Beranda Artikel Indonesia antara Rekonsiliasi ala Mandela dan Pengampunan Koruptor

Indonesia antara Rekonsiliasi ala Mandela dan Pengampunan Koruptor

146

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tengah gencar melakukan rekonsiliasi dengan semua pihak, termasuk memberi amnesti kepada para rival politik dan koruptor yang dianggapnya sebagai imitasi gaya kepemimpinan politik Nelson Mandela pasca-rezim apartheid di Afrika Selatan, yang sukses mewujudkan persatuan rakyat dan ketertiban negara. Namun, diakui, Mandela memang memaafkan dan mengampuni semua orang, terutama pelaku kejahatan HAM pada masa politik apartheid (perbedaan warna kulit) di Afrika Selatan, tetapi secara historis Mandela tidak pernah memaafkan para koruptor melalui amnesti, abolisi, maupun remisi seperti tengah terjadi di Indonesia saat ini.
Kini kita disaksikan berbagai kebijkan politik hukum Presiden Prabowo terutama pemberian amnesti dan abolisi kepada para narapidana yang terjerat berbagai kasus, termasuk narkotika, penghinaan kepala negara, persoalan makar Papua, dan juga korupsi (namun amnesti dan abolisi untuk persoalan makar Papua belum terealisasi). Kebijakan politik Presiden Prabowo memberkan abolisi dan amnesti memang merupakan hak prerogatif presiden, sebagaimana termaktub dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Di mana, amnesti adalah hak presiden untuk menghapuskan segala akibat hukum pidana terhadap orang yang telah dijatuhi pidana. Dan abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan proses peradilan terhadap seseorang yang sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan.
Jadi, secara normatif telah ditegaskan bahwa kebijakan amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, yang berarti keputusan Presiden tidak diambil secara parsial dan sepihak. Pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden kepada para terpidana merupakan terobosan hukum yang legal dan memiliki legitimasi kuat karena telah dipertimbangan oleh DPR sebagai representasi rakyat di parlemen. Tentu, kebijakan presiden ini memiliki tujuan yang luhur untuk masa depan bangsa dan negara. Langkah Presiden Prabowo mengampuni para pelaku kejahatan ini sebagai bentuk pengejawantahanan atau konkretisasi dari ucapan-ucapannya yang telah dilontarkan di berbagai kesempatan—dengan menyebut dirinya terisipirasi dengan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela yang berhasil mengubah wajah Afrika Selatan menjadi negara terkenal di dunia melalui kebijakan politiknya mengampuni semua orang, termasuk musuh dan lawan-lawan politiknya.
Tentu keputusan pemberian amnesti dan abolisi ini berkaitan dengan dinamika politik negeri ini yang belum sembuh secara total pasca-Pilpres 2024, yang melahirkan beragam opini, friksi, fragmentasi, dan perpecahan di aras elite dan berdampak luas pada masyarakat Indonesia. Karena itu, kebijakan amnesti dan abolisi presiden merupakan bagian dari opsi ideal untuk dapat menambal luka, mengurangi ketegangan, dan mende-eskalasi perpecahan yang tiada arti bagi masa depan bangsa dan negara, justru mendatangkan mudarat. Di berbagai momen, baik di forum global maupun domestik, Prabowo selalu mengajak semua pihak harus turunkan suhu, cari penyelesaian yang damai untuk semua pihak. Semua ini berangkat dari permenungan sang presiden terhadap legasi Nelson Mandela sebagai tokoh panutan dan pahlawan terbesar yang menginspirasinya terutama dalam pendekatakannya terhadap lawan politik atau pun konflik masa lalu. Dalam lawatannya ke Rusia, bertemu Presiden Vladimir Putin di Istana Kontantinovsky, Moskow, Rusia pada 19 Juni 2025, Prabowo secara gamblang mengaku mengagumi dan terinspirasi dengan Nelson Mandela, pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1993. “Kebesaran Nelson Mandela adalah bahwa ketika ia keluar dari penjara, ia bekerja untuk rekonsiliasi, dengan musuh-musuh lamanya. Inilah keagungan Nelson Mandela, dan itu pula saya coba terapkan dalam politik dalam mengeri saya,” begitu Prabowo menjawab pertanyaan moderator saat kunjungan istimewa di negara bekas Uni Soviet itu (Kompas, 21 Juni 2025).
