Beranda News Pengadilan Socrates dan Menatap 2016

Pengadilan Socrates dan Menatap 2016

1879
0
Thomas CH Syufi
Thomas Ch. Syufi* (Foto:Dok Pribadi)

Oleh : Thomas Ch. Syufi

Athena, Ibu Kota Yunani pada pertengahan abad ke-5 SM, menjadi pusat bagi kebudayaan Yunani, salah satunya di bidang politik. Namun dengan perubahan zaman, sekarang Athena telah menjadi kota semua aliran filsafat berkumpul dan terpusat. Atau konon kebanyakan orang menyebut Athena sebagai kota filsafat, negeri para filsuf lahir, mengembara, dan bersemi. Dan, dari situlah para filsuf menyebarkan pemikiran-pemikiranbesar merekake seluruh alam semesta Yunani, bahkan jagat raya dunia.

Pada era sebelum Masehi, segerombolan filsuf yang menguasai Kota Athena adalah kaum sofis. Karena kepiawaian dalam berbicara dan pidato, mereka kebayakan menjadi tersohor di tengah-tengah masyarakat Yunani. Bahkan, kaum sofis ini pandai melakukan propoganda dan agitasi untuk menarik perhatian para kaum mudah untuk mengikuti mereka. Anak-anak muda Yunani dididik dan dilatih untuk menjadi ahli-ahli berbicara, atau dewasa ini dikenal dengan ahli retorika.

Tentu, kaum sofis yang pandai berbicara atau retorika itu juga manusia biasa yang tak luput dari berbagai kekurangan dan kelemahannya. Hidup mereka banyak yang tercela, amoral. Mereka menjadi manusia yang mudah tergiur akan harta dan kekuasaan, akhirnya mereka jatuh ke kubangan dosa, dalam pandangan duniawi, profan.

Kaum sofis menggunakan keahilan mereka dalam dunia retorika dan diplomasi untuk mencari keuntungan sesat. Mereka sangat buta, bahkan anti-terhadap apa yang disebut kebenaran dan kebaikan (kebijaksanaan).

Kebenaran menurut kaum sofis, itu hanyalah sesuatu yang bersifat relatif. Mereka tidak meyakini bahwa, kebenaran itu berlaku permanen (atau definitif). Mereka tidak meyakini sesuatu yang baik dan benar secara mutlak atau absout di dalam atau di luar diri mereka. Satu-satunya, manusia sebagai ukuran utama bagi kaum sofis.

Dan Athena saat itu terlihat sebagai kota yang sangat gelap, karena kebanyakan orang telah terpengaruh dengan retorika kamuflatif kaum sofis. Kaum sofis berhasil membuat kebanyakan masyarakat Athena gelap mata, mereka tidak lagi percaya akan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang dianut secara universal. Nilai-nilai itu yang seharusnya menjadi dasar atau pijakan mereka untuk membangun Yunani sebagai bangsa yang beradab dan berkepribadian.

Namun, dalam situasi penuh centang-perenang dan kegelapan itu, hadir seorang manusia sangat bijaksana bernama Socrates. Filsuf yang diperkirakan lahir tahun 469 dan wafat 399 SM itu, kemudian menjadi musuh utama kaum sofis. Karena, ia secara eksplisit menebarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan kepada warga Yunani. Kaum sofis memandang apa yang diajarkan Socrates adalah hal yang sesat, bahkan bertentangan dengan kehendak mereka—yangg cinta harta, kekuasaan, kemunafikan, dan kebohongan yang terbungkus dalam bahasa retorikanya. Socrates melakukan berbagai perdebatan dengan kaum sofis seputar thema“kebaikan dan kebenaran sejati”. Kebenaran, menurut Socrates sesuatu yang bersifat mutlak dan objektif yang ‘harus’ dijunjung tinggi oleh semua orang.

Karena, Socrates meyakini kebanaran dan kebaikan selalu membuat semua orang hidup dalam kebijaksanaan. Bila orang makin bijaksana, ia akan jadi kritis untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Manusia bijaksana akan makin bijak dalam bertingkah, ia akan berani menentukan (membedakan), mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajibannya.

Yunani saat itu memang dirundung awan gelap anti-kebenaran dan kebaikan. Namun, Socrates dengan berani ia melawan arus dan gelombang itu—dengan satu tujuan; impian akan fajar kebenaran dan kebaikan bersama segera menyingsing dan menyinari Negeri Dewa itu.

