Beranda Artikel Hujan dan Longsor Tak Kunjung Akhir di Jalan Trans Nabire-Ilaga

Hujan dan Longsor Tak Kunjung Akhir di Jalan Trans Nabire-Ilaga

133

Sebuah Refleksi Pribadi dari Perspektif Environmental Ethics

Oleh Felix Degei*

Pendahuluan

Kini menjelang minggu kedua akses jalan darat yang menghubungkan Nabire, Ibu Kota Provinsi Papua Tengah dengan beberapa Kabupaten di pedalaman seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai dan Intan Jaya terus terputus akibat hujan dan longsor. Menurut netizen ada beberapa titik yang rawan longsor yakni KM 132 hingga 143. Awal minggu lalu sempat ada kunjungan dari 3 bupati (Dogiyai, Deiyai dan Paniai) untuk lihat tempat kejadian bencana. Pasca kunjungan mereka sempat telah digerakan 3 alat berat untuk kerja namun tidak mampan karena material tanah, pasir, batu, kayu dan lumpur yang terus mengalir turun menghadang jalan. Melihat fenomena tersebut banyak warganet yang berkomentar dengan pandangannya masing-masing. Namun saya ingin mengajak kita untuk menyimak dari perspektif etika lingkungan (environmental ethics). Sebelum mengurai lebih jauh saya ingin mengutip dan mengetengahkan kutipan lagu lama dari Ebet G. Ade berikut:

…”Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang” Lirik Lagu Ebiet G. Ade (1996).

Perlunya Instrospeksi Diri Berbasis Ragam Nilai Etika Lingkungan

Bagi apapun dan siapapun makhluk hidup di atas planet yang namanya bumi ini, alam dan lingkungan sekitar adalah rumah dan atau mama. Oleh sebab itu, kajian ini mengacuh pada ragam nilai dasar dalam etika lingkungan (environmental ethics) yang wajib diilhami agar kita hidup harmonis. Ada 8 prinsip nilai yang penting untuk dipertimbangkan dalam interaksi manusia dengan lingkungan alam:

Pertama, Nilai Inheren Alam

Pengakuan bahwa alam memiliki nilai intrinsik, tidak hanya sebagai sumber daya untuk kepentingan manusia. Alam dianggap memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati. Sudahkah kita hidup dengan saling melindungi dan atau menghargai dengan alam? Jika belum maka mungkin ini cara alam jujur dan protes atas segala tingkah kita.

Kedua, Keseimbangan Ekosistem

Pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem untuk memastikan keberlangsungan hidup semua spesies dan fungsi ekologis. Ini melibatkan pengelolaan sumber daya alam yang bijak dan berkelanjutan. Sudahkah kita manusia bertingkah dengan mempertimbangan keseimbangan ekosistem sehingga mengambil dan menggunakan seperlunya? Ataukah kita telah berlaku semaunya kita tampah mempedulikan hak ragam flora bertumbuh, berbunga, berbuah dan fauna berkembangbiak dan bernyanyi dengan cara mereka memuji Sang Khalik? Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.

Ketiga, Keberlanjutan

Prinsip bahwa pembangunan dan penggunaan sumber daya alam harus dilakukan dengan cara yang dapat dipertahankan untuk generasi mendatang. Ini mencakup penggunaan sumber daya yang efisien dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan. Sudahkah kita hidup dengan memperhatikan keberlanjutan hidup dari makhluk hidup lain agar ia tetap hidup agar dinikmati oleh anak cucu kita kelak? Hanya alam dengan ekositemnya saja yang tahu karena mereka makhluk yang statis?

Keempat, Tanggung Jawab

Manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi lingkungan alam dan mengurangi dampak negatif dari aktivitas mereka. Ini mencakup pencegahan polusi, konservasi biodiversitas, dan pengelolaan limbah yang tepat. Sudahkah kita hidup dengan menunjukkan integritas kita sebagai makhluk yang mulia dengan akal budi dan rasio? Ataukah kita tlh terhanyut dengan hawa nafsu duniawi sebagaimana binatang yang hanya menggunakan insting naluri?

Kelima, Keadilan Lingkungan

Pengakuan bahwa semua individu dan komunitas memiliki hak yang sama untuk menikmati lingkungan yang sehat dan aman. Ini melibatkan distribusi yang adil dari manfaat dan beban lingkungan. Sudahkah kita mencerminkan pola hidup yang adil dengan melihat manfaat dan beban tanggungan dari dari lingkungan untuk sesama makhluk hidup di sekitar?

Keenam, Penghormatan terhadap Keanekaragaman Hayati

Pengakuan dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, termasuk spesies dan ekosistem yang unik. Ini penting untuk menjaga fungsi ekologis dan mendukung kehidupan di Bumi. Sudahkah kita memberikan penghormatan hakiki terhadap keanekaragaman hayati yang ada sepanjang jalan Trans Nabire-Ilaga? Ataukah selama ini kita menghantam saja tanpa mempedulikan hak hidup ragam spesies ular, kupu-kupu, burung dan segala margasatwa lainnya?

Ketujuh, Prinsip Pencegahan

Mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kerusakan lingkungan yang serius atau tidak dapat diperbaiki, bahkan ketika ada ketidakpastian ilmiah tentang dampaknya. Pernakah kita memikirkan sedikit upaya pencegahan dengan penanaman pohon pelindung seperti bambu, cemarah, pinus dan sebagainya? Atau kita justru melakukan pembabatan liar terhadap segala tumbuhan? Peristiwa longsor terus menerus memberikan sinyal kepada kita tentang betapa pentingnya konservasi hutan dengan penanaman ulang (reboisasi) khusus pada daerah-daerah rawan.

Kedelapan, Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat

Pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. Ini memastikan bahwa suara dan kebutuhan masyarakat dipertimbangkan dalam kebijakan lingkungan. Sudahkah kita melibatkan semua unsur masyarakat dalam merawat dan menjaga lingkungan alam sekitar kita tetap ada dan lestari? Jika peristiwa longsor terus menerus di Jalan Trans Nabire Ilaga, maka adakah upaya atau langkah-langkah kongkrit dari pemerintah untuk berbicara mengenai bagaimana berdamai dengan alam lingkungan? Misalnya undang para sopir, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan asal Wilayah Siriwo dan Mapia untuk bicara solusi.

Resume untuk Resolusi

Ikhtisar saran kongkrit dari ulasan di atas untuk mencari solusi atas rentetan bencana longsor menurut hemat kami adalah segera semua stakeholder pengguna jalan duduk bersama untuk membicarakan bagaimana berdamai dengan Alam Siriwo. Hal ini krusial mengingat sadar atau tidak kita sudah tegah dan bengis. Kini saatnya Suku Mee Siriwo, Mapia, Suku Ause dan suku kerabat lainnya harus mau bedamai dengan cara mereka. Langkah ini prioritas sebelum ragam aksi giat lainnya. Hanya dengan demikian intervensi pemerintah dalam perbaikan jalan akan berjalan aman, damai, lancar, berdampak dan bertahan.

Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (indigenous education) tinggal di Nabire, Ibu Kota Provinsi Papua Tengah.

STATISTIK WEBSITE