Prabowo telah mencontohkan warisan penting Mandela itu sejak dilantik sebagai Presiden Indonesia, 21 Oktober 2024. Spirit Mandela menjadi fondasional Prabowo dalam menggerakan rekonsiliasi nasional Indonesia, termasuk merangkul para mantan lawan politik pada Pilpres 2024 dan memberi amnesti dan abolisi kepada terdakwa dan terpidana korupsi yang juga merupakan loyalis dari para kompetitor Prabowo pada event elektoral presiden 2024 lalu. Misalnya, Prabowo mencanangkan koalisi yang menyatukan semua perbedaan faksi dan partai politik, dan itu berhasil. Ia menyatukan beberapa partai politik yang menjadi rivalnya di Pilpres 2024, kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memilih menjadi partai penyeimbang, tidak oposisi, tidak juga koalisi, tetapi tetapi hadir memberikan pemikiran dan koreksi yang konstruktif sesuai kebutuhan masyarakat dan dinamika ketatanegaraan Indonesia dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam lima tahun ke depan. Prabowo berhasil juga mengajak mantan rival yang pernah menjadi Calon Wakil Presiden dengan pasangan Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan pada Pilpres 2024, Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin untuk masuk Kabinet Merah Putih sekaligus memboyong partainya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Sebelumnya, Prabowo yang dianggap bagian dari rezim Orde Baru yang otoriter dan bengis ini juga sukses mengajak sejumlah aktivis 1998 dan mantan tahanan politik Orde Baru, seperti Budiman Sujatmiko dan Mugiyanto menjadi menyokong dalam suksesi pencalonannya sebagai presiden pada Pilpres 2024 dan mengangkat Budiman Sujatmiko sebagai Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP. Taskin) dan Mugiyanto ditunjuk sebagai Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pemerintahannya.
Selain itu, rekonsiliasi nyata yang dilakukan Prabowo juga adalah terkait konflik Aceh. Di mana Prabowo semasa aktif sebagai anggota dan komandan TNI memimpin operasi militer di Aceh, Timor Timur, dan Papua berhasil memaafkan musuh-musuh politiknya, seperti melakukan rekonsiliasi dengan salah satu mantan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia selama 25 tahun menuntut kemerdekaan. Dia adalah Muzakir Manaf (Gubernur Aceh) dan Prabowo mengambilnya menjadi bagian dari partainya, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). “Ini menunjukkan bahwa mantan musuh bisa bersatu kembali. Dan, saya pikir ini adalah pelajaran dari Nelson Mandela. Pada prinsipnya, dalam penyelesaian konflik, baik dalam negeri maupun global adalah dialog, bukan saling membunuh. Sebagai mantan tentara, saya selalu berusaha, bahkan sejak dulu untuk berunding. Lebih baik berbicara daripada saling membunuh. Itulah posisi saya dan selalu bicara, selalu negoisiasi,” kata Presiden Prabowo kepada Presiden Vladimir Putin pada lawatan resminya ke Rusia tanggal 18-20 Juni 2025. Juga Presiden Prabowo juga saat menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (2019-2014), pernah berkesempatan bertemu dan berpelukan hangat serta bercengkerama dengan para veteral Timor Leste, seperti Xanana Gusmao (kini Perdana Menteri Timor Leste), Jose Ramos-Horta (kini Presiden Timor Leste), Jose Maria de Vasconcelos alias Taur Matan Ruak (mantan Presiden dan PM Timor Leste).
