Beranda blog Halaman 2

Diskominfo Papua Tengah Gelar Bimtek Penyusunan Konten Kreator untuk Tingkatkan Kapasitas SDM


NABIRE – Pemerintah Provinsi Papua Tengah Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Papua Tengah baru-baru ini menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Konten Kreator. Bertempat di Kantor Diskominfo, Bandara Lama, Morgo, Nabire.  Selasa, (29/10/2025) siang tadi.

Pelatihan diikuti oleh para staf Diskominfo, perwakilan Humas dari sejumlah OPD, serta generasi muda pegiat media sosial di Provinsi Papua Tengah.

Bimtek ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Abeth Youw, seorang wartawan (tautan tidak tersedia) yang kini aktif sebagai jurnalis independen dan konsultan media, serta Jebulon Bunai, perwakilan Humas Sekretariat Daerah Provinsi Papua Tengah.

Ham Nawipa Kepala Diskominfo Provinsi Papua Tengah menekankan pentingnya informasi sebagai aset penting yang harus dikelola dengan bijak oleh pemerintah untuk menjalin komunikasi efektif dengan masyarakat. Ia berharap peserta dapat memproduksi konten digital yang kreatif, informatif, dan mendukung transparansi informasi publik.

Selain itu, Ham Nawipa juga menekankan pentingnya peran ASN dalam menangkal penyebaran informasi hoaks di tengah derasnya arus digitalisasi. Ia berharap kegiatan ini dapat melahirkan para peserta yang menjadi agen perubahan dan duta informasi publik, yang mampu memperkuat citra positif Pemerintah Provinsi Papua Tengah melalui konten digital yang inspiratif, edukatif, dan membangun.

Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mereka dalam menyusun konten media sosial yang efektif dan menarik. Dengan demikian, mereka dapat menjadi agen perubahan dalam mempromosikan informasi dan kegiatan pemerintah daerah kepada masyarakat luas.

Bimtek Penyusunan Konten Kreator ini merupakan salah satu upaya Diskominfo Provinsi Papua Tengah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia di bidang komunikasi dan informasi. Dengan adanya kegiatan seperti ini, diharapkan Provinsi Papua Tengah dapat memiliki konten media sosial yang lebih berkualitas dan mampu menjangkau masyarakat luas.

Dewan Adat Papua Mengutuk Pembakaran Mahkota Cenderawasih


JAYAPURA – Dewan Adat Papua menyampaikan seruan kepada seluruh elemen masyarakat Papua untuk mengutuk tindakan pembakaran mahkota burung cenderawasih yang dianggap sebagai simbol sakral dan identitas budaya masyarakat adat Papua. Pembakaran tersebut dianggap sebagai tindakan tidak beradab dan penistaan terhadap nilai-nilai luhur adat Papua.Tertuang dalam siaran pers Kamis (23/10/2025) diterima media.

Dewan Adat Papua menilai tindakan pembakaran mahkota cenderawasih sebagai bentuk kekerasan simbolik dan pelanggaran terhadap hak-hak budaya orang asli Papua.

Dalam siaran pers terbuka itu, Mereka juga menilai bahwa tindakan tersebut berpotensi memicu konflik horizontal maupun vertikal jika tidak segera ditangani secara adil dan terbuka.

Yan Piet Yarangga Ketua Dewan Adat Papua mendesak pimpinan MRP, DPRP, dan DPRK untuk mengutuk secara terbuka tindakan pembakaran tersebut dan mengambil langkah-langkah advokasi hukum, sosial, dan budaya untuk memulihkan martabat masyarakat adat Papua.

Mereka juga meminta agar Forum MRP se-Tanah Papua segera mengadakan pertemuan luar biasa untuk membahas langkah strategis dan politis menyikapi kasus ini.
[Dalam seruan yang dikeluarkan, Dewan Adat Papua menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kekerasan simbolik dan pelanggaran terhadap hak-hak budaya orang asli Papua.