Suatu ketika, pada siang hari dengan gayanya yang lusuh, Socrates menyalakan abor api sederhana dan mencari keadilan dan kebenaran mengintari Kota Athena, namun ia tidak menemukannya. Bahkan ia menyatakan, sangat sukar sekali kita menemukan atau mendapatkan keadilan dan kebenaran di bumi ini. Ibarat kata, kita mencari jarum yang jatuh di tengah tumpukan jerami atau meramas jerami—dan menunggu santannya. Socrates bukanlah manusia biasa, apalagi manusia sembarang, ia adalah seorang filsuf besar yang jujur, rendah hati, berani, dan percaya diri.

Sebagai seorang bidan, Socrates selalu menerapkan strategi, yang tentang jiwa manusia. Sebagaimana seorang bidan berhadapan dengan pasien yang sedang berkonsultasi di klinik pribadi atau rumah pelayanan kesehatan. Tanya-jawab, dan debat menjadi teman akrabnya Socrates, dengan hasil itu ia melakukan diagnosis untuk mencarikan jalan keluarnya. Untuk menanamkan batin orang tentang hal yang benar dan baik, kerap Socrates suka mengajukkan pertanyaan kepada siapa pun yang dia temui di jalan. Disinilah tampak satu ciri khas Socrates, sebagai seorang filsuf, sekaligus pejuang kebenaran dan kebaikan yang rendah hati. Sayang, guru dari Plato yang sering jalan dengan bertelanjang kaki itu tidak meninggalkan tulisan apa pun, termasukmanuskrip tentang perjalanan hidupnya. Kebayakan perjalanan dan perjuangan hidup Socrates ditulis oleh muridnya, Plato.

Namun, apa yang telah menjadi jargon umum, bahwa kebenaran dan kebaikan itu menakutkan, karena dibalik perjuangan untuk meraih itu harus segala-galanya dipertaruhkan, termasuk jiwa dan raga. Socrates bukanlah manusia biasa di zaman itu—ia dengan berani mempertaruhkan jiwa dan raganya, demi kebenaran dan kebaikan yang menjadi prinsip utama hidupnya.

Sikap perlawanan yang ditunjukan Socrates sangat rasional. Ia melawan dengan cara dialog dan berdebat dengan kaum sofis untuk mencari kebenaran dan kebaikan. Karena menurut Socrates, kebenaran hanya dapat digapai melalui sebuah perdebatan damai yang berbasis pada rasio. Dari situlah, Socrates mulai jadi bulan-bulanan kaum sofis. Ia dicerca dan difitnah habis-habisan oleh kaum sofis, dan para pembesar, termasuk kebanyakan masyarakat Yunani, yang telah dihipnotis dengan padangan sofisme. Alasanya, Socrates telah mengajarakan ajaran sesat kepada masyarakat Yunani. Akhirnya, Socrates pun mendapat perlakukan hukuman yang tak layak (tanpa) proses pengadilan, dia dihukum mati—dengan disuruh meminum racun dalam cawan.

Benar juga pernyataan menarik dari Karol Wojtyła (1920-2005), musafir asal Polandia, dan juga sebagaimana pengakuan Mikhail Gorbachev—pemimpin terakhir Uni Soviet (1991), Wijtylasebagai salah satu tokoh terpenting di balik sejarah kehancuran rezim komunisme di negara-negara Eropa Timor. Kata Wojtyla,“Tidak selamanya suara mayoritas itu baik dan benar”. Kebenaran memang sama sekali tidak bersinggungan dengan logika mayoritas, yang lebih mengutamakan jumlah, banyak atau sedikit. Hanya karena dukungan suara mayoritas warga Yunani, Socrates pun segera diakhiri masa hidupnya. Dibunuh.

Socrates menjadi korban ketidakadilan yang tak pernah terlupakan dalam sejarah filsafat dan sejarah manusia. Nama Socrates takkan pupus dilekang oleh waktu dan zaman—hanya masuh-musuh politiknya yang hanya mengandalkan suara mayoritas (demokrasi) saat itu, kini telah tiada, jiwa dan raga mereka terhempas oleh debu zaman. Siapa diri mereka dan bagaimana nasib mereka di dunia akhirat saat ini? Yang layak menjawab itu, Socrates dan yang punya kekuasaan ilahi!