Presiden Prabowo memang memiliki dua sisi yang baik: Ketika menjalankan tugas negara sebagai prajurit TNI, ia serius menunaikan kewajibannya, musuh tetap musuh, tanpa pandang bulu ia akan tempur habis-habisan, tetapi ketika usai menjalankan tugas negara, ia adalah manusia biasa, dengan menjadikan mantan musuh sebagai dirinya yang lain. Ia memiliki integritas yang sangat luar biasa, menjalankan tugas negara tanpa berkhianat pada negara, menjalankan hidupnya sebagai manusia biasa, ia berkawan dan baik dengan semua orang, termasuk musuh politiknya. Ia meniru warisan rekonsiliasi Nelson Mandela yang tidak pernah mendendam kepada siapa pun, bahkan terpanggil untuk memaafkan dan mengampuni mereka yang dulu menindas, mengejar, menangkap, dan memenjarakannya selama 27 tahun di tahan Pulau Robeben. Bagi Mandela, kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, dendaman tidak dibalas dengan dendaman, karena itu tidak akan menyelesaian masalah, kecuali kasih dan pengampunan yang bisa dapat mengalahkan semuanya. Seperti dilakukan oleh seorang mantan hakim terbaik dunia di Amerika keturunan Italia Francesco Caprio “Frank Caprio” (23 November 1936-20 Agustus 2025) yang menegakkan hukum di pengadilan dengan prinsip “justice with compassion” (keadilan dengan belas kasih). Atau meminjam Paus Leo XIV, “Pengampunan sebagai hadiah yang mendahului penyesalan, sebuah tindakan cinta yang membuka masa depan tanpa amarah dan kebencian
Saling memaaafkan dan mengampuni adalah jalan terbaik, untuk kembali membangun jembatan persaudaran dalam perbedan sebagai seni terindah—yang dapat mengakhiri permusuhan, dendaman, dan konflik yang sia-sia, dengan memulai menenun masa depan yang lebih cemerlang. “Forgive but don’t forget”-maafkan tapi jangan lupakan, kata Mandela, suatu ketika. Artinya, memaafkan sesama itu adalah hal yang terpenting, tetapi kejahatan yang dilakukannya di masa lalu jangan dilupakan, agar hal tersebut tidak terulang lagi di waktu-waktu mendatang, yang tidak hanya merugikan para pihak yang berselisih, tetapi juga merugikan semua orang, termasuk mendeskreditkan reputasi bangsa dan negara, serta merugikan generasi muda di masa depan. Karena Mandela menjadi ikon rekonsiliasi dan perdamaian dunia yang sukses dan inspiratif, serta totalitas perjuangannnya untuk menegakkan HAM, kesetaraan, dan kebebasandi Afrika Selatan ia dihukum seumur hidup, namun tekanan dunia internasional atas alasan kemanusiaan Mandela dibebaskan pada tahun yang ke-27. Dan, untuk mengenang semua dedikasinya itu ia diberi penghargaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/64/13, dengan menetapkan hari lahirnya yang bertepatan pada 8 Juli 2009 sebagai Hari Internasional Mandela atau Nelson Mandela International Day yang diperingati setiap tahun.
Mandela tak mengampuni koruptor
Pada 11 Februari 1990, pukul 16.14 waktu setempat, Nelson Mandela, yang pernah menjadi orang paling dicari di Afrika Selatan keluar dari penjara Victor Vester di kawasan pedalaman sekitar 50 km dari Cape Town, kota terbesar kedua di Afrika Selatan setelah Johannesburg. Ia bergandengan tangan dengan istrinya Winnie Madikizela-Mandela dan disambut riuh lautan manusia rakyat Afrika Selatan, setelah menghabiskan 27 tahun di balik jeruji besi atas kegigihan perjuangannya menentang politik apartheid dan diskriminasi rasial yang menyelimuti Afrika Selatan selama lebih dari lima dekade. Kerumunan besar telah menunggu berjam-jam dalam sengatan terik matahari di jalan-jalan untuk menyaksikan bebasnya pahlawan mereka, Mandela. Ia sebagian besar tersembunyi dari pandangan selama bertahun-tahun di penjara (pemerintah tidak merilis foto-fotonya selama ditahan, dengan harapan dapat meredam ketenarannya yang semakin meningkat sejak ia dihukum). Meski demikian, pemerintah tidak mampu menghadang dukungan terhadap Mandela yang terus mengalir dari berbagai penjuru dunia, ia telah menjadi simbol perlawanan internasional terhadap rezim apartheid yang menindas penduduk kulit hitam Afrika Selatan. Resepnya yang membut nama Mandela tetap laris di tengah masyarakatnya karena dua hal: loyalitas dan totalitas.