” Pembakaran mahkota cenderawasih dianggap bukan sekadar penghinaan terhadap benda simbolik, tetapi juga penistaan terhadap nilai-nilai luhur adat Papua dan eksistensi orang asli Papua.”kutip media ini.

Dewan Adat Papua mendesak pimpinan MRP, DPRP, dan DPRK untuk mengutuk secara terbuka tindakan tersebut dan mengambil langkah-langkah advokasi hukum, sosial, dan budaya untuk memulihkan martabat masyarakat adat Papua.

Dewan Adat Papua juga meminta agar Forum MRP se-Tanah Papua segera mengadakan pertemuan luar biasa untuk membahas langkah strategis dan politis menyikapi kasus ini, termasuk kemungkinan membawa kasus ini ke tingkat nasional maupun internasional sebagai pelanggaran hak budaya masyarakat adat.

Partai Perindo Papua Tengah Gelar Rakorwil I untuk Perkuat Konsolidasi dan Koordinasi


NABIRE – Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Provinsi Papua Tengah menggelar Rapat Koordinasi Wilayah I (Rakorwil I) Berlangsung Kamis (23/10/2025) pagi. dengan Thema”Konsolidasi Penguatan Struktur dan Strategi Partai. ” Bertempat di Hotel Adamant, Wadio, Kabupaten Nabire.

Rakorwil ini dihadiri oleh jajaran pengurus DPP, DPW, serta DPD dari delapan kabupaten di Provinsi Papua Tengah.Tujuan Rakorwil I adalah untuk memperkuat konsolidasi dan koordinasi struktur partai menjelang agenda politik tahun 2026.

Ketua DPW Partai Perindo Papua Tengah, Amandus Pigai, menekankan pentingnya sinergi antar-kader dalam mewujudkan visi Partai Perindo untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang merata di tanah Papua.

Rakorwil ini juga diisi dengan arahan strategis dari perwakilan DPP, serta sesi diskusi dan evaluasi kinerja organisasi. Partai Perindo berkomitmen untuk terus hadir dan bekerja nyata bagi masyarakat Papua Tengah.

Kapolda Papua Tengah Ajak Bhayangkari Dukung Polri untuk Masyarakat dalam HKGB ke-73

NABIRE – Kapolda Papua Tengah, Brigjen Pol Alfred Papare, meminta Bhayangkari Daerah Papua Tengah untuk terus berkarya dan mendukung Polri dalam melayani masyarakat. Permintaan ini disampaikan dalam sambutannya pada syukuran Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari (HKGB) ke-73 yang digelar di Aula Wicaksana Laghawa Polres Nabire.

“Dengan tema ‘Bhayangkari Berperan Mendukung Polri untuk Masyarakat’, mari kita terus berkarya dan menjadi mitra sejati bagi Polri dalam melayani masyarakat,” ujar Kapolda.

Kapolda juga mengapresiasi peran Bhayangkari dalam menjaga ketahanan keluarga dan mendukung moral anggota Polri. “Peran Bhayangkari sangat penting dalam menjaga keseimbangan keluarga dan mendukung tugas-tugas operasional kepolisian,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kapolda juga mengharapkan Bhayangkari Daerah Papua Tengah untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan menjadi organisasi yang adaptif, inklusif, dan inovatif. “Teruslah menjadi mitra strategis bagi Polri dan penggerak kebaikan di tengah masyarakat,” pungkasnya.

Dukung Keselamatan dan Keamanan di Industri Penerbangan, Jasa Raharja Terima Penghargaan pada HUT ke-55 INACA


Jakarta, 20 Oktober 2025 – Jasa Raharja menerima penghargaan khusus dari Indonesia National Air Carriers Association (INACA) dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-55 INACA, yang digelar di SOHO Pancoran Tower Splendor, Jakarta Selatan, Pada Rabu, 15 Oktober 2025.

Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi atas peran aktif dan kontribusi Jasa Raharja dalam mendukung perkembangan industri penerbangan nasional. Sebagai BUMN yang bertugas memberikan perlindungan dasar kepada korban kecelakaan transportasi umum, Jasa Raharja secara konsisten berperan aktif dalam meningkatkan keselamatan (safety) dan keamanan (security) penerbangan di
Indonesia. Kolaborasi yang terjalin dengan INACA dan para stakeholder di sektor transportasi udara menjadi bukti nyata komitmen Jasa Raharja untuk terus mendukung penerbangan nasional yang selamat, aman, dan berkelanjutan (sustainable aviation).

Acara yang turut dihadiri oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI Lukman F. Laisa serta perwakilan dari berbagai maskapai dan stakeholder di sektor transportasi udara ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi lintas lembaga dalam membangun ekosistem penerbangan nasional yang semakin tangguh dan berdaya saing.

Penghargaan untuk Jasa Raharja diterima langsung oleh Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko Jasa Raharja Harwan Muldidarmawan yang hadir mewakili Manajemen Jasa Raharja. Dalam kesempatan tersebut, Harwan Muldidarmawan menyampaikan apresiasinya
atas penghargaan yang diberikan oleh INACA.

“Kami berterima kasih atas apresiasi yang diberikan kepada Jasa Raharja. Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus memperkuat kolaborasi dengan seluruh pelaku industri penerbangan, dalam rangka menciptakan ekosistem transportasi udara yang selamat, aman, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa keselamatan transportasi udara merupakan tanggung jawab
bersama seluruh stakeholder.

“Jasa Raharja akan terus berkomitmen dalam
mendukung peningkatan keselamatan, keamanan, dan layanan bagi penumpang, serta memastikan keberlanjutan dalam setiap langkah kolaborasi dengan industri penerbangan nasional,” lanjutnya.

Selaras dengan semangat transformasi yang diusung perusahaan, Jasa Raharja terus memperkuat perannya melalui inovasi berbasis teknologi untuk mempercepat proses pelayanan santunan kepada korban kecelakaan transportasi. Upaya tersebut dilakukan untuk memastikan kehadiran negara yang cepat, tepat, dan manusiawi dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Penghargaan yang diterima pada peringatan HUT ke-55 INACA ini menegaskan peran strategis Jasa Raharja dalam mendukung kemajuan industri penerbangan Indonesia. Melalui komitmen terhadap keselamatan, keamanan, layanan, dan keberlanjutan, Jasa Raharja akan terus berkolaborasi dengan para stakeholder untuk mewujudkan transportasi yang lebih selamat, tangguh, dan berorientasi pada pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat.