Memang kehidupan Socrates sangat tepat dengan perkataan Santo Agustinus (354-430 Masehi), filsuf dan pujangga Gereja Latin dari Hippo-Aljazair, “Kesempurnaan manusia adalah dengan mengetahui ketidaksempurnaannya.” Dalam konteks teologis, Agustinus menambahkan, kerahiman Tuhan itu (hadir) di antara jembatan dan arus air, misericordia Domini inter pontem et fontem. Pandangan Agustinus ini mengintikan pada cinta kasih Tuhan yang begitu besar kepada makhluk ciptaan-Nya, manusia. Ketika manusia dalam situasi sulit, diterjang berbagai bencana dan membuatnya tidak berdaya, di situlah Tuhan akan hadir untuk menolongnya.

Kehadiran Tuhan itu pernah terjadi pada Socrates melalui murid-muridnya. Sebelum ia dibunuh, para muridnya telah berusaha melarikannya dengan sebuah kapal, tapi Socrates menolak, akhirnya ia pun mati. Kini, Socrates menjadi (mantan) manusia. Memang, ketidakadilan pengadilan (pengadilan sesat) yang pernah terjadi di dunia adalah ketidakadilan pengadilan terhadap “Socrates” pada era SM. Namun, ketidakadilan pengadilan terhadap Isa Almasih (Yesus Kristus) jauh lebih parah, lintas segala zaman. Bagi para pencinta filsafat, pegiat kebenaran dan kebaikan di masa itu, memandang kematian Socrates adalah tragedi tebesar di zaman sebelum Masehi untuk filosof, dan dosa besar bagi filsafat sepanjang sejarah umat manusia. Meskipun Socratessebagai filsuf terbesar di era sebelum Masehi, tetapi Thales (624-546 SM), filsuf alam dari Miletus, Asia Kecil, sebagai orang pertama di dunia yang diberi gelar filsuf.

Menatap 2016

Dengan cerita singkat tentang liku-liku atau berzig-zag perjalanan hidup seorang Socrates ini bisa membawa kita pada semua pandangan hidup baru. Terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, Indonesia. Tentu, Socrates adalah satu contoh korban ketidakadilan di zaman sebelum Masehi, tapi di era modern drama ketidakadilan banyak terjadi di mana-amana, jumlahnyatak bisa disebutkan (atau ditaksir). Sepanjang tahun 2015, banyak masalah yang datang pergi silih berganti. Sejumlah tumpukan masalah di tahun 2015 pun belum dibereskan hingga tahun 2016 ini.

Misalnya, konflik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri ) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga saat ini makin tidak jelas. Polri melakukan kriminalisasi terhadap KPK—dan hal ini sempat menjadi perdebatan yang kemudian melahiran konfrontasi tak sedap dan menakutkan publik Indonesia. Bambang Widjajanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan sebagai pimpinan KPK, kemudian ditetapkan sebagai tersangka secara sepihak oleh Polri. Konflik ini bermula dari KPK menetapkan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka kasus rekening gendut, 13 Januari 2015, saat BG masih menjabat Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri tahun 2012-2015.

Nyata-nyata, para aparat Polri telah memanfaatkan institusi dan kewenangan yang dimiliknya untuk membentengi diri dari jeratan hukum. Tertembaknya lima siswa SMA oleh aparat Polri di Paniai, Papua pada pengujung tahun 2014, juga belum dituntaskan hingga saat ini. Rakyat Papua telah berkali-kali mendesak Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Namun, semua desakan itu tidak dianggap, atau Presiden Jokowi belum memiliki tekat dan kemauan besar untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Padahal, isu HAM menjadi komoditas politik utama kampanye politik Jokowi-JK tahun 2014. Di Jayapura, Papua, mereka berkampanye‘merengek-rengek’ minta dukungan rakyat Papua dengan segala janjinya, termasuk sejumlah kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua akan segera diselesaikan bila mereka terpilih sebagai presiden dan wapres. Tetapi janji itu sepertinya sekadar mengisi kekosongan materi kampanye saat itu. Hingga sekarang tak ada pertanggung jawaban politik dari kampanye tersebut. Rakyat Papua merasa dibohongi oleh presiden mereka bernama Jokowi. Meskipun dengan suka rela lebih dari 70 persen rakyat Papua memenangkan Jokowi dalam pemilu presiden tahun 2014, rakyat Papua masih tetap hidup dalam situasi kusut HAM, demokrasi, hukum, ekonomi, sosial, dan politik, serta kebebebasan pers pun terus diotak-atik.