Ia setia pada perjuangannya untuk menegakkan demokrasi dan keseteraan kaum kulit hitam Afrika Selatan dengan penuh keyakinan, pengorbanan jiwa dan raga, termasuk ditangkap, disiksa, dan dipenjara, bahkan demi kebebasan ia pernah mengaku bersedia mati untuknya. Ia mendedikasikan seluruh perjungan hidupnya demi masa depan hak asasi manusia dan demokrasi dengan sepenuh hati dan pikiran. Tentu sebagian orang memandang perjuangan Mandela untuk mewujudukan persaman hak dan kedudukan antara orang kulit hitam dan kulit putih Afrika Selatan merupakan sebuah utopia, tetapi Mandela percaya hasil tidak pernah mengkhianati proses. Akhirnya, ia berhasil membawa Afrika Selatan mengakhiri politik segregasi rasial yang meyelimuti negara bekas jajahan Belanda dan Inggris itu selama setengah abad lebih.
Akhirnya, pada 10 Mei 1994, Mandela sebagai pemimpin Kongres Nasional Afrika (African National Congress/ ANC), dilantik menjadi presiden kulit hitam dan demokratis pertama Afrika Selatan melalui pemilihan umum yang demokratis dan transparan. Mandela jadi Presiden Afrika Selatan di masa transisi, ia banyak melakukan berbagai kebijakan yang spektakuler dan pupulis, termasuk ia dengan mulia menjangkau komunitas kulit putih yang menindas pada era apartheid dengan semangat kebenaran, keadila, dan rekonsiliasi. Setelah menjabat satu periode sebagai presiden Afrika Selatan, Mandela menolak untuk mencalonkan diri lagi, memberi ruang bagi para pemimpin lain. Meski hanya menjadi presiden satu periode, tahanan politik paling terkenal di Abad ke-20 ini memimpin negaranya dengan hormat dan penuh integritas, ia dipuja di seluruh dunia karena kepemimpinannya yang patut dicontoh.
Saat menjadi presiden di negara yang beribukota di Pretoria itu, ia memimpin upaya rekonsiliasi nasional setelah apartheid, dengan membentuk Truth and Reconcilation Commission (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/TCR) untuk mengklarifikasi pelanggaran HAM masa lalu dan mengatasi pelanggaran HAM di masa depan, serta memperjuangkan hak-hak dasar bagi semua warga negara tanpa diskriminasi ras. TCR pun dibentuk pada tahun 1995 dan diketui oleh rekan seperjuangan Mandela pada masa apartheid sekaligus sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1984 Uskup Agung Desmond Mpilo Tutu. Selanjutnya, rekonsiliasi nasional itu dilakukan dengan cara mendorong dialog dan kerja sama antara berbagai kelompok etnis di Afrika Selaatan. Dan TCR menjalankan tugasnya menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di masa apartheid, memberikan jaminan perlindunagan atau ruang bagi para penyintas dan korban pelanggaran HAM masa lalu untuk berbicara dan bersaksi tentang pengalaman mereka dan bagi pelaku untuk meminta amnesti atas kejahatan mereka.