Mereka yang Dalam Kredo

Oleh Thomas Ch. Syufi*

Minggu, 19 Oktober 2025, dari balik rimba Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, berembus kabar duka nasional yang mengejutkan seantero masyarakat Papua atas meninggalnya pimpinan kombatan Tentara Pembebasan Nasional Papua-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Komando Daerah Pertahanan (Kodap) XV Ngalum Kupel Brigadir Jenderal Lamek Taplo karena serangan bom menggunakan drone oleh Tentara Nasional Indonesia. Kepergian salah satu pentolan berpengeruh dalam tubuh TPNPB-OPM di saat masyarakat Papua masih bergelayut duka atas terbunuhnya 12 warga sipil dan tiga militan TPNPB-OPM di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, 15 Oktober 2025 ini tidak hanya menyisakan kesedihan mendalam, tetapi juga meninggalkan beragam kisah heroik dalam perjuangannya untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan perdamaian di Tanah Papua.
Tidak hanya Lamek Taplo, tiga anak buahnya pun ikut gugur dalam serangan udara paling mematikan di wilayah yang menurut sebagian pihak jaraknya berdekatan dengan pemukiman penduduk sipil (sebagai tempat beraktivitas seperti berburu hewan dan berkebun masyarakat Kiwirok). Di mana, Pegunungan Bintang merupakan salah satu daerah di Papua yang kurun empat tahun terakhir dilanda konflik bersenjata parah antara militer Indonesia dan TPNPB-OPM. Konflik ini menyebabkan 264 warga sipil mengungsi dari Distrik Oksop ke Distrik Oksibil, termasuk 54 balita, 23 lansia, 5 ibu hamil, dan dua pasien berat. Pengusian itu terjadi karena pihak militer masuk menguasai daerah Distrik Oksop, untuk mengejar para kombatan TPNPB-OPM (Laporan, SKPKC Fransiskan-Papua dan GIDI Papua, BBC, 13 Desember 2024).
Sampai saat ini, sejumlah sumber menyebut bahwa masyarakat yang menjadi korban konflik di daerah Pegunungan Bintang masih berada di daerah pengungsian, sama halnya beberapa daerah konflik lain di Tanah Papua, seperti Nduga (Papua Pegunungan), Intan Jaya (Papua Tengah), dan Maybrat (Papua Barat Daya) yang menambah total jumlah pengungsi warga sipil di Papua mencapai sekitar 76.228. “Permintaan masyarakat pengungsi, militer yang saat ini mengusai Oksop harus ditarik keluar baru masyarakat berani kembali ke kampung,” kata seorang biarawan Fransiskan sekaligus aktivis SKPKC FP (BBC, 13 Desember 2024). Jadi, para pengungsi di daerah konflik di Tanah Papua, termasuk Pegunungan Bintang sampai saat ini belum pulih dari trauma dan ketakutan yang luar biasa karena kehadiran militer yang terlalu berlebihan di kampung atau distrik mereka, dengan menggunakan kelengkapan peralatan perang seperti senjata dan helikopter milik militer, yang mempertebal rasa ketakutan warga sipil di sana.
Inilah salah satu dampak buruk krisis kemanusiaan di Tanah Papua yang lahir dari konflik 60-an tahun antara negeri ini dan pemerintah Indonesia. Resistensi rakyat Papua yang konsisten terhadap pemerintah Indonesia itu berangkat dari beberapa hal mendasar, seperti kekecewaan historis dan pelanggaran hak asasi manusia yang masif tanpa penyelesaikan yang adil, jujur, koprehensif, dan tuntas oleh negara. Presiden Soekarno memberlakukan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, yang salah satu poinnya menunutut dibubarkan “negara” boneka (Papua) bikinan Belanda. Selanjutnya dibuatkan Perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962 tanpa keterlibatan wakil resmi rakyat Papua di dalamnya, hingga kesepakatan ini dianggap oleh mayoritas rakyat Papua cacat formil dan materil. Lalu, penyerahan Irian Barat dari pemerintah Belanda kepada UNTEA (Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) pada 1 Mei 1963, menurut Pasal 2 Perjanjanjian New York yang dianggap ilegal itu untuk mengelola bekas koloni Belanda, Irian Barat. Atau tujuan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ialah penyelesaikan persengketaan antara Indonesia dan Belanda atas status politik bangsa Papua, dengan diberikan kesempatan kepada oran asli Papua untuk menentukan nasibnya sendiri (Socrates Yoman, 2022).