Selain itu, kegaduhan politik di Senayan pun telah membuat rakyat di negeri ini merasa bosan, muak, dan berang. Berbagai persoalan, para politisi lebih cenderung mengedepankan konfrontasi daripada pendekatan diplomasi. Anggota DPR lebih banyaksibuk mengurus kegaduhan politik (noise), dan melupakan tugas pokok konstitusionalnya, yaknivoice/ vox populi(suara). Baru saja segar dalam ingatan kita, kasus PT. Freeport Indonesia “papa minta saham” yang menyeret nama (mantan) Ketua DPR Setya Novanto juga menjadi suatu yang sangat memalukan dan telah menggerus kredibilitas lembaga wakil rakyat tersebut.

Lagi-lagi, tiga anggota DPR RI hasil pemilu 2014-2019, yang telah jadi tersangka dan terdakwa KPK terkait kasus korupsi. Memang, DPR sebagai lembaga paling mulia itu, terus dibobok-obok oleh politisi internal yang haus harta dan kekuasaan. Apakah situasi ini terus dibiarkan atau butuh terobosan baru untuk masuknya angin segar ke dalam lembaga tersebut.Terobosan baru seperti apa yang diharapkan untuk perubahan di tubuh parlamen itu? Apakah gedung, penghuni, dan segala isinya harus ‘dihiroshimakan’ atau ‘dibombalisatukan,’ atau dengan cara-cara yang lebih elegan?

Karena, revolusi mental yang menjadi pijakan Presiden Jokowi tak kunjung berhasil, justru yang terjadi adalah—revolusi gombal. Nawa Cita yang merupakan warisan Bung Karno kepada Megawati Soekrnoputri dan Jokowi pun membawa “duka cita”. Banyak masalah yang masih membalut dan menerkam bangsa ini, di antaranya, korupsi makin menggila, maraknya konflik antaretnis dan agama, keterpurukan ekonomi kian menghimpit rakyat, nilai tukar rupiah terkapar (terlentang), dan penegakan hukum pun masihlemah. Padahal, beberapa persoalan itu telah termaktub dalam sembilan poin program kerja Nawa Cita pemerintah Jokowi-JK.

Walaupun Indonesia masih dalam situasi kusut dan tertatih-tatih di berbagai aspek pembangunan, Jokowi-JK jangan takut, apalagi sampai lari tunggang-langgang menyeruduk tak tentu arah. Karena, rakyat Indonesia dengan optimis menatap Tahun Baru 2016 ini penuh suka cita dan penuh harapan. Tahun 2016, langit Indonesia tetap bersih dan cerah.Biru. Meskipun ditahun 2015,situasi bangsa jadi karut-marut, rakyatdihiasi berbagai permasalahan, di tahun 2016 ini rakyat masih percaya kepada Presiden Jokowi-Wapres JK.Mereka yakin, Jokowi- JK bakal berhasil mengurus Indonesia jadi lebih baik untuk empat tahun sisa kepemimpinannya. Yakni mewujudkan rakyat Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera, di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, demokrasi, agama, dan HAM.

Karena itu, para anggota legislatif dan elit eksekutif dari pusat hingga ke daerah segera menyudahi kegaduhan politik, gaya politik sofis, Machiavellian (intrik), dan leviathan (serigala). Dan,segeraberpaling pada suara rakyat—sebagai jalan menuju kebenaran ala Socrates. Socrates telah mewariskan nilai-nilai terpenting tentang kedamaian, etika, kejujuran, keberanian, kerja keras, rendah hati, dan kebijaksanaan untuk kita semua. Maka, para elit negara di lembaga trias politika, eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berani mengikrarkan bahwa “bonum publicum, kebaikan lebih besar dan lebih indah sebagai cerminan dari nilai-nilai ‘agung’ itu—adalah“harga mati!” Selamat Tahun Baru 2016, semogagloria in excelsis Deo et in terra pax hominibus, kemuliaan bagi Allah di surga dan damai sejahtera bagi umat manusia di bumi!_________________________________________________________________________

*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, periode 2013-2015.