TCR bertugas mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di rezim apartheid, termasuk kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan. TCR memberikan amnesti kepada yang mengakui kejahatan mereka dan mengungkap kebenaran tentang tindakan mereka, dengan tujuan untuk mempromosikan rekonsiliasi, sebagaimana dikatakan Uskup Desmond Tutu, “Pengungkapan yang palsu hanya akan melahirkan rekonsiliasi yang palsu pula”. Karena itu, TCR bertujuan untuk membantu masyarakat Afrika Selatan dalam proses penyembuhan dan rekonsiliasi setelah berakhirnya apartheid, melalui pengungkapan kebenaran dan diberikan kesempatan kepada para penyintas dan pelaku untuk berbicara. TCR tugas mengevaluasi permohonan amnesti dari pelaku kejahatan, dan merumuskan rekomendasi tentang tindakan reparasi dan rehabilitasi korban. Langkah rekonsiliasi nasional yang dilakukan oleh Nelson Mandela memberi dampak yang berarti bagi Afrika Selatan, dan dianggap sebagai model untuk proses rekonsiliasi di negara-negara lain yang menghadapi masa lalu yang penuh kekerasan. Secara keseluruhan, TCR Afrika Selatan adalah upaya penting untuk mengatasi warisan apartheid dan membangun rekonsiliasi nasional.
Perlu ditegaskan di sini, rekonsiliasi nasional yang dilakukan oleh Afrika Selatan di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, yang mana tidak menghilangkan proses yudisial, bahkan pelaku pelanggaran HAM berat tetap dihukum karena dinilai pernyatannya tidak jujur atau tidak menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya. Jadi, rekonsiliasi yang dilakukan di Afrika Selatan melalui pemberian amnesti itu hanya untuk kejahatan politik partheid di masa lalu, tidak mencakup semua kejahatan, termasuk korupsi yang sering kali disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampaknya yang sangat merusak dan meluas di berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Mandela dikenal karena upayanya untuk membangun rekonsiliasi nasional Afrika Selatan yang terpecah akibat apartheid. Ia mendorong pengampunan atas kejahatan yang dilakukan selama masa apartheid, tetapi ini difokuskan pada kejahatan politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan sistem apartheid, bukan korupsi yang juga merupakan musuh kemanusiaan. Jadi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi selama masa apartheid, sekaligus memberikan amnesti kepada mereka yang mengakui kejahatan dan mereka dan bersedia mengungkap kebenarannya, tetapi ini tidak berlaku untuk kasus korupsi yang tidak terkait dengan apartheid. Mandela menekankan pentingnya rekonsiliasi, tetapi ia tidak pernah mendukung amnesti umum untuk korupsi. Karena korupsi adalah kejahatan yang terpisah dari apartheid dan tidak termasuk dalam lingkup rekonsiliasi yang dikampanyekan.
Oleh karena itu, bila dikomparasikan antara rekonsiliasi nasional yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan dengan mengampuni mantan musuh politiknya pada masa apartheid dan kebijakan politik hukum Presiden Parbowo Subianto yang mengampuni para koruptor di Indonesia sangatlah kontras. Beberapa terpidana korupsi yang menggarong uang rakyat mendapat remisi dari negara, termasuk dua terdakwa korupsi seperti Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto diberi amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo adalah tidak pantas, meski pun alih-alih menduga kuat bahwa mereka jadi korban kriminalisasi kekuasaan. Karena pemberian amnesti dan abolisi kepada terpidana korupsi itu memicu implikasi besar pada masa depan pemberantasan korupsi. Mekanisme abolisi dan amnesti dapat dimanfaatkan oleh para koruptor berupaya bebas dari kejahatannya. Karena apa pun bentuk putusan hukum, baik benar atau salah, memuaskan atau tidak memuaskan para pihak, harus dianggap benar, sesuai asas res judicata proveritate habetur, setiap putusan pengadilan harus dianggap benar dan harus dihormati, kecuali dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi melalui proses upaya hukum lanjutan.
Lantaran secara historis, tidak pernah ditemukan adanya pemberian amnesti dan abolisi kepada koruptor, kecuali kepada para terpidana kejahatan politik atau prisoners of conscience (tahanan hati nurani) seperti yang pernah dilakukan Presiden BJ Habibie di awal reformasi 1998 dengan memberikan amnesti kepada 18 narapidana politik dan abolisi kepada 7 orang lainnya lewat Keppress No. 123/1998. Mereka adalah aktivis Timor Timur (kini Timor Leste) yang ditangkap karena menyebarkan selebaran yang diduga menyinggung Presiden Soeharto pada peringatan Tragedi Dili 1991 (Pembantaian Santa Cruz/Santa Cruz Massacre), tepatnya 12 Novermber 1997. Sebelumnya, Presiden Habibie juga mengeluarkan Keppres No. 80 Tahun 1998—yang memberikan amnesti dan abolisi kepada dua aktivis Indonesia, Muchtar Pakbahan (ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia/SBSI) dan Sri Bintang Pamungkas (ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia/PUDI) yang dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta pada 25 Mei 1998.