Dan dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau referendum tahun 1969 sebagaimana termuat dalam Pasal 14-21 Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengatur tentang self determination (penentuan nasib sendiri) harus dilakukan menurut prinsip dan mekanisme internasioal, yaitu salah satunya, “one man, one vote” (satu orang, satu suara). Masalahnya, Pepera yan digelar antara tanggal 14 Juli sampai 02 Agustus 1969 di mana 1.025 orang yang dipilih oleh militer Indonesia di Irian Barat memberikan suara bulat untuk bergabung dengan Indonesia. Intrik, manipulasi, intimidasi, dan teror mewarnai hari-hari plebisit dilangsungkan di seluruh Tanah Papua.
Pelangaran HAM di Papua sudah begitu lama sejak tahun 1960-an tak pernah terselesaikan. Baik itu di Manokwari, Sorong, Merauke, termasuk Biak berdarah 1998, Abepura berdarah 2000, Wasior berdarah 2001, Wamena berdarah 2003, Abepura berdarah 2006, penembakan Opinus Tabuni 2009, pembunuhan Mako Tabuni 2012, Paniai berdarah 2014, pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani 2019, dan penembakan 14 orang di Intan Jaya 15 Oktober 2025 yang diduga 12 orang di antaranya adalah warga sipil dan sisanya milisi TPNPB-OPM (Tempo, 16/10/2025).
Karena persoalan sejarah penyatuan politik Papua dalam NKRI dan ketidakadilan berupa pelangaran hak asasi manusia di Tanah Papua menjadi alasan paling fundamental yang memicu berbagai gejolak di Tanah Papua. Pemerintah Indonesia tampak tidak menghirauan aspirasi masyarakat Papua yang menuntut agar sejarah integrasi Papua ke Indonesia harus diklarifikasi melalui jalan dialog atau pelurusan sejarah. Juga, dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM ad Hoc sesuai amanat Pasal 45 Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, untuk mengungkap kebenaran, mendorong keadilan retributif/pengadilan terhadap pelaku kejahatan HAM, dan melakukan rehabilitasi korban pelanggaran HAM, serta rekonsiliasi untuk pelaku dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
Namun, sampai saat ini apa yang dinormakan dalam regulasi otonomi khusus Papua ini belum terealisasi dan terkesan pemerintah pusat tidak mempunyai itikad baik untuk melaksankan Undang-Undang Otsus secara murni dan konsekuen. Sudah lebih dari 20 tahun kebijakan Otsus diimplementasikan di Papua, namun belum maksimal bahkan nyaris nihil dalam penerapannya. Otsus hanya indah kabar daripada rupa. Otsus belum memberikan dampak signifikan dari aspek proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan terhadap Orang Asli Papua (OAP).
Atas absennya negara memberikan keadilan bagi orang Papua dalam berbagai aspek kehidupan, ini secara otomatis negara sendirilah menjustifikasi dan melanggengkan konflik di Papua. Ini merupakan konflik struktural dan laten di Tanah Papua yang sengaja dilestarikan oleh negara melalui proses pembiaran dan pengabaian terhadap tuntutan masyarakat Papua, termasuk kelompok kombatan TPNPB-OPM. Esensi tuntutan mereka jelas: negara harus menyelesaikan semua persolan di Tanah Papua secarah holistik dan menyeluruh, terutama pelurusan sejarah politik Papua dan pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu tanpa impunitas. TPNPB-OPM meyakni bahwa Otonomi Khusus adalah sebuah kebijakan politik untuk meredam aspirasi Papua merdeka, bukan panduan imperatif teoritis, maka Otsus tidak mungkin sukses dilaksanakan dalam Negara Kesatuan, karena segala kendali penyelenggaraan pemerintahan tetap sentralistik.
