tanggung jawab negara, karena para milisi ini telah mengorbankan jiwa dan raga, termasuk keluarga mereka demi Indonesia tercinta.

Rentang waktu 16 tahun jajak pendapat di Timor Timur ini harus menjadi momentum penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak bekas milisi Timor Timor di Indonesia–jika hal ini tidak segera dituntaskan oleh pemerintah Indonesia, jangan harap jika suatu kelak jajak pendapat yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, takkanada orang yang memilih masuk Indonesia, karena pengalaman pahit dan mengenaskan yang telah dilewati oleh para mantan milisi Timor Leste ini.

Namun, di sisi lain, kita perlu berapresiasi kepada pemerintah dan negara Indonesia dan pemerintah dan negara Timor Leste, karena kedua belah pihak berjiwa besar membangun rekonsiliasi yang begitu cepat. Dengan satu keyakinan, bahwa masa lalu bisa dimaafkan tetapi jangan dilupakan (forgive but don’t forget)! Semoga.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.