Merujuk pada alasan tersebut, maka pemberian amnesti dan abolisi kepada narapidana korupsi adalah hal yang tidak dibenarkan secara normatif maupun moral, termasuk kasus terpidana korupsi Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. “Secara konsep, yang namanya pengampunan koruptor itu tidak dikenal. Amnesti dan abolisi itu bukan untuk kepentingan diskresional, yang tidak bisa diukur secara konstitusional,” kata Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara Indonesia lulusan University of Warwick Inggris dan University of Washinton AS ini (BBC News Indonesia, 23 Desember 2024). Tentu, secara tekstual pendapat Bivitri itu benar adanya, misalnya dalam Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nations Convention Againts Corruption/UNCAC) 31 Oktober 2003—yang telah diratifikasi Indonesia pada 2006 juga tidak secara eksplisit mengatur atau menganjurkan tentang pemerintah suatu negara menghapus hukuman koruptor. Apalagi kasus Tom Lembong belum kekekuatan hukum tetap (inkracht) karena tengah melakukan upaya hukm banding dan status hukum Hasto juga jaksa tengah mempersiapkan upaya hukum banding atas putusan hakim 3,5 tahun penjara. Jadi, pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto adalah prematur. Meskipun kedua kasus ini hampir sepenuhnya tidak terbukti dalam persidangan di pengadilan karena tidak ada kerugian negara sepeser pun yang mereka menikmati atau mempunyai niat (mens rea) untuk menguntungkan orang lain, tetapi diduga itu kasus rekayasa politik atau politisasi hukum, yang harus butuh penyelesaikannya pun secara politik, salah satunya pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden.
Hanya saja, sayangnya, presiden terlalu cepat memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom dan Hasto. Seharusnya Presiden Prabowo bersabar menunggu upaya hukum yang tengah dilakukan oleh para pihak hingga mendapat kepastian hukum yang terakhir, barulah presiden mengambil langkah politik konstitusionalnya, dengan memberikan amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, karena dinilai kasus ini adalah murni rekayasa atau politisasi hukum, sesuai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, tidak terbukti perbuatan mereka merugikan keuangan negara. Sebab, kemungkinan pada putusan tingkat banding atau kasasi nanti bisa saja memperkuat putusan tingkat pertama, memberatkan atau menurunkan putusan tingkat pertama , atau bisa saja membebaskan terpidana tanpa syarat karena tidak terbukti, sesuai dengan asas actore non probate, reus absolvitur (jika tidak dapat dibuktikan terdakwa harus dapat dibebaskan) atau geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).
Hal ini dilakukan, agar kewibawaan proses penegakan hukum di Indonesia itu tetap terjaga sekaligus menghindari anasir-anasir negatif dari masyarakat tentang penegakan hukum yang kerap memberikan impunitas kepada pelaku korupsi. Padahal, sejatinya mereka tidak melakukan korupsi, tetapi mereka jadi korban konspirasi politik kekuasaan, yang arogan, hipokrtik, dan egoistik, minus akal sehat. Bila presiden melihat proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto memiliki motif politik hingga butuh penyelesainnya pun secara politik, maka presiden tidak secara prematur memberikan amnesti dan abolisi, tetapi presiden harus bersabar sekaligus berani untuk mengidentifikasi dan mengungkap siapa dalang di balik kasus kriminalisasi terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto tersebut. Tindakan itu musti dilakukan oleh Prabowo, agar tidak terkesan presiden ingin menjadi “pemadam kebakaran” atau pahlawan dadakan, tanpa bisa menyelesaikan akar masalah secara holistik dan koprehensif yang kelak akan menjadi habitus buruk yang direpetisi secara terus-menerus bahwa siapa pun di negara ini bisa saja dikriminalisasi bila ia bersikap kritis dan berseberangan pendapat dengan penguasa.
Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tentu berbeda dengan beberapa kasus yang benar-benar merugikan keuangan negara secara masif dan berdampak buruk bagi kemajuan dan kualitas hidup rakyat, antara lain, seperti korupsi KTP elektronik oleh mantan Ketua DPR Setya Novanto yang merugikan negara lebih dari Rp. 2,3 triliun rupiah yang baru saja bebas bersyarat. Meski Novanto tidak termasuk penerima remisi dalam peringatan HUT RI ke-80 kemarin, tetapi status bebas bersyarakat yang ia peroleh pada 16 Agustus 2025 tetap berkaitan dengan remisi yang didapatkan dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya, ditambah keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (NTVNews, 18 Agustus 2025). Sangat ironis, pemberian pembebasan bersyarakat kepada koruptor tanpa mempertimbangan tindakan korupsinya yang tidak hanya menyengsarakan masyarakat, tetapi juga merusak reputasi dan integritas negara di mata dunia karena dianggap Indonesia tergolong negara terkorup. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 dari Transparency International merinci Indonesia berada di urutan ke-99 dari 180 negara di dunia dan level ASEAN Indonesia berada di posisi kelima dengan tingkat korupsi tertinggi.
Perlu diakui, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang memperketat pemberian remisi kepada narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme. Namun, saat pergantian pemerintahan, Joko Widodo atau Jokowi mulai menjabat presiden tahun 2014, peraturan tersebut dicabut oleh Jokowi dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), sehingga pemberian remisi kepada koruptor, bandar narkoba, dan terorisme kembali sesuai PP No. 32 Tahun 1999—yang memberi kesempatan kepada seluruh narapidana, termasuk terjerat kasus korupsi berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dan remisi. Tidak konsistennya arah kibijakan politik hukum di Indonesia yang kerap terus berubah ini dapat membingungkan masyarakat yang telah menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda krusial yang dicetuskan pada reformasi Mei 1998. Hal tersebut menjustifikasi pendapat Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) filsuf, orator, pengacara, dan senator zaman Romawi kuno, “ Makin banyak peraturan (undang-undang) tidak hanya membingungkan, tetapi makin menjaukan keadilan dari masyarakat.”
Jadi, pemberian amnesti, abolisi, dan remisi kepada koruptor juga dinilai kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak reformasi 1998, juga merupakan visi dan misi besar Presiden Prabowo yang ingin memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akar dan tanpa pandang bulu. Maka, mengurangi efek jera terhadap koruptor hanya membuat semangat pemberantasan korupsi menjadi tidak berarti apa-apa, kecuali retorika kosong. Padahal, korupsi merupakan salah satu kejahatan paling keji dan merusak segala sendi kehidupan, baik pendidikan, kesehatan, sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Karena, itu jangan pernah kurangi efek jera dan berikan pengampunan terhadap koruptor lewat proses amnesti, abolisi, dan remisi, tetapi ia layak dihukum berat sesuai perbuatannya. Serta pemerintahan Prabowo juga harus mendorong agar legislatif segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset yang digagas sejak tahun 2008, dan menghidupkan kembali PP No. 99 Tahun 2012 perihal memperketat pemberian remisi kepada narapidana korupsi, narkotika, dan terorisme.
Bila hal-hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah saat ini, niscaya tidak akan tercapai cita-cita Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas korupsi di Indonesia sekaligus mengendorkan semangatnya yang ingin mengejar koruptor sampai ke Antartika, bahkan ke padang pasir yang paling jauh. “…penjahat itu tidak pernah membangun negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak negara,” kata Nelson Mandela, negarawan Afrika Selatan! Liberte.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Advokat dan Direktur Eksekutif the Papuan Observatory for Human Rights (POHR), tinggal di Kota Jayapura, Papua.

STATISTIK WEBSITE