Dengan segala kegagalan pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik Papua melalui jalan keadilan dan dialog dapat memicu eskalasi konflik di Bumi Cenderawasih, terutama konfrontasi bersenjata antara kelompok TPNPB-OPM versus TNI/Polri. Tuntutan kelompok bersenjata di Papua, tentu termasuk Lamek Taplo (alm) itu gamblang, yakni perlu pemerintah Indonesia merundingkan dengan mereka terkait status politik Papua dalam skema NKRI yang masih kontraversial sampai saat ini. Juga semua pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus dibawa ke mimbar hukum, diadili dan dihukum setimpal kejahatan mereka (culpae poena par esto). Inilah inti permasalahan yang terjadi di Papua, bukan sebaliknya pemerintah pusat mengirimkan pasukan militer dan memamerkan peralatan tempur yang berlebihan, melakukan operasi militer besar-besaran dan melakukan kekerasan terhadap warga sipil di berbagai tempat di Tanah Papua. Kekerasan tidak bisa menyelesaikan kekerasan, tetapi justru membuat situasi kian runyam, dapat mengancam kondusivitas keamanan dan memperburuk situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kekerasan juga merupakan bentuk lain dari kolonialisme yang harus disingkirkan dari negara demokrasi, yang menjujung tinggi hak asasi manusia dan supremasi sipil. Karena itu, perjuangan Brigadir Jenderal Lamek Taplo dan kedua pasukannya yang gugur di medan perjuangan menuntut keadilan, kebenaran, dan perdamaian, perlu diapresiasi, meski jalan perjuangan yang ditempuhnya mungkin tidak disukai oleh kebanyakan orang. Semangat, cita-cita, dan integritas perjuangan mereka sangatlah penting, menjadi kompas moral yang memandu perjalanan generasi bangsa ini ke depan untuk memperjuangkan kebaikan bersama (bonum commune).
Tentu sebagian orang memandang cara perjuangan bersenjata yang dilakoni oleh Lamek Taplo maupun para pendahulu lainnya, seperti Permenas Fery Awom, Johanes Kaprimi Jambuani, Kelly Kwalik, Bernard Mawen, Richard Joweni, Matias Wenda, dan Matias Tabu, memang sukar dan tidak bisa memecahkan persoalan. Tetapi bagi mereka, revolusi dapat dicapai bisa hanya melalui perang gerilya, sama halnya bagi seorang misionaris revolusi dapat dicapai bisa hanya melalui lantunan doa yang penuh kontemplatif, bagi seorang musisi revolusi bisa dicapai melalui kutikan guitarnya, bagi seorang diplomat revolusi dapat dicapai melalui seni berdiplomasi, bagi aktivis perdamaian revolusi hanya bisa diraih melalui dialog, dan bagi aktivis demokrasi, revolusi hanya direbut melalui gerakan “people power”. Kesemunya memiliki satu tumpuan, yaitu mewujudkan keadilan dan perdamaian, meski jalan yang diambil tentu berbeda, penuh rintangan, dan risiko, juga terjadi silang pendapat secara internal maupun eksternal dari setiap komunitas perjuangan.
Bagi aktivis perdamaian dan demokrasi, perdamaian hanya bisa diwujudkan melalui jalan penegakan keadilan, atau si vis pacem para iustitiam, jika mengindamkan perdamaian siapkan keadilan. Karena pada hakikatnya tiada perdamaian tanpa keadilan. Keadilan menjadi unsur primer bagi tegaknya perdamaian, maka keadilan diberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (justitia est ius suum cuique tribuere). Namun, bagi para gerilyawan, mungkin juga termasuk Lamek Taplo, memandang bahwa perdamaian dan keadilan tidak mungkin datang dengan cuma-cuma tanpa ada desakan atau paksaan melalui kekuatan senjata, si vis pacem para bellum, jika menginginkan perdamaian, persipkanlah perang. Meminjam “Che” Guevara, ”Revolusi bukanlah buah apel yang akan jatuh saat ia matang, kau harus membuatnya jatuh”. Lantaran, tujuan akhir dari perang adalah mewujudkan kesepakatan damai bersama antara para pihak yang terlibat bentrok senjata.
Karena itu, jawaban untuk mengakhiri gejolak berkepanjangan (longstanding/prolonged unrest) di Tanah Papua adalah mewujudkan keadilan, dengan dilakukan pelurusan sejarah status politik Papua dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. TNI/Polri dan TPNPB-OPM bisa mengambil opsi terbaik dan bermartabat untuk menghentikan pertumpahan darah dan litani kematian di Tanah Papua dengan melakukan perundingan, yang diawali cessation of hostilities (penghentian permusuhan), bukan truce (gencatan senjata informal), tetapi gencatatan senjata secara formal (ceasefire), yang dapat melahirkan solusi permanen demi mewujudkan Papua tanah damai. Karena selama 60-an tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia, angggpan TPNPB-OPM bahwa yang dalang di dari konflik bersenjata di Papua adalah pemerintah Indonesia. Tentu saja anggapan TPNPB-OPM, we are peacemaker, but you are a warmonger (kami adalah pembawa damai, tapi kamu adalah penghasut perang) yang membuat orang Papua menderita sepanjang waktu dan membuat Papua seperti ladang pembantaian (killing fields) atau Papua is slaughterhouse (Papua adalah rumah pembantaian/tempat penumpahan daarah).
Mungkin dalam benak sebagian masyarakat Papua bahwa kini, Brigadir Jenderal Lamek Laplo telah pergi untuk selamanya, tetapi jiwa dan dedikasi perjuangannya akan selalu dikenang dan dihormmati sekaligus dipelihara rakyat di negeri ini, terutama generasi muda. Sebagai bekal dalam usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian di Tanah Papua melalui beragam cara, terutama dialog jujur dan bermatabat. Taplo adalah seorang kombatan militan yang konsisten pada pilihan hidupnya, ia mengambil jalan yang paling sulit dan tidak disukai oleh kebanyakan orang Papua. Bagi Lamek Taplo, Kelly Kwalik, Theys Hiyo Eluay, Tom Beanal, Tom Wanggai, John Mambor, Arnold Ap, Victor Kaisiepo, Leonie Tanggahma, John Otto Ondawame, Andy Ayamiseba, Mako Tabuni, dan Filep Karma hanya satu pilihan: tanah air atau mati (patria o muorte). Mereka adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih di berbagai medan perang, diplomasi, dan politik. Mereka tidak memikirkan kebahagiaan dan kenikmatian diri dan keluarganya, juga tidak membayangkan apa yang didapat kelak setelah perjuangannya untuk revolusi tercapai. Karena perjuangan untuk sebuah kebenaran dan keadilan, tidak selamanya dituntaskan dalam satu generasi, tetapi akan berlangsung lama, lintas waktu, dan zaman, maka estafet perjuangan pun secara bergiliran akan mengalami pergantian dari generasi ke generasi.
Bagi mereka, tidak penting siapa yang mengakhiri perjuangan ini, tetapi yang lebih utama adalah api perjuangan tetap berkobar dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa diinterupsi dengan keputusasaan, sinisme, dan pesimisme yang kini menyebar di seluruh Tanah Papua, yang kita menyadari bahwa di sekitar kita kini, dulu, maupun nanti, selalu ada tak terhitung orang yang sepenuhnya tulus bekerja dan berjuang demi kebaikan sesama dan masa depan Tanah Papua. Mereka adalah orang-orang hidup dalam kredo, mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berjuang, membela, dan merawat keyakinan akan nilai-nilai kebaikan bersama tanpa mengeksplisitkan syahadat mereka.
Kata kredo yang dipahami secara universal dalam KBBI sebagai “dasar tuntutan hidup”, atau oleh Merriam-Webster, a guiding principle. Keduanya mengacu pada keluhuran manusia atau bangsa. Bercita-cita luhur, orang-orang berkredo menjunjung kemanusiaan dengan terus memelihara kemurnian amal. Tak selalu menonjolkan kredo mereka, tetapi mereka dituntun oleh dasar dan prinsip luhur. Hidup mereka sarat kebajikan dan perjuangan. Mereka sadar dan tulus memilih berbakti kepada sesama melampaui batas-batas perbedaan tanpa mencari sensasi. Serta altruisme perjuangan mereka untuk kepentingan tanah air di tengah tantangan berat maupun kesunyian, kebencian, serta taruhan nyawa. Mereka berjuang tanpa merendahan diri demi posisi dan materi (Mochtar Pabottingi: Kompas, Kamis, 4 Juni 2015).
Tanpa mengagitasi atau memprovokasi siapa pun untuk mengambil jalan perang sebagai solusi penyelesaian masalah, membela kemanusiaan dan tanah air, tetapi ini sekadar ungkapan perasaan glorifikasi ksatria dan heroisme para perjuang yang berani mengambil jalan penuh risiko di pedan perang lalu gugur, termasuk Brigjen Lamek Taplo dan kedua anggotanya yang tewas karena serangan udara militer Indonesia di Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan. Mengutip ungkapan terkenal dari puisi Romawi kuno oleh penyair Quintus Horatius Flaccus (65-8 SM): “Dulce et decorum est pro patria mori (hal yang manis dan mulia apabila seseoran mati atau gugur untuk negeri/tanah airnya). Peace be with all of you (semoga damai menyeratai kalian semua). Liberte.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*) Penulis adalah Advokat dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR).

Gubernur Meki Nawipa Buka Kejuaraan Bola Voli Piala Gubernur Cup I Tahun 2025

NABIRE – Gubernur Provinsi Papua Tengah, Meki Nawipa, secara resmi membuka Kejuaraan Daerah (Kejurda) Bola Voli Piala Gubernur Cup I Tahun 2025, yang digelar di Bandara Lama Nabire, Selasa (21/10/2025). Turnamen perdana ini diikuti oleh tim bola voli dari delapan kabupaten di wilayah Papua Tengah, yakni Deiyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak, Nabire, Mimika, Dogiyai, dan Puncak Jaya.

Dalam sambutannya, Gubernur Meki Nawipa menekankan bahwa Provinsi Papua Tengah masih dalam proses pembangunan. “Provinsi ini baru. Kita semua masih berjuang dari nol. Tidak ada gedung olahraga megah, tapi hari ini kita bisa berkumpul di sini. Ini bukti semangat dan kerja keras kita sebagai perintis, bukan pewaris,” tegasnya.

Meki menambahkan bahwa melalui turnamen seperti Gubernur Cup, pemerintah ingin mencari dan membina atlet-atlet muda potensial agar mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.

Gubernur juga mengimbau kepada seluruh pendukung agar senantiasa menjaga ketertiban dan tidak mudah terprovokasi sehingga menimbulkan kegaduhan. “Sportivitas tidak hanya untuk pemain tetapi juga penonton, dengan demikian mari tunjukkan bahwa atlet dan masyarakat Papua Tengah mampu menjaga kehormatan melalui sikap profesional,” ujarnya.

Kejuaraan ini diharapkan dapat meningkatkan semangat olahraga dan sportivitas di Papua Tengah, serta menjadi ajang untuk mencari bibit-bibit atlet muda yang berpotensi.

Technical Meeting: 8 Kabupaten Tim Bola Voli Kabupaten Siap Rebutkan Piala Gubernur Papua Tengah Tahun 2025


NABIRE – Kejuaraan Daerah (Kejurda) Bola Voli  Piala Gubernur Papua Tengah Tahun 2025 mulai digelar, Selasa 21 Oktober 2025 mendatang. Kegiatan ini merupakan Kejurda bola voli pertama kali di, gelar di Papua Tengah. Ada 8 tim Kabupaten dari perwakilan seluruh kabupaten siap bertanding. Hal itu terlihat saat Technical Meeting tersebut Bertempat di Aula RRI Nabire , Minggu (29/10/2025).

Dihadiri Brigjen Pol Alfred Papare, Ketua Umum Pengurus Provinsi Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Papua Tengah juga selaku Kapolda Papua Tengah secara resmi membuka acara sekaligus menyampaikan sambutan, kesempatan itu di harapan hadiri Alfred menekankan pentingnya sportivitas dan pembinaan atlet asli Papua Tengah dalam Kejurda Bola Voli Piala Gubernur.

Dalam Tecnikal Meeting ini, dilakukan pengecekan dan pengesahan peserta. Kemudian pembahasan tata tertib dalam pedoman pertandingan. Termasuk pencabutan nomor undian regu beserta skema pertandingan.

Ketua Panitia Zeth Yeimo menjelaskan bahwa tujuan Kerjurda Bola Voli Piala Gubernur Papua Tengah 2025 adalah untukmu meningkatkan prestasi, sportivitas, dan kerja sama tim, serta mempererat hubungan sosial dan menjadi sarana hiburan dan edukasi bagi masyarakat.

 

📉BERITA TERBARU

🌦PERKIRAAN CUACA

Nabire
overcast clouds
25.9 ° C
25.9 °
25.9 °
88 %
1.1kmh
97 %
Sel
26 °
Rab
30 °
Kam
30 °
Jum
32 °
Sab
32 °

🤝PAPUA TENGAH TERANG

error: Content is protected !!
Verified by MonsterInsights